Kelompok 4
Isma masaid_34202200003
Diah Ayu Cahyaningsih_34202200008
Nailul Iszah_34202200018
Rahma Ayu Salsabila _34202200021
Syaffra Putri Tirzhani_34202200023
Arum Sekar Adyota_34202200032
Dosen Pengampu: Nila Ubaidah, S. Pd., M. Pd.
Prodi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Sultan Agung.
     Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup anak. Sebagai pendamping sang anak, orang tua harus memfasilitasi hal tersebut karena itu menjadi penentu kualitas diri sang anak. Dalam pertumbuhan, tentunya kita berbicara tentang pertumbuhan fisik dari anak. Sedangkan perkembangan anak meliputi mental dan psikologi. Untuk memfasilitasi perkembangan anak, khususnya pada anak yang telah memasuki usia yang sudah cukup untuk bersekolah, biasanya orang tua akan memasukkan anak pada Lembaga Pendidikan yang sesuai.
     Lembaga pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan moral anak. Di samping memberikan pendidikan akademik, lembaga pendidikan juga bertanggung jawab untuk membantu anak memperoleh nilai-nilai yang penting untuk kehidupan, seperti toleransi, kejujuran, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan moral sebagai bagian penting dalam kurikulum pendidikan sangatlah penting. Menurut Kohlberg, perkembangan moral dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu, prakonvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Tingkat I: PrakonvensionalÂ
     Dalam tingkat pra konvensional dibagi menjadi dua tahap. Pertama, orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman. Pada perkembangan anak-anak, lembaga pendidikan berorientasi terhadap kepatuhan dan hukuman dalam mendidik siswanya. Biasanya siswa pada tahap ini hanya mengetahui bahwa aturan-aturan yang ada ditentukan oleh sesuatu yang memiliki kekuasaan lebih besar darinya, di mana kekuasaan ini tidak bisa diubah oleh siapapun. Maka dari itu siswa berpikir bahwa mau tidak mau ia harus menaati peraturan dari yang berkuasa tadi. Sehingga apabila ia melanggar peraturan tersebut ada konsekuensi yang akan diberikan terhadapnya. Dalam pelaksanaannya, kepatuhan dan hukuman merupakan dua hal yang sering dikaitkan karena dalam pembentukan kepatuhan akan disertai dengan hukuman sebagai konsekuensinya. Sebagai contohnya, apabila seorang guru memberikan tugas maka akan ada konsekuensi bila sang murid tidak mengerjakan tugas. Hukuman dapat berupa mendapat tugas tambahan. Hal ini dapat membentuk moral seorang anak karena dengan begitu membuat anak memiliki tanggung jawab untuk mengerjakan tugas.
     Kedua, relativistik hedonism. Dalam perkembangan anak-anak, hedonisme relativistik adalah sebuah pandangan bahwa kebahagiaan atau kenikmatan bersifat relatif dan bervariasi antara individu dengan individu lainnya. Dalam konteks lembaga pendidikan, pandangan ini sangat menghargai perbedaan individu dalam hal preferensi, minat, dan kebutuhan dalam pengalaman belajar. Misalnya, beberapa siswa mungkin menikmati pembelajaran melalui diskusi kelompok siswa, sedangkan yang lain mungkin lebih suka bekerja secara mandiri. Dalam hal ini, pendekatan pengajaran yang fleksibel dan terbuka dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih positif dan memuaskan bagi semua siswa, tanpa mengabaikan kebutuhan dan preferensi individu. Oleh karena itu, pendekatan hedonisme relativistik dapat menjadi panduan yang berguna dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan beragam.
Tingkat II: Konvensional
     Tingkatan ini terdiri dari dua tahap, yaitu orientasi mengenai anak yang baik dan mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada tahap orientasi mengenai anak yang baik, bisa berbeda-beda tergantung pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam budaya dan masyarakat tertentu. Namun, secara umum, ada beberapa prinsip yang sering dianggap penting dalam membentuk anak yang baik:
1. Moral dan Etika: Anak yang baik dihormati dan memiliki pemahaman yang baik tentang moral dan etika. Mereka memiliki kemampuan untuk membedakan antara tindakan yang benar dan salah, dan berusaha untuk bertindak dengan integritas, kejujuran, dan empati terhadap orang lain.
2. Pendidikan: Anak yang baik diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Mereka didorong untuk belajar dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kognitif, emosional, sosial, dan fisik.
3. Kejujuran: Anak yang baik diberdayakan untuk menjadi orang yang jujur. Mereka diajarkan pentingnya berbicara jujur, menghargai kepercayaan orang lain, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
4. Empati: Anak yang baik mampu memahami dan merasakan perasaan orang lain. Mereka belajar untuk berempati dan peduli terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain, serta mengembangkan sikap toleransi, kerjasama, dan dukungan terhadap sesama.
5. Kemandirian: Anak yang baik didorong untuk menjadi mandiri dan bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Mereka diajarkan keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang tepat, mengatasi tantangan, dan meraih tujuan hidup mereka sendiri.
6. Rasa Hormat: Anak yang baik menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain, termasuk kepada orang tua, guru, dan sesama teman sebaya. Mereka diajarkan untuk mendengarkan pendapat orang lain, menghargai perbedaan, dan bersikap sopan dalam berinteraksi dengan orang lain.
7. Keseimbangan: Anak yang baik mengembangkan keseimbangan dalam hidup mereka. Mereka diberi kesempatan untuk menjalani kegiatan yang beragam, termasuk pendidikan, olahraga, seni, dan aktivitas sosial, sehingga mereka dapat mengembangkan potensi mereka di berbagai bidang.
8. Keberanian dan Ketangguhan: Anak yang baik diajarkan untuk menjadi orang yang berani dan tangguh. Mereka belajar menghadapi tantangan, mengatasi kegagalan, dan tetap bersemangat dalam mencapai tujuan mereka.
9. Penting untuk diingat bahwa setiap anak adalah individu yang unik, dan orientasi mengenai anak yang baik dapat bervariasi tergantung pada nilai-nilai, kepercayaan, dan kebutuhan individu serta budaya dan masyarakat tempat tinggal mereka.
     Kemudian pada tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas, anak mulai menyadari kewajiban untuk melaksanakan norma-norma yang berlaku dan memelihara norma yang berlaku. Anak mulai merangkul peran sosial dan mulai melihat di mana posisi mereka dalam hierarki sosial. Dimana mereka harus menyesuaikan dari kelompok terdekat (orang-orang yang anak kenal) ke kelompok yang lebih luas (suku bangsa dan agama). Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan norma yang berlaku demi ketertiban itu sendiri. Sebagai contoh, seorang siswa harus menaati tata tertib sekolah yang sudah disepakati bersama seperti memakai seragam lengkap saat mengikuti upacara. Bila siswa melanggar norma yang berlaku, maka dia secara moral salah, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang patut.
Tingkat III: Pasca-Konvensional
     Dalam tingkat ini, juga terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, orientasi terhadap perjanjian antara diri sendiri dengan lingkungan sekitar. Mengacu bagaimana individu dapat mengadopsi, memahami, dan mengubah sikap dan perilaku mereka sesuai dengan norma dan nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Perubahan moral-moral peserta didik melibatkan proses internalisasi nilai-nilai dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan sosial. Pada awalnya, anak-anak mungkin belum sepenuhnya memahami konsep perjanjian sosial dan implikasinya. Namun, melalui pendidikan, pengalaman, dan interaksi sosial, mereka belajar tentang pentingnya kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.
     Pada Tahap kedua, prinsip etika universal, penalaran moral berdasarkan pada penalaran abstrak yang menggunakan prinsip etika universal. Menggunakan prinsip etika universal bukan hanya berdasar pada keadilan dan komitmenya untuk melaksanakan keadilan tersebut namun juga harus tidak mematuhi atau meninggalkan hukum yang tidak adil. Dengan prinsip ini maka seseorang akan bertindak atau melakukan sesuatu karena hal itu benar dan bukan hanya karena maksud pribadi saja, sehingga yang dilakukanya sesuai harapan, legal dan sudah disetujui bersama sebelumnya. Pada prinsip etika universal, ada norma pribadi yang bersifat subjektif, ada pula yang norma etik (baik atau buruk, benar atau salah) yang bersifat universal sebagai sumber untuk menetukan suatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
     Dalam kesimpulannya, lembaga pendidikan penting dalam membentuk moral dan karakter anak. Lembaga pendidikan harus menjadikan pendidikan moral sebagai bagian penting dalam kurikulum dan program pendidikannya. Pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan karakter dalam lembaga pendidikan akan membantu menciptakan generasi yang lebih baik dan beretika tinggi. Dalam upaya mencapai hal tersebut, kolaborasi antara lembaga pendidikan, guru, dan orang tua sangat penting demi membantu anak-anak dalam membangun karakter dan moral yang kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H