Mohon tunggu...
Zahir Makkaraka
Zahir Makkaraka Mohon Tunggu... Dosen - Belajar dalam segala hal

Lagi mencari guru dan tempat berguru!!!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Terlarang (6)

6 Januari 2018   09:34 Diperbarui: 6 Januari 2018   10:04 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Umurnya sekarang hampir 25 tahun, 11 Maret nanti tepatnya. Sepanjang 20 tahun, namaku melekat di belakang namanya. Atma Nur Ihsan. Dia bukan anak kandungku, dia hanya anak dari kakak sulungku. Ketika berumur dua tahun, kedua orang tuanya bercerai. Kakakku kembali ke kampung halaman dan hidup bersama kami. Kala anak itu berusia 5 tahun, ibunya telah berpulang ke rahmatullah. Ketika di makamkan,  ayah kandungnya pun datang melayat dan mengantar kepergian mantan istrinya.

Sebelum ayah anak itu pergi kembali, dia sempat menitipkan ATM dan buku rekening. Katanya untuk kebutuhan hidup anaknya. Dia berjanji tiap bulan akan mentransfer biaya hidup Atma, anaknya. Dan janji itu dia penuhi hingga sekarang. Itulah pertemuan terakhirku dengan mantan kakak iparku. Atma Nur merupakan nama pemberiaanya, Cahaya Jiwa maknanya. Dia orang baik, sayang kakakku dan dirinya tak mau menjelaskan sebab perceraian mereka. Dari mereka hanya alasan klise "Tidak ada lagi kecocokan lagi" katanya. Alasan basi bagiku.

Tak terasa anak itu telah hampir seperempat abad usianya. Beberapa bulan lagi sekiranya tidak ada aral melintang, dia akan merampungkan studi S2-nya. Dia anak cerdas, mungkin menurun dari ibunya. Sejak SD hingga SMK, peringkat satu dan dua menjadi posisinya di kelas. Pun IPK diijazahnya tertera 3,92. Pun ketika semester 3 hingga selesai kuliahnya, beasiswa berprestasi selalu dia dapatkan. Kuliahnya S1 hanya ditempuhnya 3 tahun 10 bulan. Aku bangga mempunyai anak seperti dia, sekiranya kedua orang tuanya ada disampingnya kini pastilah mereka akan bangga.

Kecerdasan intelektualnya pun didukung kecerdasan spiritual, emosional dan sosial yang mumpuni juga. Meski tak pernah mengikuti sekolah agama atau pesantren, tapi pengetahuan agamanya tinggi. Bahkan di masjid kompleks, kadang dia menjadi naib bagi khatib yang berhalangan datang ketika hari jum'at dan ketika ramadhan sepanjang dia ada di masjid ketika malam tak segan mengisi kekosongan. Dia juga aktif diorganisasi intra dan ekstra kampus. 

Untuk di intrakampus, dia cenderung suka yang dengan kegiatan tulis menulis. Jurnalistik dan penelitian adalah minatnya, bahkan pernah diamanatkan menjadi ketua UKM yang bergelut dengan penelitian di kampusnya. Salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar di negeri ini dia ikuti, meski tak pernah menjabat dalam struktur dia disegani. Dia tidak mau terlibat dalam hal praksis katanya. Dia sudah pernah mengikuti level senior course di Ibu Kota Negera dan sering dipanggil menjadi pemateri di kegiatan-kegiatan .di dalam kampus maupun di luar kampus. 

Kini dia menempuh S2 berkat beasiswa pula. ATM dan Buku Rekening dari ayahnya belum kuberikan, pun tak pernah aku memberitahunya akan hal itu. Isinya juga tak pernah aku dan adik-adikku menggunakannya. Biaya hidup dan sekolahnya adalah tanggungjawab kami, adik dari ibunya. Kami berempatlah yang menanggung hidupnya. Kelak ketika dia menikah atau hidup sendiri barulah kami akan menyerahkan kepadanya. Kami terlalu sayang padanya, satu-satunya cucu laki-laki dari orang tuaku.

Hanya satu kekurangannya bagiku, dia malu dan kurang bergaul kepada perempuan. Pernah kutanyakan padanya kenapa dia tidak pacaran, belum ada orang yang tepat katanya. Sifat itu mungkin menurun dari ayahnya. Entahlah ....
*****

"Nak, tadi aku ke rumah Pak RT untuk membayar iuran bulanan warga. Aku melihat keponakannya, cocok kayaknya dengan dirimu nak." Aku menggiring pertanyaan tentang perempuan padanya setelah makan malam. Tadi sore aku ke rumah Pak RT membayar iuran kebersihan dan kemanan kompleks. Aku melihat keponakannya yang menurutku sesuai kriteria yang diinginkan keponakan tersayangku. Cantik dan akhlak yang baik. Sempurna bagiku untuk keponakan yang telah kuanggap sebagai anakku sendiri.

"Siapa OM? Nur Aeni?" Ada perubahan di raut mukanya ketika memberikan pertanyaan padaku. Kayaknya ada sesuatu yang dia sembunyikan.

"Iya, kriteria yang kau pernah sebutkan padaku sepertinya ada pada Aeni."

"Aku setuju kalau Aeni. Sudah cantik, berjilbab lagi. Sudah sarjana dan tak lama lagi akan jadi mahasiswa S2.  Kurang apa coba? Sekiranya saya seumuran denganmu, sudah aku dekati. He..." Aku sengaja memanas-manasinya. Ingin kulihat responnya. Aku sempat berbincang dengan Aeni kala membawa minuman untukku dan Pak RT. Darinya kutahu bahwa Aeni dan Atma sudah beberapa kali bertemu dan Aeni akan jadi mahasiswa di kampus Atma sekarang.

Aku memandangnya Atma lebih lekat. Memerah pipinya. Ketika aku mengatakan kalimat tadi, pandangannya beralih dariku. Aku pahami karakteri keponakanku ini. Aku mengakhiri percakapanku malam itu, wajahnya tertunduk kaku memandang smartphone-nya. Mobil Legend kembali dia khusyuki.

"Aku tahu nak, kamu menyukai perempuan itu." Gumamku dalam hati ketika berlalu darinya. Aku akan mencari jalan untuk menyatukanmu. Mungkin ATM dan Buku Rekening dari ayahmu tak lama lagi akan kuserahkan padamu.

*****

(To Be Continued)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun