Mohon tunggu...
Arum Sekar Adyota
Arum Sekar Adyota Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Unissula

Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unissula

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyimpangan Konsep Open-minded

6 Desember 2022   23:00 Diperbarui: 7 Desember 2022   07:16 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Arum Sekar Adyota, Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Islam Sultan agung.

Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum, Unissula.

Dewasa ini, perkembangan zaman semakin lama semakin maju. Menyeret semua kalangan manusia masuk kedalam tatanan yang baru ini. Perubahan pola pikir juga ikut serta dalam peradaban baru. Kita sudah tidak lagi terbelenggu dengan pemikiran-pemikiran yang picik dan mencekik suatu pihak. 

Orang-orang dipaksa untuk memiliki pikiran yang modern. Seringkali ditemukan orang yang menyeleweng dari opini yang modern, tidak segan-segan dibabat habis oleh para penggerak fenomena ini, yang selanjutnya sering disebut oleh kaum muda dengan istilah open-minded.

Open minded sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yang artinya pikiran yang terbuka. Secara umum, orang-orang akan memaknai open minded dengan pikiran seorang individu yang dapat menerima perbedaan dengan individu lain. Tentunya hal ini sangatlah penting bagi masyarakat pada belahan dunia manapun, termasuk negara kita sendiri, Indonesia. 

Open-minded menggiring kita pada sikap toleransi yang tinggi karena kita sebagai seorang yang open-minded diharuskan untuk menerima perbedaan-perbedaan yang ada.

Akan tetapi, bagaimana jika fenomena open-minded ini telah pergi terlalu jauh? Agaknya orang-orang terlalu dalam dalam memikirkan konsep dari open-minded ini, sehingga tak sedikit yang mulai berlebihan dalam menerapkan pola pikir yang terbuka. 

Salah satu peristiwa tebaru yang menarik perhatian saya mengenai miskonsepsi ini adalah saat Piala Dunia 2022 yang diselenggarakan di Qatar beberapa waktu lalu. Di negara Qatar, ada suatu aturan dimana pemain, penggemar, jurnalis, atau siapapun yang datang pada acara tersebut dilarang memakai atribut yang berbau bentuk dukungan atau promosi terhadap gerakan LGBT dan sejenisnya. 

Hal ini dikarenakan Qatar merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Dalam implementasi sebagai negara beragama, Qatar menganggap gerakan LGBT sebagai bentuk perilaku yang menyimpang norma.

Sontak hal itu menuai pro-kontra dari berbagai pihak. Beberapa pihak terlihat keberatan atas larangan yang digaungkan oleh sang tuan rumah. Mereka dianggap mendiskriminasi suatu pihak atas tindakan mereka. 

Dengan kata lain mereka tidak open-minded seperti yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang zaman modern ini. Akan tetapi apakah dengan menyetujui perilaku yang menyimpang itu bisa dikatakan sebagai open-minded? Apakah open-minded dalam penerapannya tidak dibarengi dengan sikap melek norma beragama yang sangat melarang tindakan LGBT dan sejenisnya?

Indonesia sebagai negara yang menggunakan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara, tentunya sangatlah bertabrakan dengan konsep open-minded yang digiring dengan konsep seperti tadi. Kita mempunyai nilai sila Pancasila yang pertama yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Hal itu berarti dalam tindakan apapun, kita selalu menyisipkan agama dan moral-moralnya. Agama apapun di Indonesia atau dimanapun itu tidak ada yang mengamini tindakan LGBT. Agama apapun akan melarang keras hingga tidak sedikit yang memberi hukuman berat kepada pelaku tindakan ini.

Pendukung tindakan menyimpang tadi merasa telah dibenci oleh suatu pihak dan menginginkan keadilan agar dapat bertengger dalam sistem masyarakat. Padahal, itu bukan suatu kebencian melainkan ajakan untuk berjalan pada yang benar. 

Normalisasi LGBT bukan suatu hal yang open-minded dan harus tegas disuarakan bahwa hal ini adalah salah dan pelaku harus kembali kepada fitrahnya. Open-minded bukan berarti membenarkan semua yang bukan kodratnya dengan berlandaskan itu urusan pribadi masing-masing. Selagi kita masih bisa menyuarakan kebenaran, kenapa tidak?

So, di tengah hiruk pikuk perubahan ke zaman yang lebih modern ini, kita harus pintar-pintar menyaring informasi tentang pola pikir yang menjadi penggerak kita pada kehidupan. Salah duanya dengan berpegang teguh dengan nilai-nilai agama yang kita percayai dan nilai-nilai Pancasila. Kedua hal tersebut menurut saya merupakan hal yang sangat sederhana dan basic untuk menuntun kita melalui sendi-sendi penghidupan yang semakin hari semakin banyak hal-hal yang diluar dugaan kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun