Kini dengan kehadiran PT. Gema Ripah Pratama, keyakinan mereka terhadap sakralnya cagar alam telah hilang. Mereka merasa ditipu oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Karena sejak dahulu, hutan bakau yang berada di depan mata mereka, ingin di olah menjadi tambak ikan, tetapi pihak BKSDA tidak mengisinkan upaya itu, karena wilayah tersebut dianggap telah masuk ke dalam kawasan cagar alam Morowali dengan bukti adanya tanda alam diwilayah bakau itu.
PT. Gema Ripah Pratama, telah membabat hutan bakau sepanjang 1.200 Meter kearah utara menjulur kearah laut lepas, dengan lebar 15 meter. Pembabatan hutan bakau/mangrove dilakukan untuk keperluan membuat jalan koridor penampungan dan pemuatan ore nikel oleh perusahaan. Tindakan membabat hutan mangrove pernah di hentikan pada November 2011 oleh Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA yang bertugas di Kolonodale atas nama John Fitlan Launde.
Tindakan John Fitlan Launde bukan tanpa sebab untuk menghentikan aktifitas pembabatan mangrove oleh PT. Gema Ripah Pratama, awalnya masyarakat terus mempertanyakan kepada pihak perusahaan, “Apakah bisa menebang hutan mangrove didalam kawasan cagar alam?” Dengan enteng pihak perusahaan menyatakan kepada warga bahwa mereka telah melaporkan kepada pihak Balai konservasi. Tetapi setelah pihak balai konservasi mengecek ke wilayah penebangan dan mengukur pall batas cagar alam, maka ditemukan menurut Kepala Seksi Konservasi bahwa PT. Gema Ripah Pratama telah masuk kewilayah cagar alam Morowali dan tindakan membabat tersebut harus di hentikan.
Atas tindakan menghentikan aktifitas PT. Gema Ripah Pratama oleh John Fitlan Launde, selaku Kepala Seksi Konservasi, maka pada malam harinya, teknisi lapangan perusahaan atas nama Abdi, mendatangi pihak tim yang di pimpin oleh Jhon Fitlan di tempat penginapan desa Lembah Sumara untuk membicarakan keberlanjutan penebangan mangrove, tetapi Kepala Seksi Konservasi, Jhon Fitlan Launde hanya memberikan ultimatum untuk tidak lagi melakukan aktifitas di wilayah tersebut tanpa ada proses hukum atas tindakan mereka yang membabat hutan mangrove yang berada didalam kawasan cagar alam Morowali.
Sempat terhenti aktifitas tersebut, pada Januari 2012, perusahaan memulai aktifitas lagi di wilayah yang sama, hingga membuat pelabuhan ore nikel didalam kawasan cagar alam Morowali dengan diameter 50 kali 70 Meter persegi tanpa ada upaya dari pihak Balai Konservasi untuk menghentikan aktifitas itu.
Berlanjut dari rangkaian cerita diatas, mangrove yang telah ditebang kemudian dibersihkan dan di timbun dengan material dari pegunungan sebelah timur desa Tambayoli yang juga berbatasan dengan cagar alam morowali. Celakanya pihak perusahaan dalam membangun pelabuhan membutuhkan kayu untuk di jadikan pancang dilokasi pelabuhan yang akan di bangun. Sebelumnya ada perusahaan yang di sub kontrakkan untuk mengadakan kayu, oleh pihak PT. Sumber Jati Pratama Selatan di tawarkna pohon kelapa dengan panjang 10 meter dan per pohon di hargai Rp. 400.000. Tetapi pihak kepala desa Tambayoli menyampaikan kepada pihak perusahaan, bahwa batang kelapa tidak cocok untuk di jadikan sebagai tongkat pancang di pelabuhan, kepala desa Tambayoli menawarkan kayu besi untuk di jadikan pancang di pelabuhan tersebut.
Pihak perusahaan tidak menyanggupi jika yang di butuhkan kayu besi, dengan alasan, kayu besi semuanya berada di dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Sehingga perusahaan mengundurkan diri, dan Kepala desa Tambayoli yang bertindak sebagai pihak yang mengadakan kayu besi. Bersama Oknum Kapolsek di Soyo Jaya, kedua orang tersebut bersama-sama mempekerjakan masyarakat setempat mengambil kayu besi di Lokasi Busanga dan Tatari yang juga masuk kedalam kawasan cagar alam. Hingga saat ini kedua oknum tersebut tidak pernah di proses secara hukum karena mengambil kayu dari dalam Kawasan Cagar Alam Morowali.
Eksploitasi yang Harus Dipertanggungjawabkan
PT. Gema Ripah Pratama, yang di sebut sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan yang di keluarkan oleh Bupati Morowali Anwar Hafid pada tahun 2011, dengan wilayah konsesi seluas 145 hektar berada di desa Tambayoli. Perusahaan ini adalah perusahaan yang beralamat di Gowa, Kompleks Hassanuddin Blok C 44. Sungguminasa- Gowa. Sulawesi Selatan. perusahaan yang bergerak di bidang Kontraktor, Supplier, eksportir dan perdagangan umum ini, terus melakukan eksplorasi dan penggalian ke arah Cagar Alam Morowali, bahkan sampai dua ratus meter ke dalam cagar alam.
Sinyo Efendi. yang juga keluarga dekat dari Bupati Morowali Anwar Hafid, sering terlihat aktif menghubungi tokoh-tokoh masyarakat di kecamatan untuk melakukan sosialisasi, di tengarai juga bahwa Sinyo Efendi adalah sebagai pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut. Hal ini memperkuat dugaan keterlibatan bupati Morowali dalam pelanggengan perusakan cagar alam Morowali. Bagaimana tidak? PT. Gema Ripah Pratama dalam mengambil ore nikel telah merusak pall batas yang dibuat oleh tim BKSDA, hingga kini pall batas tersebut di rusak dan tersisa tinggal besi bekas yang masih menancap di posisi awal. Bahkan jika ditarik garis lurus, PT. GRP telah masuk merusak hutan cagar alam morowali sejauh 30 meter ke dalam cagar alam Morowali, bukan itu saja, galian-galian bekas pengambialn sampel juga terdapat didalam kawasan hingga dua ratus meter kedalam cagar alam tersebut.
Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam, bahkan turut membiarkan upaya pengerusakan hutan dan pengambilan kayu untuk tiang pancang di pelabuhan PT. Gema Ripah Pratama yang diambil dari dalam kawasan cagar alam Morowali tepatnya di diwilayah Tatari dan Busanga yang kayunya berdiameter dua puluh lima.
Sebelumnya telah di jelaskan diatas, bahwa pelabuhan Ore nikel milik PT. Gema Ripah Pratama telah masuk dalam kawasan cagar alam Morowali, tetapi terus dibiarkan oleh petugas BKSDA baik provinsi maupun yang ada di Poso. Bahkan pihak BKSDA beberapa kali mendapatkan secara langsung perusahaan sedang beraktifitas, tetapi tidak ada teguran serius untuk menghentikan pengrusakan hutan oleh perusahaan tambang tersebut.