Remang. Bagiku hidup ini seperti kecubung layu di antara semai perasaan berairmata. Aku dilahirkan dari rahim seorang wanita  yang selalu menciptakan riuh di gendang para penemu Tuhan dan dihasilkan dari benih seorang lelaki yang  jauh dari takbir para malaikat Tuhan. Aku biasa memanggil mereka dengan sebutan ayah dan ibu, meski sebenarnya hati ini masih menyimpan gundah di balik karakter yang belum sempat kupahami dari keduanya.
Aku melalui waktu dan perasaan, dengan hati yang tak pernah damai karena silsilah karang yang terhempas nafsu oleh cinta yang tak pernah puas di antara ayah dan ibuku. Setiap hari yang kudengar hanyalah gendoran pintu dan suara yang menggelegar pilu pada bilik kamar yang bisu.
Terkadang aku berpikir, mengapa mereka mengajarkan aku ketidakdamaian dan ketidakpuasan, padahal aku berharap dalam keluargaku terjalin sebuah ukhuwah yang bisa mengantarkanku pada gerbang kasih sayang yang dipenuhi rahmat-Nya.  Ayah! Ibu! Aku rindu nasehat  kalian, aku rindu belaian kasih kalian, dan aku juga rindu senyum yang dulu senantiasa menghiasi bibir kalian hingga sempat menitikkan keharmonisan dalam bahtera keluarga ini. Ya, aku rindu.
@@@
Sendiri, sepi. Aku hanya terdiam tepat  di depan televisi memandangi bibir sayu ibuku  yang selalu membeku. Hanyalah cucuran airmata mengalir tak henti saat kulihat sosoknya tersorot lampu kamera bersama seorang lelaki durjana, bercumbu pada kelam yang menimang ratap airmata. Aku masih di sini menatap langit yang haru biru dengan kepedihanku. Keindahan seakan berbalik menjadi sekelumit duka yang tak pernah kuharap sejak terdengarnya kabar yang tak senonoh tentang ibuku.
Ruangan yang penga ini serasa seperti penjara tanpa sipir dengan aku sebagai penghuni tunggal. Saat ini fikiranku tak karuan. Aku stres. Kepalaku berat. Hari ini takdir telah menginjak-injak harga diriku dengan menciptakan skenario bahwa ayah dan ibuku akan berpisah. Hari ini aku sendirian. Yang jelas aku akan kehilangan semuanya. Dan sekarang aku belajar mengeksplorasi fikiranku ketataran hidup yang lebih leluasa ketika aku harus belajar pad akenyataan pahit ini.
@@@
Daarrr...! Daarrr...! Suara pecahan kaca terdengar dari ruang tamu. Dari situ, aku yakin bahwa suara itu adalah buah dari perselisihan ayah dan ibuku.
"Sebelumnya aku sudah menyangka bahwa omongan tetangga tentang sikapmu yang buruk itu memang benar." Suara ayah menggelegar bak seorang raja yang marah pada hulubalangnya karena tidak becus dalam pekerjaannya. Sedangkan ibu dengan santainya tetap memainkan rokok di tangannya tanpa memperdulikan celotehan ayah.
"Rita! Apa sih maumu, mengapa kamu tidak mendengarkan perkataanku dari tadi, memangnya kamu  anggap aku ini apa?" kata ayah menggertak ibu.
"Herman...! Asal kamu tahu ya, aku tidak puas dengan pelayananmu. Kamu terlalu egois dengan pekerjaanmu. Memangnya aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana. Ku tahu kebusukanmu. Aku juga tahu perlakuanmu terhadap wanita-wanita lain." Akhirnya ibu membalas perkataan ayah yang tak kalah panasnya. Ibupun melanjutkan perkataannya.