Pagi itu terasa berbeda bagi Sinta. Ia duduk di beranda rumahnya, menikmati seteguk kopi panas yang baru saja diseduh. Sinar matahari pagi membias lembut, menyinari wajahnya yang penuh kerutan lelah, namun seolah bercahaya. Bukan karena Sinta merasa lebih bahagia atau hari itu istimewa, melainkan karena ingatan akan seorang pria yang pernah duduk di tempat yang sama, dengan secangkir kopi yang selalu ia sediakan untuknya. Suaminya.
Sinta selalu membuat kopi setiap pagi untuk mendiang suaminya, Pak Damar. Sosok pria yang tangguh dan penyayang, yang pergi meninggalkannya tiga bulan lalu. Rutinitas kecil ini menjadi ritual kesayangannya, seolah dengan membuat kopi, ia bisa berbicara lagi dengan pria yang menghabiskan sisa hidupnya bersama. Sinta merasakan kehangatan, bukan hanya dari kopi itu, tapi juga dari kenangan yang perlahan memenuhi benaknya.
"Bu, jangan lama-lama melamun. Kopinya jadi dingin nanti," suara lembut anak perempuannya, Rini, terdengar dari dalam rumah. Gadis itu telah menyusun sarapan di atas meja, seperti kebiasaan yang dilakukan ayahnya dulu.
Sinta tersenyum kecil. Rini memang mewarisi hampir semua sifat ayahnya. Tekun, penyayang, dan selalu mendahulukan orang lain sebelum dirinya. Sifat-sifat itu mungkin tak langsung terlihat, tetapi ada dalam cara Rini melayani ibunya, bahkan dalam caranya membuat kopi. Rasanya persis sama seperti kopi yang Pak Damar buatkan dulu untuk Sinta di setiap pagi.
Sejenak, Sinta terpaku. Ia ingat, dulu ia pernah bertanya pada suaminya, "Apa yang membuat kopi buatanmu begitu enak, Pak?"
Pak Damar hanya tersenyum dan berkata, "Ini bukan soal kopi, Bu. Tapi tentang cinta yang ada di dalamnya. Semua kopi yang diseduh dengan rasa sayang, pasti akan terasa manis."
Jawaban itu sederhana, namun begitu bermakna. Sinta sadar bahwa kopi buatan suaminya bukan sekadar minuman, melainkan simbol cinta dan kebersamaan yang mereka bangun.Â
Kini, tanpa disadari, Sinta menemukan kehangatan itu dalam kopi buatan Rini. Seolah Rini meneruskan kehadiran ayahnya di dalam setiap cangkir yang ia buat untuk ibunya. Setiap tegukan membawa Sinta pada momen-momen manis yang pernah ia lewati bersama suaminya, membuatnya kembali merasakan cinta yang sama.
Di dalam rumah, Rini memperhatikan ibunya yang tampak termenung dengan senyum yang lembut. Ia tahu betul ibunya masih merindukan ayahnya. Setiap hari, Rini berusaha mengisi kekosongan itu, meski ia sadar bahwa kehadirannya tak akan pernah bisa menggantikan sosok ayahnya. Namun, Rini ingin ibunya tahu bahwa ia tidak sendirian.
"Bu, mau cerita tentang Ayah lagi? Aku suka dengar cerita tentang masa muda kalian," tanya Rini, sambil duduk di samping ibunya.
Sinta tertawa kecil, "Ah, kamu ini! Bukannya sudah pernah cerita semua?"
"Tapi aku suka mendengarnya berulang-ulang, Bu. Ayah seperti hidup lagi dalam cerita-cerita itu," jawab Rini sambil tersenyum.
Akhirnya, Sinta pun mulai bercerita tentang kenangan-kenangan manis masa lalunya bersama Pak Damar. Tentang bagaimana mereka pertama kali bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tentang kopi pertama yang mereka bagi, yang saat itu terasa pahit bagi Sinta. Namun, Pak Damar hanya tertawa dan berkata, "Rasa kopi seperti cinta, Bu. Mungkin kadang pahit, tapi jika kamu mau membuka hati, kamu akan menemukan manisnya."
Sinta dan Rini tertawa bersama, mengenang hari-hari itu dengan perasaan hangat di hati. Setiap kisah yang diceritakan membawa mereka lebih dekat dengan sosok Pak Damar, seolah pria itu belum benar-benar pergi.
"Bu, aku ingin membuat kopi yang seperti Ayah buatkan untukmu. Bisakah kita lakukan ini setiap pagi?" Rini bertanya dengan tatapan penuh harap.
Sinta menatap mata putrinya, mata yang sangat mirip dengan milik ayahnya. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa, meski hatinya masih sedikit perih mengingat kepergian suaminya. Namun, dalam kehadiran Rini, Sinta menemukan cinta yang sama, kehangatan yang sama, dan harapan untuk melanjutkan hidup.
"Tentu, Nak. Ibu akan sangat senang kalau kita bisa berbagi momen seperti ini setiap pagi. Ayahmu pasti juga akan bahagia di sana," jawab Sinta dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Sejak hari itu, rutinitas pagi mereka menjadi lebih istimewa. Setiap pagi, Sinta dan Rini duduk bersama di beranda, menikmati kopi sambil mengenang sosok Pak Damar. Mereka tertawa, bercerita, bahkan kadang menangis saat mengingat betapa hangatnya kehadiran pria itu dalam hidup mereka.
Melalui setiap tegukan kopi, Sinta belajar untuk merelakan dan menerima bahwa cinta tidak pernah benar-benar pergi. Kehilangan memang menyakitkan, namun dalam setiap ingatan dan momen yang mereka bangun bersama, Sinta menemukan bahwa cinta itu tetap hidup. Tidak hanya di dalam dirinya, tetapi juga di dalam hati Rini.
Kopi yang pahit menjadi manis, bukan karena gula yang ditambahkan, tetapi karena cinta dan kenangan yang melekat di dalamnya. Sinta kini mengerti arti kata-kata suaminya: bahwa cinta yang tulus dapat membuat segala sesuatu menjadi manis.
Tamat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H