Mohon tunggu...
Arupa Karsani
Arupa Karsani Mohon Tunggu... -

I'm not telling the truth. I'm just a word without heart. More stories http://arupakarsani.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kertagama; Selisih Rindu (Part 2)

1 November 2016   19:16 Diperbarui: 2 November 2016   07:39 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menilai perempuan sebagai makhluk yang sukar dimengerti. Terkadang energiku harus terkuras demi segala sesuatu yang terlalu detail. Perbandingan antara seribu dengan dua ribu saja bisa menjadi masalah besar. Bahkan ketika seoles lipstick berbeda warna menempel di kulit bibir mereka. Kepercayaan diri seorang perempuan justru melekat pada pemilihan warna. Padahal jelas, bukan lipstick yang menjadikan pemikirannya digdaya. Bagi laki-laki sepertiku, membandingkan merah dengan maroon saja aku tak bisa. Apalagi soal perpaduan warna lipstick. 

Teoriku tentang perempuan memang tak sepenuhnya memiliki landasan. Pertemuan arus pemikiran antara seorang pemuda rantau asal Minangkabau dengan sesosok gadis Jawa kini tak hanya persoalan diskusi belaka. Jujur, akhir-akhir ini perempuan itu memberiku kesan berbeda karena warna bibirnya. Nada bicaranya sedikit berubah. Tidak merendah. Sama sekali tidak. Hanya saja terdengar lembut dan memesona. Awalnya perempuan itu membiasakan diri dengan nada menggertak. Saat ini terlihat bahwa dia benar-benar sosok perempuan dengan logat Jawa yang khas. Aku tak mengerti. Debaran jantungku mulai menyeruak ke seluruh pembuluh nadi. Kusentuh perlahan kepalanya yang memakai kerudung Paris sederhana. Dia terkejut setengah mati. "Eh, anu. Maaf." Ucapku terbata-bata. Perempuan itu tersenyum. Tak ada penolakan secara verbal, namun reaksinya tetap menghindar. Pandangannya menajam. Lidahnya pun bergerak membasahi bibir. Ada sesuatu yang membuatku terpaksa menelan ludah. Dibenahi kerudung paris itu sedikit. Diliriknya mataku dengan tatapan menggoda. "Apa kau menyukaiku, Uda?" Aku tertegun. Siapa yang tak akan mati kutu dengan pertanyaan yang mempertontonkan kelemahan syahwat seperti kata "suka". Definisi suka, tertarik, kagum, atau bahkan perasaan untuk memiliki menjadi kabur tercampur aduk seketika. Ada yang membuat jantungku berdegup kencang. Rasa-rasanya ingin kupeluk perempuan ini dalam cengkraman. Aroma wewangian Apel dan Melati yang tercium dari tubuhnya membuat tanganku ingin leluasa membelai kepalanya lagi. Namun aku tersadar, bukan itu yang dia inginkan. Ia mungkin hanya menggodaku karena candaan. Martabatnya tak sampai hati mencoreng harga diriku sebagai laki-laki Minang. Perempuan ini tahu betul jika aku adalah orang yang berpegang teguh pada agama. Entah kenapa raut wajahnya seketika berubah. Diambilnya selembar tissue dari tas, lalu dihapusnya lipstick yang telah melekat di bibir. Aku semakin tak mengerti. Tingkahnya seperti manusia yang hendak bercerita tentang masalahnya sendiri. Diberikannya tissue berlipstick tadi kepadaku. Kuterima dengan ragu, namun berjuta pertanyaan memenuhi kepalaku. Perempuan itu lalu mengeluarkan selembar tissue yang lain dan menyemprotnya dengan parfum beraroma Apel dan Melati. Diberikannya lagi hingga aku semakin tak tahan untuk bertanya. "Apa yang Guru lakukan?" Guru tersenyum lagi. Tak ada jawaban pasti. Ditulisnya beberapa kalimat yang menjadi barisan puisi. Bukan, bukan puisi. Semacam sajak penuh teka-teki. Wajahnya memang tak lagi secantik saat memakai lipstick. Namun, guratannya membuatku semakin tak ingin menarik diri. Kusentuh pelipis perempuan itu tanpa ragu. Kali ini bukan karena aku terbawa syahwat belaka. Ingin kusentuh tempat dimana ia berhasil meramu pemikiran-pemikiran yang begitu digdaya. Guru tertegun. Sejenak kuperhatikan ada reaksi yang berbeda. Ia tak ingin marah ataupun menggoda. Diraihnya tanganku yang berada di pelipisnya. Ia tak mengusir ataupun melepas sentuhanku. Digenggamnya tangan itu sembari terpejam. Akupun demikian. Kupejamkan mata dengan mengatur jangtungku yang tengah berdebar-debar. "Apakah aku bisa merasakan ini lagi di masa depan nanti?" Tanya Guru kepadaku. "Tentu." Jawabku singkat. Aku tersentak saat tahu jika aku tertidur di dalam sebuah sedan hitam. Mimpi tentang peristiwa lima tahun yang lalu semakin mesra memutar memori dalam kepala. Sesosok perempuan dengan batang rokok yang ia hisap mulai mengganggu pernapasan. Guru memandangiku sejenak sembari membuang puntung rokok melalui jendela mobil ke arah selokan. Diraihnya sebotol air mineral untuk diberikan kepadaku. Aku tak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Kerongkonganku terasa haus. Kuterima botol air mineral dan meminumnya dengan perlahan. Tak banyak kata yang kuucapkan setelahnya. Hanya terima Kasih dan Guru kembali menyimpan botolnya. "Kau tertidur selama empat jam." Tegurnya. "Perjalanan ke Jakarta masih dua belas jam lagi." Aku mengangguk. Guru memutuskan untuk mencari tempat peristirahatan. Kuturuti saja apa maunya. Kami berjalan menuju barat dengan lalu lintas yang cukup padat. Kuperhatikan Guru yang kini tak lagi mengenakan kerudungnya. Wajahnya bersih tak tertutup tebalnya make up. Hanya saja lipstick maroon yang ia kenakan sedikit membuatnya terlihat lebih kejam. Aku berusaha untuk tak peduli. Namun aku rindu warna bibirnya yang tak memakai lipstick. Ia jauh lebih pantas demikian dibandingkan dengan penampilannya sekarang yang memakai lipstick berwarna pekat. Tiba-tiba Guru menghentikan kemudi sedan hitam. Aku terkejut. Diraihnya selembar tisu dari dalam tas. Lalu dihapusnya lipstick maroon berwarna pekat dari bibir. Air matanya tak sengaja mengalir. Tak deras, namun cukup memilukan. Ia meraih sebuah scraft untuk menutup kepala meskipun tak mampu menjangkau rambutnya keseluruhan. Aku sedikit bingung. Guru mencoba menghapus air mata dengan punggung tangan, namun alirannya justru semakin deras. Tersadar aku jika perempuan yang kuanggap berhati baja ini sedang menunjukkan kelemahan. Kudekatkan tubuhku sembari mendekapkan kepalanya ke dada. Perempuan itu menangis dan aku hanya mampu terpana. Jauh di lubuk hatiku terdalam kerinduanku semakin menggelora. Bagaimana mungkin ia bisa membaca anganku padanya jikalau ia tak punya sedikitpun rasa. Bagaimana jika ternyata ia hanya kuat dalam personanya saja, namun tidak dengan jiwanya. Sungguh, peristiwa hari ini menyisakan ribuan tanda tanya menyiksa. Antara aku, Guru, serta jalinan rasa yang tak ingin kuingkari keberadaannya. [Selisih Rindu, selesai] Bersambung di Kertagama;  Mata-Mata Istana (Part 1) SurabayaSenin, 31 Oktober 201620:27 Arupa Karsani

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun