Sinta tertawa kecil, "Ah, kamu ini! Bukannya sudah pernah cerita semua?"
"Tapi aku suka mendengarnya berulang-ulang, Bu. Ayah seperti hidup lagi dalam cerita-cerita itu," jawab Rini sambil tersenyum.
Akhirnya, Sinta pun mulai bercerita tentang kenangan-kenangan manis masa lalunya bersama Pak Damar. Tentang bagaimana mereka pertama kali bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tentang kopi pertama yang mereka bagi, yang saat itu terasa pahit bagi Sinta. Namun, Pak Damar hanya tertawa dan berkata, "Rasa kopi seperti cinta, Bu. Mungkin kadang pahit, tapi jika kamu mau membuka hati, kamu akan menemukan manisnya."
Sinta dan Rini tertawa bersama, mengenang hari-hari itu dengan perasaan hangat di hati. Setiap kisah yang diceritakan membawa mereka lebih dekat dengan sosok Pak Damar, seolah pria itu belum benar-benar pergi.
"Bu, aku ingin membuat kopi yang seperti Ayah buatkan untukmu. Bisakah kita lakukan ini setiap pagi?" Rini bertanya dengan tatapan penuh harap.
Sinta menatap mata putrinya, mata yang sangat mirip dengan milik ayahnya. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa, meski hatinya masih sedikit perih mengingat kepergian suaminya. Namun, dalam kehadiran Rini, Sinta menemukan cinta yang sama, kehangatan yang sama, dan harapan untuk melanjutkan hidup.
"Tentu, Nak. Ibu akan sangat senang kalau kita bisa berbagi momen seperti ini setiap pagi. Ayahmu pasti juga akan bahagia di sana," jawab Sinta dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Sejak hari itu, rutinitas pagi mereka menjadi lebih istimewa. Setiap pagi, Sinta dan Rini duduk bersama di beranda, menikmati kopi sambil mengenang sosok Pak Damar. Mereka tertawa, bercerita, bahkan kadang menangis saat mengingat betapa hangatnya kehadiran pria itu dalam hidup mereka.
Melalui setiap tegukan kopi, Sinta belajar untuk merelakan dan menerima bahwa cinta tidak pernah benar-benar pergi. Kehilangan memang menyakitkan, namun dalam setiap ingatan dan momen yang mereka bangun bersama, Sinta menemukan bahwa cinta itu tetap hidup. Tidak hanya di dalam dirinya, tetapi juga di dalam hati Rini.
Kopi yang pahit menjadi manis, bukan karena gula yang ditambahkan, tetapi karena cinta dan kenangan yang melekat di dalamnya. Sinta kini mengerti arti kata-kata suaminya: bahwa cinta yang tulus dapat membuat segala sesuatu menjadi manis.
Tamat.Â