Memelihara kisah menjaga tradisi
Penulis pernah berbincang dengan dua sepuh kampung sekitar tahun 2013/14 dalam rangka menangkap spirit demokrasi dalam rima urang sunda.Â
Tulisan ini kemudian di terbitkan sebagai sebagai book chapter dengan Judul "Antara Tritangtu (Tangtutilu) dan Demokrasi: Membaca Demokrasi dalam Rima Urang Sunda" dan dipublikasikan dalam Buku berjudul "Kearifan Lokal Pancasila-Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan-Penerbit Kanisius 2015 hlm.423-442".
Dalam rangka ingin mendengar narasi tentang Batu Kuda pada sekitar tahun 2013/14 tersebut penulis dipertemukan dengan Abah Roh oleh seorang sahabat yaitu Bpk. Yohanes Siswanto (Pak Sis).Â
Namun, ketika penulis menyampaikan niatan Abah Roh mengatakan bahwa yang layak menceritakan kisah tersebut adalah Abah Aguh yang lebih sepuh.Â
Penulis bersama Abah Roh dan Pak Sis menuju rumah Abah Aguh. Tuturan Abah Aguh tentang Batu Kuda bersinggungan juga dengan Carita Pantun Mundinglaya Di Kusumah.Â
Dalam tuturannya, Abah Roh mengatakan bahwah batu, termasuk batu kuda adalah peralatan milik Prabu Layang yang telah ngahyang bersama permasurinya Layang Sari.Â
Dimana menurut tuturan Abah Roh, Prabu Layang Kusumah itu tak lain adalah Mundinglayang Di Kusumah (kisah ini juga penulis narasikan pada Buku Kearifan Lokal Pancasila, hlm. 430).