Demokrasi liberal merupakan salah satu tonggak sejarah yang mampu memberikan warna dan dampak signifikan terhadap kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Demokrasi liberal berlangsung dari tahun 1950-1959, hanya berselang 5 tahun dari kemerdekaan Indonesia sehingga panggung politik dan demokrasi Indonesia saat itu belum stabil. Pada saat itu, pemerintah Indonesia masih berusaha untuk membangun dan mencari sistem pemerintahan serta sistem politik yang paling sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Maka dari itu, demokrasi liberal memiliki jasa dalam perjalanan penentuan identitas pemerintahan dan politik di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, otomatis Indonesia merupakan negara yang menganut paham demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi dilegitimasikan melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD”. Demokrasi merupakan hal yang vital dalam pembangunan politik. Demokrasi memungkinkan masyarakatnya untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik. Buku karya Damien Kingsbury menjelaskan bahwa pembangunan politik sangat bergantung pada kapasitas masyarakat untuk mengekspresikan kepentingan mereka. Masyarakat dapat menyuarakan aspirasi, tuntutan, maupun dukungan kepada pemerintah. Hal ini akan menjadi input bagi sistem politik, sehingga sistem politik nantinya akan menghasilkan kebijakan atau keputusan yang tepat. Pembangunan politik memiliki sifat yang dinamis. Artinya pembangunan politik akan selalu berubah, berkembang, dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Begitupun dengan politik di Indonesia. Pembangunan politik di Indonesia akan bergantung pada bagaimana kehidupan demokrasi di Indonesia.
Pada masa demokrasi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer dimana kekuasaan eksekutif berada ditangan Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Perdana menteri berhak membentuk kabinet-kabinetnya untuk menjalankan roda pemerintahan. Menurut UUDS 1950, kekuasaan legislatif dipegang oleh presiden, kabinet dan DPR (Ketut, 2020:73). Presiden dan Wakil Presiden hanyalah sebagai simbol yang tidak memiliki fungsi pemerintahan sehari-hari. Salah satu ciri khas dari demokrasi liberal adalah terjadinya pergolakan politik karena tingginya angka pergantian kabinet. Umumnya setiap kabinet tidak akan bertahan lebih dari satu tahun hal ini disebabkan karena masing-masing kabinet tidak mampu mempertahankan koalisi yang solid sehingga mampu dijatuhkan oleh pihak penekan manapun. Tercatat, pada masa demokrasi liberal terdapat tujuh kabinet yang pernah menjabat pada masa demokrasi liberal. Ketujuh kabinet ini memiliki tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk menjaga keamanan serta ketertiban rakyat, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, mempersiapkan untuk pemilu kemudian juga ingin memperjuangkan Irian Barat (Putri, 2023:4). Ketujuh kabinet tersebut dapat dipetakan sebagai berikut:
Kabinet Natsir
Kabinet Natsir merupakan kabinet yang menjabat dari 6 September 1950 sampai 21 Maret 1951 yang dipimpin oleh Mohammad Natsir. Kabinet Natsir memiliki fokus utama untuk memajukan upaya keamanan dan perdamaian, mencapai konsolidasi dan penyempurnaan struktur pemerintahan, menyempurnakan organisasi angkatan bersenjata, mengembangkan dan memperkuat perekonomian rakyat serta menyelesaikan masalah Irian Barat. Kabinet ini didukung oleh Partai Masyumi. Namun, pada akhirnya kabinet ini gagal karena tidak mampu menyelesaikan masalah Irian Barat, ditambah terjadi konflik internal dalam kabinet yang mengganggu kinerja kabinet. Keadaan ini semakin memburuk saat Hadikusumo melontarkan mosi tidak percaya yang membuat kabinet ini bubar pada 21 Maret 1951.
Kabinet Sukiman-Suwirjo
Kabinet kedua yang dibentuk ini merupakan koalisi antara partai Masyumi dengan PNI, di bawah kepemimpinan Dr. Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi dan Suwirjo dari PNI. Kabinet ini berlangsung selama 27 April 1951 sampai 3 April 1952. Salah satu peristiwa besar dari kabinet ini adalah nasionalisasi De Javasche Bank yang menjadi cikal bakal dari Bank Indonesia. Kekuatan kabinet ini melemah saat terjadi pemberontakan Darul Islam yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar dan Kartosuwiryo. Kabinet ini kehilangan kepercayaan publik saat menandatangani Mutual Security Act bersama Amerika Serikat. Penandatanganan membuat masyarakat merasa kabinet ini berpihak ke Amerika Serikat.
Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo berlangsung selama 3 April 1952 sampai 3 Juni 1953 yang dipimpin oleh Mr. Wilopo yang berasal dari partai PNI. Kabinet ini banyak berjasa dalam perekonomian Indonesia dimana kabinet ini memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam PBN dan wajib melakukan pembayaran di muka (Setiawan, 2018:49). Fokus utama dari kabinet ini adalah pembangunan ekonomi. Namun kabinet ini jatuh akibat konflik agraria di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, yang memicu krisis politik.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Kabinet Ali Sastroamidjojo I berlangsung dari 31 Juli 1953 hingga 12 Agustus 1955, dengan perdana menterinya Mr. Ali Sastroamidjojo dari partai PNI dan wakilnya Mr. Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya. Pada masa kabinet Ali yang pertama terjadi peristiwa yang cukup besar yaitu terselenggaranya Konferensi Asia Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Kota Bandung. jatuhnya Kabinet Ali juga disebabkan oleh keadaan ekonomi yang kian memburuk kemudian terjadinya korupsi yang mengakibatkan rakyat kehilangan kepercayaan kepada Kabinet Ali yang pertama (Putri, 2023:10).