Mohon tunggu...
Zahir Makkaraka
Zahir Makkaraka Mohon Tunggu... Dosen - Belajar dalam segala hal

Lagi mencari guru dan tempat berguru!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tasawuf Sore

30 April 2013   16:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:21 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Aku pandangi daun layu itu, beberapa menit kemudian, angin sore menghempaskannya. Jatuh, semacam gembira menyambut hempasan itu, daun layu itu mengayun indah  lambaiannya. Daun itu telah menemukan dunia yang lain. Rohnya seakan menyapaku "Jasadku tak indah lagi, dulu sedap dipandang karena hijaunya, sekarang, jasadku perlahan melebur, menyatu dengan tanah. Tapi dia tak mati secara hakikat, karena hancurnya pun masih memberi arti bagi kehidupanmu". Aku pandangi kembali daun yang telah gugur, perlahan lenyap karena debu yang menutupinya.

Kuhadirkan tanya tentang diriku sendiri. Darimana aku, untuk apa, dan akan kemana? Sekiranya daun yang telah menghilang itu kutanya tentang hal itu, pasti jawabnya dari dahan-dahan pohonlah aku berasal, untuk memberikan makna kepada tumbuhan itu, dan ketika aku mati, aku masih bisa jadi humus. Aku yakin itu jawabnya, tapi apakah aku bisa menjawab seandainya daun itu bertanya balik kepadaku? Aku tak tahu, kini aku menghilang dari dimensiku yang lain. Aku mengembara

Seperti pesan Descartes, Cogito Ergo Sum "Aku berpikir, maka aku ada". Kembali kuterawangi ayat-ayat alam, aku ingin membacanya, kemudian temukan makna, mungkin disana kutemukan jawab tiga pertanyaan tadi. Darimana, untuk apa, dan akan kemana? Pesan seorang alim kepadaku kala pengembaraan baru kumulai "Kenalilah dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu". Tak lama berselang, sejenak kuhentikan perjalananku, aku berteduh di bawah rimbun pohon kehidupan, datang seorang cendekia dan memberiku jelas "Dan pada penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang merupakan tanda-tanda bagi orang yang beriman". Aku belum sempat bertanya lebih dalam, cendikia itu berlalu. Semakin bingung, sedang jalan didepanku bercabang, aku ambigu menetapkan arah.

Dalam persimpangan keputusanku, kupandangi tanda-tanda jalan yang ada diperempatan, sekiranya bisa memberiku petunjuk. Tak ada riwayat yang bisa kujadikan ilham. Aku menunggu. Aku tersudut dalam keputusasaan. Aku memilih duduk di pinggir jalan, sekiranya ada orang yang berjalan melintas didepanku, akan kutanyakan dimana arah jalan yang kutuju. Tak lama berselang, seorang kakek berjalan dengan bertopang pada tongkatnya yang terlihat sudah tua. Belum sempat kuajukan tanya "Tuhan telah memberimu akal dan seperangkat aturan main, kamulah nak yang putuskan jalan mana yang akan kamu tempuh, fujura' wa takwaha', kamu yang lebih tahu konsekuensi jalan yang kamu pilih nantinya. Ambillah keputusan yang tepat nak!" Aku menundukkan pandangan, coba resapi pesan sang kakek itu. Samar-samar kutemukan noktah, titik terang. Aku dongakkan kepala, tak terlihat kakek tua itu lagi.

Kupilih jalan yang ke kanan, terlihat tanda lalu lintas, jalan itu berliku-liku, ada pendakiannya, dan pastinya tidak semulus jalan yang lain. Kutetapkan arah itu karena kuyakini jalan ini yang menuju tujuanku. Selangkah, dua langkah, hingga tak terhitung sudah berapa langkah kujejaki jalan ini, mungkin selinear dengan usiaku, sepanjang perjalananku sama dengan selama usiaku.

Dalam perjalanan itu, banyak hal yang tak kumengerti kutemui, dan tak ketumakan jawabnya kala pertanyaan-pertanyaan datang mendera. Yang pasti dalam pengembaraanku, tiga pertanyaan tadi telah kutemukan jawabnya. Aku darimana? segenap cintaku seluruh jiwa sepenuh rasa, kutegakkan kata "Aku dari Tuhan". Untuk apa? Seluruh jasad bertasbih "Aku hanya seorang hamba, sudah kepastiaan aku harus beribadah kepada-Nya, itu sebabnya aku dicipta"  Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia selain mengabdi pada-Ku.

Pertanyaan terakhir yang kemudian memberi sesak yang mendalam dalam rongga-rongga nafasku, Akan kemana? Teringat daun yang gugur, daun itu jatuh kemudian meniada, seperti itukah aku kelak? Aku kembali diselipi tanya, mendera segenap sukma. Mungkinkah aku seperti daun itu, berdialektika materialism, dari materi, untuk materi, dan kembali jadi materi. Cerita-cerita kematian yang begitu seram memberiku kengerian, takut mengakhiri hidup dalam keburukan. Kupandangi bukit yang ada diseberang jalan, ada kalimat besar terpapar jelas "Dan janganlah kalian mati tidak dalam keadaan ISLAM!". Aku terpekur kaku.

Pertanyaan "Akan Kemana?" seketika jawab terlintas dari batinku yang paling dalam, dari hati yang tenang, aku akan kembali pada-Nya. Seketika jalan mendaki yang kususuri menurun kemudian mendatar, merata. Mungkin ini anugrah, entahlah. "Nikmat Tuhan apalagi yang kau sangsikan".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun