Sejarah Indonesia tak lepas dari derap kaki para pemuda. Ia tak bisa dipisahkan dari imaginasi lintas batas mereka. Imaginasi yang melampaui sekat kedaerahan, ras, agama dan apapun yang menghalangi bangunan kebangsaan yang sedang membara. Ada berbagai kisah kebangsaan, yang berbalut perjuangan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, termasuk juga perjuangan bersenjata. Dalam perjuangan kebangsaan ini tak ada sektor yang dipandang paling penting dari yang lain. Para pemuda melihat bahwa berbagai sektor itu harus bersinergi untuk mewujudkan cita-cita bersama. Persatuan sebagai bangsa menjadi dasar kemerdekaan, dan kemerdekaan  menjadi jalan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Para pemuda Indonesia saat itu mendedikasikan diri pada rakyat Indonesia yang 90% buta huruf. Para pemuda pelajar itu menyuarakan "voice of the voiceless" itu. Gejolak inilah yang justru memaknai apa artinya keterpelajaran mereka. Gelora inilah yang mengukuhkan mereka sebagai manusia (humanum). Mari kita simak beberapa perjalan brilian dan keberanian mengangkat martabat yang tertindas karena kolonialisme oleh kaum muda di era itu. Sebuah dedikasi yang patut  terus digelorakan di abad 21 ini demi mewujudkan jiwa kemerdekaan.Â
Sebuah dedikasi yang diberikan bukan dalam derap revolusi fisik mengangkat senjata melawan penjajah, bukan juga dengan aksi mogok makan tetapi dengan melakukan gugatan di jantung kekuasaan Hindia Belanda yaitu menggugat Bahasa Belanda yang dipakai dan menciptakan Bahasa Baru yang menggantikan Bahasa kaum penjajah itu serta mengajak semua pemuda untuk bersatu demi kemerdekaan. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada peristiwa 1926 dan 1928.
        Â
Beberapa Catatan 1926 Kongres Pemuda Pertama
Het eerste Indonesische Jeugdcongres, itulah nama resmi kegiatan para Pemuda yang diselenggarakan di Batavia (Jakarta, sekarang) 30 April-2 Mei 1926. Kegiatan yang kemudian dikenal dengan nama Kongres Pemuda Pertama. Kongres itu dilangsukan dalam Bahasa Belanda dan laporan kongres tersebut dalam Bahasa Belanda. Saya membayangkan Muhamad Yamin yang masih sangat muda berangkat ke Batavia (Jakarta) untuk sebuah kegiatan yang barangkali tak ada hubunganya dengan pelajaran-pelajaranya yang ditekuni di AMS (Algemeene Middelbare School) Yogyakarta. Â
Kala itu Muhammad Yamin yang masih duduk di kelas akhir AMS atau setinggkat SMA sekarang menyodorkan proposal agar Bahasa Melayu dijadikan bahasa perjuangan menggantikan Bahasa Belanda. Proposal yang pada kongres pertama belum mendapat persetujuan. Namun, terobosan pemikiran Yamin yang masih duduk di bangku SMA ini sungguh luar biasa mengingat kongres pemuda pertama ini diselenggarakan dalam Bahasa Belanda.
Kongres pertama ini digelar di Gedung Pertemuan Vrijmetselaar-Sekarang Jalan Budi Utomo 1 Jakarta. Susunan kepanitian menunjukkan bahwa acara ini ingin mengajak semua pemuda untuk bersatu mewujudkan kemerdekaan. Begini susunan yang ingin merangkul semua golongan itu:
Ketua: Mohammad Tabrani (Jong Java)
Wakil ketua: Sumarmo (Jong Java)
Sekretaris: Djamaluddin Adinegoro (Jong Soematranen Bond)