Mohon tunggu...
Andreas Doweng Bolo
Andreas Doweng Bolo Mohon Tunggu... Dosen - fides et ratio

Biodata: Nama: Andreas Doweng Bolo Pekerjaan: Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batu Kuda-Gunung Manglayang-Merawat Kisah, Melestarikan Alam

14 April 2022   16:52 Diperbarui: 15 April 2022   07:14 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deretan Pohon Pinus bak Puisi (dok.pri)

 

Batu Kuda merupakan sebuah area yang terletak di kaki Gunung Manglayang (1611 m) bila para pengunjung keluar dari Tol Cileunyi maka bisa melewati Jalan Vila Bandung sekitar 10-15 menit akan tiba di area Batu Kuda. 

Sebelum memasuki area ini, para pengunjung akan melewati sebuah perkampungan kecil di dekat pintu masuk Batu Kuda. 

Ada berbagai hewan peliharaan warga di kampung ini seperti sapi, ayam, itik, kambing, domba termasuk juga beberapa ekor anjing berkeliaran di jalan.

Di ujung kampung dengan posisi jalan tanjakan para pengunjung akan memasuki gerbang Batu Kuda.

Hari ini, 14 April 2022 sambil menunggu Misa Kamis Putih, kami berkesempatan mengunjugi Situs Batu Kuda untuk kesekian kalinya. 

Kali ini warna hijau menghiasi jalan setapak menuju Batu Kuda karena   musim penghujan sehingga pohon-pohon sedang merambah dengan riangnya. 

Sungai kecil yang biasanya tak berair di musim kemarau kali ini dialiri air dengan gemericik mengalun indah.

Gunung Manglayang-Dok. Pri
Gunung Manglayang-Dok. Pri

Sungai kecil-dengan air sejuk pegunungan-Yang hanya ada di musim hujan (dok. Pri)
Sungai kecil-dengan air sejuk pegunungan-Yang hanya ada di musim hujan (dok. Pri)

Memelihara kisah menjaga tradisi

Penulis pernah berbincang dengan dua sepuh kampung sekitar tahun 2013/14 dalam rangka menangkap spirit demokrasi dalam rima urang sunda. 

Tulisan ini kemudian di terbitkan sebagai sebagai book chapter dengan Judul "Antara Tritangtu (Tangtutilu) dan Demokrasi: Membaca Demokrasi dalam Rima Urang Sunda" dan dipublikasikan dalam Buku berjudul "Kearifan Lokal Pancasila-Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan-Penerbit Kanisius 2015 hlm.423-442".

Dalam rangka ingin mendengar narasi tentang Batu Kuda pada sekitar tahun 2013/14 tersebut penulis dipertemukan dengan Abah Roh oleh seorang sahabat yaitu Bpk. Yohanes Siswanto (Pak Sis). 

Namun, ketika penulis menyampaikan niatan Abah Roh mengatakan bahwa yang layak menceritakan kisah tersebut adalah Abah Aguh yang lebih sepuh. 

Penulis bersama Abah Roh dan Pak Sis menuju rumah Abah Aguh. Tuturan Abah Aguh tentang Batu Kuda bersinggungan juga dengan Carita Pantun Mundinglaya Di Kusumah. 

Dalam tuturannya, Abah Roh mengatakan bahwah batu, termasuk batu kuda adalah peralatan milik Prabu Layang yang telah ngahyang bersama permasurinya Layang Sari. 

Dimana menurut tuturan Abah Roh, Prabu Layang Kusumah itu tak lain adalah Mundinglayang Di Kusumah (kisah ini juga penulis narasikan pada Buku Kearifan Lokal Pancasila, hlm. 430).

Situ Batu Kuda-Menyimpan Narasi (dok. Pri.)
Situ Batu Kuda-Menyimpan Narasi (dok. Pri.)

Batu Kuda-menyimpan narasi rakyat dan ilmu pengetahuan (dok.pri)
Batu Kuda-menyimpan narasi rakyat dan ilmu pengetahuan (dok.pri)

Ruang Belajar

Haryo Kunto, dalam buku "Semerbak Bunga di Bandung Raya" juga menulis tentang Gunung Manglayang. 

Kunto menulis saat itu di tahun 1980, banjir mulai melanda kota Bandung salah satunya karena penggundulan pegunungan dari Tangkubanparahu, Burangrang, dan Manglayang untuk orang kota termasuk pejabat pemerintah (Kunto mengutip, Tempo, 1 September 1984). 

Bila kita membuka lembar sejarah, upaya melestarikan alam pegunungan telah dimulai di tahun 1921 oleh Komite Pelestarian Alam Bandung di bawah pimpinan Dr. van Leeuwen (Lih. Kunto, hlm. 147-148). 

Dr. Van Leeuwen (Dok. Collectie TropenMuseum)
Dr. Van Leeuwen (Dok. Collectie TropenMuseum)

Kunto pun mencatat dahulu kala Bandung merupakan kota yang dikelilingi rangkaian Gunung indah, dari arah timur Gunung Manglayang (1611 m), Gunung Tampomas (1683 m), Gunung Jaya (2416 m), Gunung Papandayan (2660 m). Disambung lagi dari selatan ke arah barat Gunung Kendang (2607 m), Gunung Masigit (2076 m), Gunung Dayeuhluhur (1010 m), dan Gunung Lalakon (970 m) (Lih. Kunto, hlm. 368). 

Barangkali rangkaian Gunung tersebut di tahun 2022 ini tak bisa lagi dilihat dari kota Bandung secara utuh. Hal ini karena Bandung saat ini telah di kepung gunung-gunung buatan manusia berupa gedung-gedung tinggi atau warga Bandung pun tak sempat lagi melihat ke arah pegunungan karena lalu lintas kota yang padat. Namun, berbagai upaya warga kota untuk memelihara narasi-narasi kota pun tetap ada di tengah perkembangan zaman yang tak terelakan. 

Beberapa kelompok seperti, Kelompok Riset Cekungan Bandung yang berdiri 12 Desember 2000 menjadi sebuah ajang ilmiah akademik untuk terus menggali kekayaan Bandung dari aspek Geologi. 

Tentu karya Haryo Kunto merupakan sebuah karya monumental kota ini yang harus perlu terus ditulis kembali oleh generasi berikut untuk menjaga ruh kota terus hidup.

Batu ini berasal dari pengobaran sumur di Manglayang. Struktur batu ini padat dan keras (Dokpri)
Batu ini berasal dari pengobaran sumur di Manglayang. Struktur batu ini padat dan keras (Dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun