Mohon tunggu...
Zahir Makkaraka
Zahir Makkaraka Mohon Tunggu... Dosen - Belajar dalam segala hal

Lagi mencari guru dan tempat berguru!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Terlarang (1)

31 Desember 2017   10:10 Diperbarui: 31 Desember 2017   10:41 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tik.. tik...

Suara tetesan air, terdengar jelas. Hujan belum menemui usai sejak sayup-sayup shalawat melantun di subuh yang hening. Sekiranya seperti kemarin, mungkin mentari akan terik memanggang ragaku. Dinginnya suasana tak membuatku beranjak dari tempat ini. Kupandangi langit kamar tidurku tanpa  plafon. Mataku terpejam, mengingat apa yang telah terjadi. Semalam, diacara tahun baru kompleks tempat tinggalku kini. Dasar bodoh, aku memang bodoh tapi  aku tak bisa menolak mata itu. Mata sayu dengan wajah yang ayu itu.

Tubuhku merosot, berbalik, dan bersandar pada dinding kamar. Pintu  kamar tidurku masih terbuka. Aku benamkan wajahku di tumpukan tanganku, aku benar-benar bingung  dengan semua ini. Tapi, jika aku mengingat matanya lagi. Hanya satu  yang aku inginkan, memilikinya.

Tik... tik...

Suara tetesan air, aku masih mendengarnya dengan jelas. Awal tahun bagiku hanya warna keabu-abuan memerah dihariku, entahlah.... Sebuah logika yang selalu menyerah pada perasaan. Mungkin  inilah kenapa Adam turun dari surga bersama Hawa. Logika yang terabaikan  karena adanya sebuah perasaan. Jika yang aku alami seperti halnya Adam  dan Hawa, apakah dia tercipta untukku? Lagi-lagi beberapa tanya membuncah. Ah..., wanita tadi malam merampas kebebasanku.

Lantun lagu dari negeri tetangga meramaikan ruangku. "Satu Kesan Abadi" dari iklim beberapa kali aku ulang, fungsi repeat sku aktifkan di aplikasi pemutar musik di laptopku.

Jalan terang
Luas menanti aku
Dengan dendang
Irama hidup baru
Dibelai cintamu

Hilang dendam
Lenyap ia sendiri
Datang tenang
Makin aku hayati
Makin lapang dadaku
Ku rasa sentosa
Sendiri meminta
Dicantum padanya
Tak gelisah lara
Cerita yang punah
Biarpun meronta
Tidak menjadi ngeri

Ku yakin disana
Gelap yang tiada
Kesan satu cinta
Terpancar cahaya
jelas segalanya
Hanya sinarmu
Yang mampu
Memberi cinta itu
Dengan aman
Senyumlah sepuasnya
Jauh berbeda
Bagai yang dirasakan
Rasa yang disini
Itu satu rahasia
Hanya tersendiri
Itu satu iringan
Nyayian mimpi

*****

Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan hingar bingar. Sekiranya paman, tante besera adik sepupuku tidak memaksaku tentu aku akan berasyik masyuk dengan proposal thesisku. Aku mengikuti mereka dalam keterpaksaan ke sebuah tanah lapang yang ada di kompleks perumahan dimana aku bermukim kini. Seperti tahun lalu, hingga dini hari baru selesai pesta itu.

Seperti tahun lalu pula, makan malam bersama kemudian setiap kepala keluarga memperkenalkan anggota keluarganya, karaoke-an, nyalakan petasan dan kembang api ketika waktu menjelang pergantian tahun, pun ada beberapa warga yang main domino atau kartu remi, dan pastinya ini ajang kaum muda mudi yang ada di kompleksku maupun dari luar kompleks.sal saling memperkenalkan diri. Seperti itukah rutinitas awal tahun di kompleksku. Sejak aku melanjutkan studi S1 hingga sekarang yang lagi mempersiapkan thesisku.

Aku berkumpul dengan warga di tanah lapang itu. Ada panggung tersedia, pun kursi plastik yang tak sampai ratusan buah ada di tanah lapang itu. Tak ada tenda yang menaunginya. Keyboard, TV Plasma LED yang kuprediksi sebesar 52 inci, perangkat soundsystems dan loadspeaker masing-masing ada satu di sudut depan panggung, ada tiga buah mikrofon yang salah satunya bertahta di tiang mic. dan pastinya spanduk yang bertuliskan sela,at tahun baru. Di latar spanduk itu ada gambar paman dan tanteku beserta penghuni kompleks lain. Dekorasi panggung bagiku masih monoton, sudah beberapa kali berganti tahun masih dengan gaya yang sama. Mungkin dekorasi itu sudah terintegrasi dengan habitus warga di sini dan menjadi ciri, atau hanya itu kemampuan dekorasi warga sampai dibatas itu, atau .... Entahlah, aku hanya bisa berhipotesis.

Aku memilih duduk di kursi belakang di samping warga yang sepantaran denganku. Aku mengenalnya, seangkatan dan sefakultas waktu kuliah S1 dulu, hanya berbeda program studi. Rizal, presiden BEM di Fakultasku dulu kala aku diamanatkan menjadi ketua UKM tingkat universitas yang lokusnya tentang penelitian. Seringlah aku bertemu dikegiatan kemahasiswaan. Dan aku dan Rizal sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan ekternal. Aku mengisi malam tahun baru di tanah lapang itu dengan banyak hal, termasuk mengkritik budaya tahun baru yang sama-sama aku hadiri kini. Dia juga dipaksa bapaknya.

Acara makan malam setelah warga berkumpul dimulai, mungkin berjalan sekitar sejam. Acara memperkenalkan anggota keluargalah segala kisah gulana bermula. Dirunutlah urutan penampilnya berdasarkan posisi rumah dan keluarga pamanku mendahului keluarga Rizal, pun kemudian aku ke atas panggung karena paman memanggilku. Anehnya pamanku membanggakan diriku bahwa saya tak lama lagi akan menyelesaikan studi S2-ku. Padahal waktu bersenda gurau dengan Rizal, aku mengelak dari Rizal tentang studiku. Acara memperkenalkan anggota keluarga ditutup oleh Pak RT sekaligus memberi sambutan kepada warga kompleks. Naiklah anggota keluarga tersebut dan .... Matu sayu nan ayu itu menarikku dalam pusaran pesona. Persona gadis berjilbab ungu memaku diriku dalam keterpanaan. Sungguh, hati bergetar penuh debar.

*****

(Tunggu kelanjutannya ..........)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun