Mohon tunggu...
Zahir Makkaraka
Zahir Makkaraka Mohon Tunggu... Dosen - Belajar dalam segala hal

Lagi mencari guru dan tempat berguru!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

21 Juni & Eksistensialisme

21 Juni 2013   10:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:39 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1371785596241881499

Hari ini, 21 Juni tepat lahirnya filsuf Jean Paul Sartre(21 Juni 1905). Filsuf yang lahir di Prancis dengan bukunya L'etre et Leneant, Essai D'Ontologie Phenomenologique (1943) begitu terkenal hingga sekarang. Aliran filsafat yang kita kenal Eksistensialisme merupakan produk pemikirannya. Pemikiran Sartre banyak dipengaruhi oleh pemikiran Kant, Hegel, Marx, Nietzsche, dan Husserl, sedangkan pemikiran Sartre banyak mempengaruhi pemikir-pemikir seperti Merleau-Ponty, Iris Murdoch, dan Albert Camus. Bahkan filsuf kontemporer islam seperti Ali Syariati, bisa kita sebut pola pemikirannya sedikit dipengaruhi oleh pemikiran Sartre.

Eksistensialisme menyeruak dunia filsafat semenjak Perang Dunia II (Sutrisno : 1987). Dalam perkembangannya eksistensialisme, Sartre memetakannya ke dua kubu. Pertama adalah kubu Katolik seperti Jaspers dan Marcel yang bergerak menuju Tuhan. Kubu lainnya adalah eksistensialis ateis yaitu Sartre, Heidegger, dan eksistensialis Perancis lainnya (Bertens :1987) . Tetapi ada kesamaan dalam pemikiran kaum eksistensialis itu, yaitu : 1. Motif pokoknya adalah eksistensi, cara khas manusia berada. Pusat perhatian adalah manusia. 2. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan. Manusia, setiap saat, selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Tidak ada 'state of being'. 3. Manusia dipandang terbuka, sebagai realitas yang belum selesai. Pada hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitar, terutama kepada sesama manusia, 4. Memberikan tekanan pada pengalama eksistensial kongkrit manusia misalnya kepada kematian, penderitaan, kesalahan, perjuangan. (Hadiwijono : 1980)

Eksistensialisme adalah corak pemikiran jaman modern yang merupakan pemberontakan terhadap model pemikiran sebelumnya, yaitu materialisme dan idealisme. Bagi materialisme, pada dasarnya segalanya sesuatu pada instansi yang terakhir hanyalah materi, termasuk manusia. Jadi, manusia hanyalah akibat dari proses-proses unsur kimia, fisik, fisiologis, sosial yang dari luar diri manusia semata, sehingga menjadikannya sebuah benda diantara benda-benda lainya. Sifat khusus tentang cara manusia berada disangkal dan dilalaikan. Manusia hanya diposisikan sebagai objek. Menurut Rene Le Senne, kesalahan materialisme adalah detotalisation, detotalisasi, memungkiri totalitas manusia dengan cara mereduksi manusia hanya dari unsur materi saja.

Padahal menurut kaum eksistensialis, manusia mempunyai kehendak bebas, mengerti etika, dan membangun kebudayaan. Manusia tidak hanya berada didalam dunia, tetapi juga menghadapi manusia. Manusia menjalani kehidupan yang selalu berarti membuat dan menjalankan makna-makna. Itu berarti manusia mempunyai kesadaran. Sadar akan dirinya sendiri, sadar akan objek-objek yang disadarinya. Manusia yang memiliki kesadaran ini menjadi Subjek, bukan lagi objek semata. Mengutip Maurice-Merleau Ponty : "manusia tidak hanya dimuat (englobe) oleh dunia, tetapi juga memuat (englobant) dunia.". Manusia yang disebutkan oleh materialisme, meminjam istilah Sartre, hanyalah etre-en-soi (ada-dalam-diri) saja, belum etre-pour-soi (ada-bagi-diri).

Eksistensialisme juga memberontak terhadap idealisme. Bagi idealisme, antara kesadaran dan alam di luar kesadaran tidak ada sangkut pautnya. Sedangkan kedudukan manusia adalah melulu sebagai Subjek. Padahal, manusia juga bisa menjadi objek. Bagi Eksistensialisme, manusia bisa menjadi Subjek sekaligus Objek. Bagi kaum eksistensialis, semangat "aku berpikir maka aku ada" dibalik menjadi "aku ada maka aku berpikir" (Sutrisno, 1987). Bagi mereka, Eksistensi mendahului esensi (L'existence précède l'essence). Karena itulah, meskipun banyak dipengaruhi oleh Fenomenologi Hurssel, tetap saja Sartre menolak "Eidos" (esensi) karena mengasumsikan adanya tujuan akhir (Bertens, 1996).

Terakhir, saya ingin membandingkannya Sartre dengan Ali Shariaty, seorang filsuf Islam pengagum Sartre. Baginya tujuan perjalanan manusia adalah bersatu dengan Tuhan, dan kebebasan (bersama dengan kreativitas dan kesadaran) dinilai bukan sebagai kutukan tetapi justru sebagai anugerah dari Tuhan untuk memimpin dunia dan membangun peradaban. Justru karena kebebasan kita, menurut Shariaty, kita menghancurkan lingkaran setan diatas (yang digambarkan dengan empat penjara determinisme, yaitu sosiologisme, historisisme, biologisme, dan Ego) dan berjalan menuju Tuhan, ketika hidup atau sesudah kematian. Dan tujuan 'ada'-nya manusia bukannya kesia-siaan, tetapi setiap manusia--karena kebebasannya itu--mengemban misi profetik membangun dunia sebagai khalifah dan nanti akan dimintai pertanggungjawabannya akan tugas-tugasnya itu.

Hari ini juga adalah hari Jum'at, penuh baraqah dan maghfirah. Karenanya misi profetik membangun dunia sebagai hamba Allah SWT mesti menjadikan Jum'at sebagai ladang ibadah untuk menunjukkan eksistensi ke-hamba-annya kita. Setelah shalat Jum'at, marilah bertebaran memakmurkan bumi untuk menunjukkan eksistensi ke-khalifah-annya kita sebagai bentuk misi profetik membangun dunia sebagai khalifah.

(Disadur dari tulisan Ekky al-Malaky "Kajian Eksistensialisme Tentang Ontologi:Pemikiran Jean-Paul Sartre")

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun