Mohon tunggu...
Zahir Makkaraka
Zahir Makkaraka Mohon Tunggu... Dosen - Belajar dalam segala hal

Lagi mencari guru dan tempat berguru!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terima Kasih Cappo'

2 Mei 2016   10:17 Diperbarui: 2 Mei 2016   10:19 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

11 Maret 2016

Pagi-pagi handphone-ku berdering. Nama kakak tertera memanggil. Pada awal pembicaraan masih berbilang santai, anaknya yang berumur 6 tahun memotong pembicaraan. Nadia, nama keponakanku itu meminta dibelikan hadiah sebagai kado ulang tahunnya. Aku berjanji akan memenuhi keinginannya. Banyaklah benda yang dia sebut; boneka, aneka kue hingga sepeda tak luput dari pintanya. In sya Allah sebentar siang akan kukirim pembeli kue dan boneka di rekening ibunya kataku padanya saat itu. Saat ibunya mengambil kembali pembicaraan, aku masih mendengar suara Nadia dengan penuh kegembiraan. Bahkan terdengar pula kala dia bercerita kepada kakaknya yang kembar bahwa dia akan dibelikan boneka dan kue ulang tahun. Ceria memang hari itu.

Awalnya memang ceria, tapi diujung pembicaraan kala itu dengan kakak sedikit meninggalkan ironi buatku. Pesan yang disampaikan begitu menyentil nalar dan nuraniku. "Dik, 2 hari lagi umurmu berbilang 30 tahun. Ayah dan ibu sudah ingin agar kamu segera menikah, jadi usahakan tahun ini kamu menikah." kalimat kakak menohokko dan aku hanya ucapkan in sya Allah. "Tak akan sempurna agamamu dan ibadahmu meski engkau taat dalam pengabdianmu tanpa engkau menikah. Carilah perempuan yang menurutmu baik, mau cari orang Palopo pun tak masalah. Atau kamu sebutkan saja nama sepupu atau keluarga yang menurutmu menarik. Orang tua siap melamarkan untukmu."

Kalimat-kalimat yang diungkapkan kakak membuatku tak terlalu menikmati hari itu. Bayang-bayang nama sepupu dan keluarga yang disebutkan kakak bahkan ada satu nama yang beliau rekomendasikan tak mengantarku pada kedamaian. Dalam konsepsi hidupku yang anti pacaran, nama-nama yang disebutkan kakak tak ada satupun yang memenuhi ekspaktasiku. Perempuan berjilbab besar, rajin beribadah dan mandiri adalah sosok wanita yang aku idamkan. Sepupu-sepupuku tak ada yang sesuai dengan harapanku itu. Hari itu terasa panjang buatku.

Isya sudah aku tunaikan dan saatnya menikmati malam, tapi perkataan kakak di waktu pagi tadi masih membayangiku. Aku teringat dengan sepupuku yang di Makassar, Pia namanya. Ayahnya mempunyai rumah kos-kosan khusus perempuan dan beberapa kali kalau ke rumahnya pasti bertemu dengan penghuni kos-kosan tersebut. Biasanya aku datang ke rumahnya sekedar pergi nonton siaran bola atau ada panggilan makan gratis. Itu saja, tak ada niatan apapun. Dan mungkin karena keseringan pergi di tiap malam minggunya, ada satu penghuni kos-kosan paman yang menarik perhatianku dan aku chat dengan Pia via BBM tentang perempuan itu.

"Pia, menurutmu penghuni kosanmu yang kuliah di UIN Alauddin itu bisa saya jadikan pendamping hidupku!" aku berterus terang padanya.

"Kalau yang itu menurutku tidak bisa dijadikan pendampingmu. Aku kenal semua anak kos disini. Memang pendiam orangnya tapi hidupnya tak disiplin dan suka memandang remeh orang lain. Kalau kamu memang sudah mau menikah, aku punya calon yang menurutku ideal dan sangat sesuai dengan kriteriamu." Pia memberikan penjelasan padaku

"Siapa Pia? Kamu kenal baik dengannya?"

"Temanku, teman waktu SMA dulu. Temanku terhitung baru melakukan proses hijrah. Baru berbilang bulan memakai jilbab dan menanggalkan kebiasaan jahiliyahnya. Sekarang sudah pakai jilbab besar, baca Al-Qur'an tak pernah dia lewatkan setiap harinya kecuali kalau berhalangan, pun sudah rajin tahajjud. Dan lebihnya lagi, diantara semua temanku, dialah teman yang paling setia."

"Bolehlah, aku mau ta'aruf dengan temanmu itu dan aku percaya perkataanmu!"

Aku percaya dengan  perkataan Pia, sepupuku yang berani melakukan proses hijrah setelah bersuami. Aku tahu betul sepupuku itu, kesetiaannya pada suaminya yang sering berpindah-pindah tempat dinas meneguhkan semuanya. Dan akhirnya, proses ta'aruf itu berjalan dengan perantara Pia.

24 April 2016

"Kak, jam berapa pihak keluargamu berangkat? Sudah lama pak imam dan keluargaku menunggu." kalimatnya mangalun via handphone.

"Tunggu saja, in sya Allah rombongan keluargaku akan berangkat pukul 10 nanti." jawabku penuh pasti. Dia menutup panggilannya dengan ucapan terima kasih. Aku mendapat kabar dari kakak bahwa ada puluhan orang yang akan menemani ayahku melamar perempuan itu.

Aku menerima pesannya via BBM bahwa hari ini hatinya tak tenang, penuh dengan debaran. Aku meyakinkan dirinya bahwa inilah jalan yang akan kita lalui menuju ridho-Nya. Alhamdulillah, proses ta'aruf dan khitbah telah kami jalani. Syukur dan puji kepada-Nya tak terlukiskan. Pada seseorang yang istimewa, ingin kuhaturkan terima kasih.

"Pia, terima kasih cappo!'"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun