Mohon tunggu...
Nala Arung
Nala Arung Mohon Tunggu... profesional -

Buayawan, Menulis Untuk Supaya Bisa Membaca, Bernyanyi Untuk Supaya Bisa Mendengar, Berdiam Di East Borneo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Natal dan Lemari Beragama Islam

21 Desember 2016   22:53 Diperbarui: 21 Desember 2016   23:18 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cuaca diluar agak dingin. Sore tadi hujan turun lumayan deras. Agaknya itulah sebabnya yang membuat aku memikirkan untuk membuat segelas kopi malam itu. Tapi dasar sialan, persediaan kopiku habis. 

Iwan rupanya mendengar keluhku. Ia menawarkan sebungkus kopi kemasan padaku. Tawarannya itu sudah pasti akan aku tolak jika saja malam itu aku tak sedang benar-benar mau membutuhkan segelas kopi untuk diminum. Aku tak terlalu suka kopi dengan campuran susu dan gula didalam satu kemasan. akan susah mengatur rasanya. biasanya akan terasa terlalu manis. Aku suka kopi dengan sedikit sekali gula bercampur didalamnya.

Stepi. Dia itu kawan lamaku. Orang Dayak, yang dengan segala bekal kemampuan dan pengalamannya, sudah duluan menyeduh segelas teh manis. Ia tak pernah bisa minum kopi. Kalau minum kopi, dia selalu bingung menjelaskan rasanya. 

"Dirumahku tak pernah ada kopi" tegasnya. Lalu ia berkata lagi, "Dari dulu, kami satu rumah hanya minum teh manis saja" katanya. Ia bicara dengan gaya khasnya. Rokok menyelip di jari tangan, kami bersila dan tentu saja, logat dayak benuaq yang kental. Aku segera menyalakan sebatang rokok juga. dengan cara apa? dengan cara membakarnya menggunakan korek api gas. Kami berdua adalah perokok berat. Tapi Stepi lebih sinting. Ia bisa menghabiskan tiga bungkus rokok jenis mild dalam rentang dua puluh empat jam.

Dia ini seorang kawan lama yang bengal. Ayahnya dulu adalah salah satu tokoh adat terpandang di sebuah daerah bernama Damai, bagian dari wilayah Kabupaten Kutai Barat sekarang. Rumah mereka besar dan luas. Disanalah biasanya ayahnya mempertemukan dan mendamaikan warga bila ada yang bertikai atau mengadu soal-soal berkaitan hubungan dengan kehidupan sosial dan pemerintahan setempat. Tak jarang mereka semua yang tengah bertikai diajak untuk menginap bersama dirumah itu. Sebuah rumah bertipe panggung, khas rumah-rumah suku-suku pedalaman Kalimantan Timur. Tempat Stepi mengarungi masa kecilnya.

Tapi si bengal itu pulalah yang dulu menjual rumah legendaris itu.  Ia perlu uang untuk membela kebiasaannya bermain judi adat. Mamaknya marah besar. Tapi ia adalah kesayangan sang ayah. Ayah Stepi juga adalah seorang yang senang berjudi adat tapi ia tak pernah sebangkrut si bengal itu. meski bengal, Stepi mewarisi sifat setia kawan dan toleransi tinggi dari ayahnya. Tidak usah heran. Etika dan toleransi adalah ajaran penting dalam kebanyakan rumpun-rumpun suku dayak, termasuk pula suku dayak benuaq. berabad-abad lamanya, tak pernah kita mendengar ada suku dayak menyerang kampung orang lebih dahulu. Begitu pula bila kedatangan tamu dari luar kampung mereka akan mengerahkan segenap sumber daya pelayanannya untuk menjamin kesenangan dan kenyamanan sang tamu.

"Hampir disetiap rumah warga-warga kami, kami punya lemari khusus untuk tamu muslim. Didalamnya kami simpan alat-alat minum dan makan". Ia menjelaskannya sambil meletakkan rokoknya di asbak. 

Semua peralatan itu hanya akan dikeluarkan jika mereka kedatangan sanak famili atau tamu dari kalangan umat muslim. jadi itu semacam lemari "beragama" islam. mereka paham, umat muslim sangat menjaga kesucian makanan berikut alat-alat makannya dan itu semua sudah dilakukan selama bertahun-tahun seiring dengan menyebarnya ajaran islam di daerah mereka. 

CERITA IBUKU

Aku ingat cerita ibuku. Suatu malam di tahun 70an ibuku dijemput seorang lelaki dayak. lelaki itu meminta ibuku membantu proses kelahiran anaknya di Lamin, rumah adat mereka yang terletak jauh dipinggiran kampung dengan hutan yang lebat. Waktu itu, ibuku masih seorang bidan muda yang ditugaskan di pedalaman Kutai Barat. Dulu, daerah itu masih bernama Kutai, sebelum dimekarkan di masa pemerintahan Presiden Gus Dur tahun 1999. Jarak antar kampung yang cukup jauh, lebatnya hutan dan belum adanya penerangan dari pemerintah waktu itu membuat ibuku tak bisa diantarkan kembali pulang sehabis membantu proses kelahiran. 

Mereka menawari ibuku menginap di lamin, malam itu. Disana, ibuku disediakan alas tidur khusus, lalu paginya disediakan pula peralatan masak tersendiri. Mereka mempersilahkan ibuku memasak sendiri untuk minum dan makan pagi. Beras, ikan lengkap dengan bumbu-bumbu masaknya telah disiapkan. Setelah hari sudah cukup terang dan cerah barulah ibuku diantar kembali pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun