Mohon tunggu...
Dwi Arum Nofayanti
Dwi Arum Nofayanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

an ordinary woman with an extraordinary spirit ^^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika "Suku" Menjadi Syarat dalam Menentukan Pasangan Hidup

24 Februari 2012   15:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:13 1440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1330096268281837248

[caption id="attachment_164896" align="aligncenter" width="225" caption="sumber: google.com"][/caption] "Nek bunda yo terserah ae nduk... seng penting se-iman, arep wong opo ae seng penting apik. Tapi mbok yo nek iso seng  jowo ae toh nduk....." Kalimat di atas adalah satu kalimat yang acap kali terlontar dari bundaku ketika kami sedang membicarakan masalah memilih pasangan hidup. Kalimat ini pertama kali terlontar beberapa tahun yang lalu saat ada seorang pemuda yang tidak sesuku denganku, berniat serius ingin meminangku. Pada saat itu aku belum genap berumur 19 tahun. Lalu kuceritakanlah perihal si pemuda itu kepada bundaku. Nampak ada sedikit perubahan pada air muka bunda, lalu terlontarlah kalimat sakti tersebut. Di awal kalimat, aku menangkap bahwa bunda memberiku kebebasan untuk memilih calon,entah dari segi finansial, latar belakang keluarga, ataupun budaya. Namun ketika aku mendengar kalimat berikutnya, ada batasan nyata yang selanjutnya merupakan syarat utama bagiku dalam menentukan pilihan. Akhirnya si pemuda mundur perlahan setelah aku jelaskan persoalannya. Pada saat itu ada perasaan sedih dan merasa bersalah kepada si pemuda. Namun sungguh aku tidak bisa mengabaikan pernyataan bunda waktu itu. Aku paham, kalau di dalam agamaku, aturan pemilihan pasangan sungguh tidak mencantumkan masalah kesukuan sebagai bahan pertimbangan. Disini aku hanya tidak ingin mengecewakan orang tuaku. Saat ini, aku memasukkan satu lagi syarat utama berdasarkan apa yang di deklarasikan oleh orang tuaku. Memang benar mereka tidak ada mengatakan "Wajib sesuku" namun perlu digaris bawahi bahwa, kata "nek iso" atau "kalau bisa" ala mereka adalah satu keinginan besar yang dengan segenap jiwa berusaha aku wujudkan. Memang benar bahwa kelak yang menjalani kehidupan rumah tangga adalah aku, bukan mereka. Tetapi aku tidak mau nekat membangkang dengan menentukan pilihan sesukaku.Karena bagiku, keinginan orang tuaku adalah cita-citaku, bahagia mereka adalah bahagiaku. Mungkin kasus seperti ini bukan hanya aku yang mengalaminya. berbagai faktor menjadi alasan para orang tua untuk memasukkan kesukuan sebagai syarat . Kalau dilihat dari sudut pandang orang tuaku, mereka menjadikan perbedaan budaya sebagai faktor utama dalam ketidaknyamanan berumah tangga. Bunda pernah berkata, "nek podho wi luwih enak nduk, gag usah menyesuaikan lagi, gag perlu perdebatan dalam menenfukan ini itu." Ada benarnya juga sih, kalau sama memang jauh lebih mudah untuk menyesuaikan dan melanjutkan  tradisi. Faktor kedua adalah lingkungan. Aku tinggal di Kalimantan Timur, di mana sebagian penduduk disini adalah pendatang. hal ini mengakibatkan adanya multicultural. Bunda dan bapak sering mendapati tetangga yang berbeda suku (maaf) aneh-aneh masalahnya. Mulai dari masalah tata krama, masalah sosial, dan lain sebagainya. Kebetulan saja mereka menyaksikan sisi- sisi yang tidak menyenangkan dari orang- orang yang tidak sesuku. Sebenarnya orang tuaku sangat bersahabat dengan semua orang. Hanya untuk masalah memilih menantu itu saja yang prinsipnya tidak bisa di ganggu gugat. Aku pribadi adalah orang yang tidak memandang orang lain berdasarkan suku. Aku pernah beberapa kali (walau hanya di hati saja) merasakan ada getar rasa terhadap pemuda yang tidak sesuku denganku. Yah... masalah rasa, bukan kita yang bisa menentukan mau dimana, kapan dan dengan siapa hati kita merasakan getaran- getaran aneh di hati. Aku menikmati hadirnya rasa tersebut, bermain dengan gejolak hati. Menurutku "rasa" adalah anugrah yang sangat indah dari-Nya. Tapi aku sadar sepenuhnya bahwa dalam pernikahan, bukan hanya hati atau rasa yang di nikahkan.Ada dua keluarga yang akan berhubungan dan berdampingan. Ada hal lain yang harus di pertimbangkan.  Jangan sampai sebuah pernikahan yang mengedepankan urusan rasa, bisa menjadi boomerang bagi kehidupan yang akan di jalani di masa yang akan datang. Saat ini usiaku 21 tahun, masih menjalani semester akhir di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kalimantan. Aku sangat ingin menikah muda, tapi pengalaman yang lalu membuatku lebih berhati-hati dalam mengolah rasa dan menentukan pilihan. Saat ini lebih memilih sendiri karena memang belum saatnya untuk memilih "the one". Syarat selanjutnya, harus lulus dulu( mohon do'a ya ^^). Sangat ingin langsung dilamar saja nanti, tidak melalui proses pacaran hehee.. amiiinnnn.... Salam hangat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun