“Iya, wa alaikumussalam Biyanca. Ada kabar bahagia untukku?”
“Besok aku diundang rumpies The Club untuk promo film terbaru aku. Kamu bisa datang kan?”
Bujuk rayu Biyanca memintaku untuk datang dan aku meng-iya-kan saja. Tahulah relasiku dengan Biyanca, selain Fitri Manalu, dialah wanita yang pernah hadir dalam duniaku. Mungkin cerita Biyanca bersamaku tak sepanjang cerita dengan Ay Mahening, tapi kedekatananku dengan Biyanca merupakan jalan pembuka mengenal arti hubungan perempuan lelaki yang sebenarnya. Biyanca-lah pembukanya, dan rencananya pada Fitri Manalu-lah sebagai pelabuhan terakhir kapal segala hasrat dan gairahku. Tapi sekali lagi rencana hanya dalam kuasa genggaman manusia, kepastiannya adalah iradat Ilahi.
Besoknya, janjiku kepada Biyanca untuk kembali jadi host di RTC kutunaikan. Kembaliku ke dunia intertainment menjadi topik dibeberapa media yang khusus meliput perilaku selebritis. Pun aku paham etik dan emik, aku menolak infotainmen. Daya untuk menentangnya sepertinya tak ada, hingga aku terkadang jadi penikmat informasi yang sekedar menyajikan sensasi.
Entahlah…, sejak Biyanca menelponku dan kemudian bertemu di studio seperti aku menemukan kehidupan ceriaku yang hilang beberapa hari. Meski bayang Fitri Manalu tak bisa kuhapus sesaat, tapi kehadiran Biyanca sedikit mengisi kehampaan. Apalagi si jelita sudah berjilbab, narasi keanggunannya semakin jelas.
Ruang bersua selalu tercipta dengannya. Selang berjumpa paginya, sorenya kembali bersua di acara lain. Bahkan kami dipersatukan dalam satu programa RTC di stasiun TV yang berbeda. Tuhan punya rencana terbaik untukku, itu yakinku kini.
Semakin lama hambar yang selama ini kucipta sekedar pengenang cerita indah bersama Fitri Manalu agar kenangan itu tak terusik seakan mulai menemui titik nadir. Seperti gelombang sinusoida, cerita indah bersama Fitri Manalu telah berada pada titik puncak, pendakiannya telah berakhir dan saatnya menuruni dan mengarungi cerita lain. Saatnya melepaskan bayangnya meski susah, tapi aku mencoba sekeras mungkin agar kesedihan kala mengingatnya tak kulakukan lagi atau setidaknya aku tidak terdampar terlalu lama dalam kehampaan.
Malam ini adalah malam jum’at. Teringat kembali penyebab kematian Fitri Manalu. Kecelakaan tunggal yang sampai kini tak kuketahui sebabnya. Dan malam ini aku akan melamar Biyanca, tanpa ada prosesi pacaran. Perjalanan ke rumah bunda Nur Hasanah Swd cukup memakan waktu, dan di sanalah akan kutegaskan segala asaku pada Biyanca. Ya…, rumah ibu nan bijak itu malam ini dijadikan tempat berbagi cerita semua anggota RTC.
Ingatan pada Fitri Manalu dan pesona Biyanca silih berganti mengisi ruang nalarku. Antara masa lalu dan cita masa depan seperti membebaniku. Dan tepat di tempat meninggalnya Fitri Manalu, cahaya itu datang, menyilaukan. Mobil tak bisa kukendalikan, ruang pikir tak ada lagi Fitri Manalu, tak ada pula Biyanca, tak ada semuanya. Dan kemudian………………, Aku hilang!
***
Ruang Dosen TI UNCP, 10 September 2015