Mohon tunggu...
Arvhi Mega Utami
Arvhi Mega Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Political Science Student

sub specie aeternitatis | particular interest in public policy, political marketing, philosophy, and human rights

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Fast Fashion terhadap Budaya Konsumerisme Masyarakat dan Lingkungan

27 Agustus 2022   11:11 Diperbarui: 6 Desember 2022   14:15 3721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan era modernisasi telah membawa sejumlah dampak pada lapisan masyarakat, baik dalam konteks sosial, budaya, adat serta kebiasaan. Hal tersebut seakan-akan seperti menuntut masyarakat mengikuti perkembangan yang sedang berlangsung, termasuk dalam penampilan untuk bergaya. Membeli pakaian baru menjadi sebuah kesenangan bagi banyak orang, mengingat hal tersebut merupakan kebutuhan primer dan disisi lain, ingin tampil bergaya merupakan sebuah dambaan. Masyarakat berusaha untuk tampil semenarik mungkin menggunakan mode terbaru. Hal ini tentunya memberikan dampak yang negatif, menumpuknya limbah pakaian dan tingkat konsumtif masyarakat yang terus melonjak menjadi dampaknya. Bagaimana industri mode pakaian menarik konsumen? Apakah dampak negatif yang diberikan lebih dominan? 

‘I speak through my cloth’ - Umberto Eco

Menurut saya, kutipan tersebut cukup merepresentasikan masyarakat kita untuk tampil bergaya mengikuti perkembangan fashion.

Industri mode pakaian selalu mengikuti perkembangan fashion terbaru di seluruh dunia untuk menarik konsumen. Melejitnya tren fast fashion yang menyediakan pakaian-pakaian dalam skala besar dengan harga terjangkau memudahkan masyarakat untuk membelinya. Tetapi, perkembangan tren mode berubah dengan cepat dan menyebabkan masyarakat yang berlomba- lomba mencari barang mode terbaru dari berbagai macam jenama (Shinta, 2018). Produksi mode yang cepat merupakan upaya dari industri mode dalam menyesuaikan dan melengkapi tuntutan dari konsumen terhadap tren mode (Muhamad, 2018).

Mari kita pahami arti dari kata fashion itu sendiri. Secara etimologi,  fashion sangat terkait dengan kata factio dari bahasa Latin yang artinya "membuat" atau "melakukan" dimana mengacu pada sebuah kegiatan. Fashion merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang terkait dengan ide tentang fetish (Barnard, 1996). Sedangkan fast fashion menurut Wei dan Zhou adalah istilah kontemporer yang digunakan oleh peritel busana untuk menyatakan bahwa desain berpindah dari pagelaran fashion ke toko dalam waktu singkat untuk menangkap tren terkini di pasar. Fast fashion merupakan suatu strategi beberapa merek fashion yang mengikuti perubahan cepat dalam tren fashion (Sharma, 2014). Fast fashion dianggap efektif dan efisien sehingga menarik banyak masyarakat walau nyatanya banyak dampak negatif yang diberikan oleh konsep ready to wear dalam industri fast fashion.

Kapitalisme industri memperkenalkan berbagai macam bentuk komoditi yang awalnya diproduksi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang secara subtantif tidak merubah cara hidup seseorang, namun perlahan seiring dengan pekembangan media informasi dan didukung oleh kapitalisme global, fashion menjadi sesuatu yang sepenuhnya dijalankan oleh strategi sosial kelas (Baudrillard, 1981) dan menjadi cara dari kapitalisme mengembalikan ketimpangan budaya dan diskriminasi sosial yang pernah terjadi pada kelompok masyarakat feodal (Barnard, 1996).

Di era modernisasi saat ini, perkembangan teknologi semakin pesat. Berbagai informasi dapat dengan mudah diakses, termasuk informasi berpakaian yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kontribusi kecanggihan teknologi terhadap tren fashion pun menajadi suatu hal yang utama, dimulai dari langkah design, langkah produksi, pemasaran, sampai distribusi. Sekarang ini secara tidak langsung fashion menjadi titik masyarakat untuk menunjukkan identitas serta kelas sosial yang dimilikinya. Masyarakat cenderung tidak ingin tertinggal oleh tren yang sedang berlangsung, padahal mode pakaian terus berubah dengan cepat dan tidak ada habisnya. Tren mode terus berkembang, permintaan pasar yang tinggi terhadap mode pakaian menjadikan banyak industri mode yang terus memproduksi pakaian. Produksi mode yang cepat merupakan upaya dari industri mode dalam menyesuaikan dan melengkapi tuntutan dari konsumen terhadap tren mode (Muhamad, 2018). Muncul lah fast fashion sebagai jalan untuk mewujudkan permintaan pasar. Fast fashion merupakan produk pakaian murah hasil produksi berbiaya rendah (low cost production) dengan mode yang menyerupai pakaian dengan harga tinggi berbasis musim dan tren (Caro & Victor, 2014).

Saat mode pakaian terbaru dipakai oleh model dalam pameran busana, industri fast fashion dengan gencar memproduksi pakaian yang serupa dengan harga yang relatif murah dan produksi dengan jumlah yang banyak demi memenuhi permintaan pasar. Masyarakat yang tidak ingin tertinggal tren cenderung memiliki hasrat untuk membelinya. Siklus ini terus berulang dan berdampak pada budaya konsumerise yang terus meningkat.

Mode Fashion dan Budaya Konsumerisme

Era baru budaya konsumerisme ditandai dan dilambangkan dengan lahirnya pusat-pusat perbelanjaan (Chaney, 1996). Munculnya fast fashion mempertandakan bahwa budaya konsumerisme semakin meningkat. Budaya konsumerisme sebagai mesin untuk menunjukkan identitas serta kelas sosial individu terdorong oleh ketidak inginan individu untuk tertinggal sesuatu yang sedang ramai dalam lingkungan masyarakat. Adanya tren yang terus berganti dan berkembang membuat individu tidak sadar akan apa yang dibutuhkannya, hal tersebut seakan-akan hanya keinginan semata tanpa mempertimbangkan skala prioritas yang seharusnya dipenuhi dan dampak negatifnya terhadap berbagai aspek.

Gerai toko fast fashion—seperti Uniqlo, H&M, ZARA, dan lain sebagainya tersebar luas di seluruh penjuru dunia. Berdasarkan data Fastretailing, Statista, dan Inditex antara tahun 2015-2016 jumlah toko yang rata-rata berasal dari Eropa dan Amerika mencapai ribuan. Kehadiran toko tersebut mengundang masyarakat untuk membeli produk yang disediakannya. Masyarakat pun tidak keberatan untuk mengalokasikan pendapatannya untuk membeli pakaian yang sedang tren dari waktu ke waktu.  Alasannya adalah karena harga jual model busana terbaru cenderung murah, masyarakat dapat dengan mudah memperolehnya. Selain itu, nilai guna dari suatu pakaian tergeser oleh nilai identitas sosial, demi menunjukkan eksistensi sosial seorang individu. Jika individu bosan atau ada keluaran terbaru dari gerai fast fashion, mereka tidak segan untuk membuang isi yang ada di lemarinya dan menggantinya dengan mode-mode terbaru yang dikeluarkan oleh retailer fast fashion. 

Pakaian murah sering kali berakhir di tempat sampah.” -Cline, 2012.

 

Dampak Fast Fashion Terhadap Lingkungan

Sering kali kita berpikir pencemaran disebabkan oleh sampah dan limbah industri, penambangan, polusi kendaraan, dan lainnya. Tanpa di sadari, fast fashion merupakan penggerak utama yang mendorong industri fashion menjadi salah satu penyumbang pencemaran yang tidak sedikit pada dunia. Karena pada dasarnya pakaian akan terus menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Hal ini menjadi peluang yang besar bagi para pengusaha industri mode untuk semakin gencar menerapkan fast fashion. Eksploitasi sumber daya alam tanpa memerhatikan kualitas lingkungan demi memenuhi kebutuhan bahan tekstil menjadi suatu hal yang biasa dalam dunia fashion.Bahan utama pakaian yang terus diproduksi menggunakan tekstil yang dapat mencemari lingkungan, pewarna kain yang mengandung bahan kimia berbahaya seperti pewarna quinolines dan aromatic amines. Belum lagi produk dengan bahan polyester atau nylon yang sulit terurai akan menjadi sampah yang terus menumpuk. Menurut data dari Fast Company, Industri fashion merupakan industri penyumbang emisi perusak lingkungan terbesar kedua setelah industri perminyakan. Dampak tersebut diakibatkan oleh proses pewarnaan pakaian dan pengolahan pakaian, menyumbangkan emisi perusak lingkungan sebesar 10% pada bumi.

Air dalam industri mode sangat dibutuhkan dengan jumlah yang banyak, melebihi kebutuhan air pada industri lainnya selain industri tani. Limbah kimia yang dihasilkan mengandung racun serta penggunaan energi yang banyak membuat pemanasan global semakin meningkat. Pancaran karbon yang menyebabkan pergantian cuaca yang ekstrim pun telah memberikan dampak buruk kepada masyarakat dan lingkungan. Aktivitas produksi yang tinggi untuk menyeimbangi permintaan masyarakat yang bertambah memberikan masalah serius pada lingkungan. Lalu tidak semua produksi pakaian laku terjual di tengah masyarakat, jumlah pakaian yang dibuang akibat tak terjual pun tentunya banyak. Ini memberikan efek buruk kepada penumpukan sampah tekstil yang akan berakhir pada tempat pembuangan akhir dan menghasilkan limbah tak teurai yang meracuni bumi dalam waktu yang sangat singkat.

Dapat ditegaskan kembali bahwa modernisasi telah membawa dampak yang positif maupun negatif. Gaya berpakaian masyarakat menjadi salah satu fenomena yang terdampak dari pembaharuan yang disebabkan oleh globalisasi. Fenomena tersebut memunculkan budaya konsumerisme yang tercipta oleh motivasi untuk tampil bergaya dan tidak tertinggal pakaian yang “kekinian”. Dampak yang diberikan lebih besar lagi, pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah pakaian semakin meningkat. Oleh sebab itu, saya harap tulisan ini dapat menyadarkan kita semua sebagai masyarakat untuk lebih bijak dalam menerima dan memanfaatkan fenomena modernisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun