Manusia tidak bisa memilih terlahir dari rahim siapa.
Tetapi sosok Hj. Siti Nur Azizah Ma'ruf--bakal calon Wali Kota Tangerang Selatan--tampaknya diberkahi cukup banyak peruntungan soal itu. Hari ini, selain berstatus sebagai putri seorang Wakil Presiden RI, ia juga menjadi bagian dari silsilah sejumlah tokoh penting pejuang dan penyebar agama Islam di tanah Tangerang dan Banten : Pangeran Aria Wangsakara dan Sunan Gunung Jati.
Saya kira ini seperti sebuah pertanda yang menunjukkan bahwa maqam-nya Azizah Ma'ruf memang di dunia sosial-politik: untuk memimpin.
* * * * *
BAGI warga Tangerang, nama Pangeran Aria Wangsakara (1633-1665) rasanya sudah tak lagi asing. Ia bukan hanya tokoh pendiri Tangerang, tapi juga salah seorang pelaku penting dari riwayat Indonesia--dalam hal ini Indonesia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. Aria Wangsakara adalah sosok pejuang dan pemimpin perang dalam melawan pasukan penjajah Belanda. Ia juga menjadi tokoh penyebar ajaran agama Islam yang sangat disegani di wilayah Tangerang.
Sejarah ini bermula dari kehadiran tiga orang pangeran dari Sumedang yang memiliki hubungan darah dengan Pucuk Umun ke tanah Tangerang dengan membawa maksud berbakti kepada kesultanan Banten. Mereka adalah Raden Aria Wangsakara, Pangeran Soeriadewangsa II, dan Pangeran Aria Santika. Saat itu, ketiganya enggan tunduk kepada Mataram yang sudah menguasai Sumedang Larang dan seluruh tanah peninggalan Pucuk Umun yang juga diduduki oleh Nalendra Geusan Ulun. (Paririmbon Ka-Aria-an Parahijang, 1978: 2)
Aria Wangsakara atau Raden Wiraradja II, yang merupakan cucu dari Nalendra Geusan Ulun--seorang penguasa Sumedang Larang yang memiliki kekuasaan di sekitar sungai Cisadane atau Cipamugas dan Cipamali--memiliki tiga orang putra dan empat orang putri. Ketiga putra Aria Wangsakara itu bernama Raden Yudanegara atau Aria Tenggeran II, Raden Raksanegara atau Aria Tenggeran III, dan Raden Wiranegara, yang kemudian dikenal sebagai Syekh Ciliwulung (Paririmbon, 1987: 3-6).
Dari Raden Wiranegara inilah garis keturunan itu sampai ke Azizah Ma'ruf. Wiranegara atau Syekh Ciliwulung ini--yang keturunannya banyak menetap di Kresek--memiliki anak bernama Ratu Fatimah yang kemudian menikah dengan Raden Mahmud, keturunan Arya Banten atau Sayyid Sholeh. Dari pernikahan tersebut, muncullah sejumlah keturunan lainnya yang bernama Syekh Hasan Basri, yang selanjutnya ada Syekh Ibrohim, Syekh Alim, Nyai Kati, dan KH. Abdulloh--yang merupakan kakek dari KH. Ma'ruf Amin.
KH. Abdulloh memiliki anak bernama KH. Muhammad Amin yang kemudian menikah dengan Hj. Maimunah. Dari pernikahan itu lahir anak tunggal, yakni Ma'ruf Amin. Sementara Siti Nur Azizah Ma'ruf lahir dari pernikahan KH. Ma'ruf Amin dengan Hj. Siti Nuriyah.
"Pengakuan sebagai keturunan dari Pangeran Aria Wangsakara ini," kata Azizah Ma'ruf, "sebetulnya merupakan ibrah atau bil hikmah untuk meneruskan nilai-nilai luhur dan perjuangannya dalam membela kepentingan masyarakat."
Sebagai seorang tokoh pejuang, Pangeran Aria Wangsakara memang dikenal sangat gigih dalam melawan penjajah. Ia tak pernah mundur menghadapi pasukan Belanda. Pertempuran sempat pecah beberapa kali di wilayah Lengkong-Sumedang. Di sela-sela pertempuran yang sempat berhenti, Pangeran Aria Wangsakara mengintensifkan jalinan kerja sama dengan Banten. Sultan Banten pun mengutus Pangeran Surunabaya dan Abdussalam datang ke Lengkong. Untuk memperkuat militer Lengkong, para calon Tumenggung dari Lengkong diutus menghadap ke Banten untuk dilatih keterampilan militer dan strategi perang di bawah bimbingan Senopati Banten.
Ketika peperangan dengan Kompeni mulai mereda, Wangsakara mulai melakukan pemulihan. Ia membangun benteng Pager Endeng (Gerendeng) dan penanda (Tangger) batas wilayah antara wilayah Kompeni dan Lengkong Sumedang. Tinggi benteng yang dibangun mencapai 5 hasta sepanjang 40 tombak sebelah Barat Cisadane. Pangeran Aria Wangsakara membuat benteng bersama Gusti Sugiri dengan bahan kayu jati yang didatangkan dari Banten dan ditulis dengan bahasa Arab Gundul. Setelah pembangunan benteng ini, Pangeran Aria Wasangkara diberi gelar "Aria Tenggeran". (Paririmbon, 1987: 7)
Setelah tiga tahun dari waktu didirikannya benteng Tetengger di sebelah barat Cisadane, perang melawan Belanda kembali terjadi. Tapi, akhirnya pasukan Belanda kembali berhasil dipukul mundur. Semua lokasi bekas perang berlangsung kemudian diubah menjadi pemukiman yang mulai memadati Lengkong timur. Pada masa itulah Pangeran Aria Tanggeran Wasangkara menjalankan fungsinya sebagai imam sebagaimana amanat dari Sultan Banten dan memutuskan untuk meletakkan jabatan Aria.
Perlawanan terhadap penjajahan Belanda tidak berhenti di situ. Pada era selanjutnya, Ayahanda KH. Ma'ruf Amin juga memiliki peran sentral membentuk pejuang Laskar Fisabilillah di wilayah Kresek dan menyerukan revolusi jihad kepada para santri untuk mengusir penjajah dari negeri ini. Saat itu ia memiliki  pesantren di Desa Koper, yang lokasinya bersebelahan dengan Kresek. Pada zaman itu, banyak pesantren menggunakan nama desa di mana lokasi pesantren itu berada. Maka tak heran bila kemudian Kyai Amin juga dikenal dengan sebutan 'Kyai Amin Koper' (Anif Punto Utomo; KH. Ma'ruf Amin, Penggerak Umat, Pengayom Bangsa, 2018).
* * * * *
BILA dilihat dari garis turunan lain, Azizah Ma'ruf juga memiliki hubungan darah dengan sejumlah tokoh penting Banten yang sangat aktif menyebarkan agama Islam sekaligus gigih dalam melawan penjajahan Belanda. Dari garis silsilah Raden Mahmud--suami dari Ratu Fatimah--tarikan ke atasnya adalah Pangeran Arya Banten, yang merupakan putra dari Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdulkadir. Dialah penguasa Banten pertama yang mendapatkan gelar dari penguasa Arab di Mekkah pada 1636, karena dianggap berhasil membangun hubungan diplomatik dengan negara lain, khususnya di negara-negara Islam di Timur Tengah.
Sultan Mufakhir adalah anak dari Sultan Maulana Muhammad. Pada masa pemerintahannya, Sultan Maulana aktif menyebarkan ajaran Islam. Dia banyak menulis kitab agama Islam yang kemudian didistribusikan ke hampir seluruh ulama di Banten. Sultan Maulana Muhammad merupakan anak dari Sultan Maulana Yusuf. Di zamannya, Sultan Maulana Yusuf berhasil membawa Banten sebagai pusat perdagangan yang maju. Di zaman ini pula agama Islam juga mulai berkembang pesat.
Ayah Sultan Maulana Yusuf adalah Sultan Hasanuddin, pendiri Kerajaan Banten. Ketika pertama kali mendirikan kerajaan, Sultan Hasanuddin dibimbing oleh ayahnya, yakni; Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Berdirinya kerajaan ini merupakan titik awal masa puncak penyebaran agama Islam di wilayah Banten yang sebelumnya dirintis oleh Sunan Gunung Jati, seorang Wali Songo dari Cirebon.
Maka lengkap sudah garis keturunan di dalam diri Azizah Ma'ruf: wali, kyai, dan pejuang. Tentu saja ini merupakan berkah bagi dirinya: lahir dari garis keturunan dan lingkungan agamis yang akhirnya mampu menempa mental spiritualnya. Saya kira ini sebuah modal besar untuk menjadi pemimpin. Maka bila sekarang ia berkeinginan maju di Pilkada Kota Tangerang Selatan--yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Tangerang--hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan.
Meminjam ucapan Syekh Abu al-Abbas al-Mursi: masing-masing orang akan mencapai pengalaman kebahagiaan dan ketenangan batin melalui jalan dan maqam yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Saya menduga, Pilkada Tangerang Selatan merupakan pintu masuk bagi Azizah Ma'ruf untuk menemukan maqam-nya sebagai pemimpin. Toh, ia bukannya tak punya asal-usul itu.
Seperti kata pepatah: buah jatuh tak jauh dari pohonnya. *)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H