Mohon tunggu...
Arum Dwi Sulistiyo Wati
Arum Dwi Sulistiyo Wati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan dengan fokus pada konsentrasi moneter. Tertarik mendalami kebijakan makroprudensial, keuangan digital, dan efektivitas instrumen moneter dalam perekonomian Indonesia. Melalui tulisan-tulisan ini, saya berharap dapat berbagi wawasan dan berdiskusi mengenai berbagai isu ekonomi terkini yang berkaitan dengan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stabilitas Ekonomi di Bawah Bayang-Bayang Twin Deficit: Perspektif Orde Baru dan Reformasi

3 November 2024   16:25 Diperbarui: 3 November 2024   16:27 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah twin deficit mengacu pada kondisi di mana sebuah negara menghadapi dua jenis defisit sekaligus, yaitu defisit anggaran dan defisit neraca berjalan. Defisit anggaran terjadi ketika pengeluaran pemerintah melebihi penerimaan yang diperoleh, sementara defisit neraca berjalan muncul saat nilai impor barang dan jasa lebih besar daripada ekspor, yang berarti bahwa aliran modal masuk kurang dibandingkan dengan aliran modal keluar. Twin deficit ini dianggap mengancam stabilitas ekonomi, terutama dalam jangka panjang, karena meningkatkan ketergantungan negara pada pendanaan eksternal dan memperlemah posisi fiskal negara.

Pada era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, perekonomian Indonesia memang mencatat pertumbuhan pesat, terutama berkat fokus pada industrialisasi dan pembangunan infrastruktur. Namun, di balik capaian ini, pemerintah menghadapi masalah twin deficit yang signifikan. Ketergantungan pada utang luar negeri serta ekspor minyak yang rentan terhadap fluktuasi harga membuat struktur ekonomi Indonesia rapuh. Ketika harga minyak anjlok pada 1980-an, defisit anggaran pun meningkat, memaksa pemerintah untuk menambah utang luar negeri guna menutup kekurangan tersebut. Di sisi lain, dorongan besar terhadap impor barang modal untuk mendukung industrialisasi juga memperburuk defisit neraca berjalan. Kebijakan ini memang menumbuhkan ekonomi, tetapi dengan mengorbankan stabilitas neraca eksternal akibat nilai impor yang jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor non-migas. Akumulasi twin deficit ini akhirnya menjadi bom waktu yang meledak saat krisis 1997-1998. Depresiasi rupiah membuat utang luar negeri membengkak, mengungkap ketergantungan ekonomi pada pembiayaan eksternal dan kurangnya diversifikasi ekspor.

Disisi lain defisit fiskal yang terus melebar di era reformasi, mulai dari masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga puncaknya pada tahun 2020 di bawah Presiden Joko Widodo akibat pandemi COVID-19, menimbulkan pertanyaan kritis tentang keberlanjutan kebijakan pembiayaan pemerintah. Hingga kuartal pertama 2024, posisi utang pemerintah mencapai Rp8.262 triliun, atau sekitar 39 persen dari PDB. Kenaikan utang ini mencerminkan beban defisit APBN yang makin berat, meskipun pada awal 2023 terdapat secercah harapan dengan keseimbangan positif yang menunjukkan kapasitas pemerintah untuk membayar bunga utang tanpa menambah utang baru. Namun, risiko dari strategi pembiayaan melalui utang ini tak bisa diabaikan. Dengan ancaman suku bunga yang terus meningkat, pembayaran bunga utang akan makin menekan APBN, meningkatkan potensi kegagalan bayar yang berbahaya. Jika tren defisit fiskal berlanjut tanpa adanya perbaikan mendasar, ancaman krisis utang akan semakin nyata, mengingat keseimbangan fiskal yang makin rapuh.

Selain itu, defisit neraca transaksi berjalan yang didorong oleh tingginya impor migas juga menambah tekanan pada belanja pemerintah, khususnya terkait subsidi energi. Dalam jangka panjang, tingginya stok utang publik ini berpotensi memicu kebijakan perpajakan yang lebih berat dan distorsif karena pemerintah akan membutuhkan dana lebih besar untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang. Bagi masa depan fiskal Indonesia, langkah konkret untuk menekan defisit dan memperkuat ketahanan ekonomi harus menjadi prioritas utama sebelum beban utang menjadi ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi nasional.

Pada kedua era, kebijakan moneter memainkan peran penting dalam mengelola twin deficit. Di era Orde Baru, kebijakan moneter cenderung lebih ketat, dengan tujuan menjaga stabilitas nilai tukar dan mengendalikan inflasi. Namun, ketika krisis 1997-1998 terjadi, Bank Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga secara drastis untuk menstabilkan rupiah, yang pada akhirnya memperdalam resesi. Di era Reformasi, Bank Indonesia lebih fleksibel dalam menerapkan kebijakan moneter untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keuangan. Namun, tantangan masih tetap ada, terutama dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketergantungan pada impor dan aliran modal asing yang fluktuatif. Bank Indonesia seringkali harus menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi dan menjaga nilai tukar, yang pada gilirannya dapat menekan pertumbuhan ekonomi.

Pengalaman twin deficit di era Orde Baru dan Reformasi memberikan beberapa pelajaran penting. Pertama, ketergantungan pada utang luar negeri untuk menutup defisit anggaran harus dihindari. Era Orde Baru menunjukkan bahwa ketergantungan pada utang luar negeri tanpa kebijakan yang hati-hati dapat meningkatkan risiko keuangan negara. Di era Reformasi, pembatasan defisit anggaran yang diatur dalam undang-undang memberikan disiplin fiskal yang lebih baik, dan ini harus dipertahankan. Kedua, diversifikasi ekonomi sangat penting untuk mengurangi defisit neraca berjalan. Kedua era menunjukkan bahwa ketergantungan pada komoditas ekspor membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat sektor manufaktur dan meningkatkan daya saing produk ekspor non-komoditas. Investasi dalam riset dan pengembangan, pelatihan tenaga kerja, serta peningkatan infrastruktur menjadi langkah penting untuk mendukung diversifikasi ekonomi. Ketiga, koordinasi kebijakan fiskal dan moneter harus terus ditingkatkan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Ketika twin deficit terjadi, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak sejalan dapat memperburuk situasi. Misalnya, jika pemerintah terus meningkatkan utang untuk menutup defisit anggaran sementara bank sentral harus menaikkan suku bunga untuk menstabilkan nilai tukar, hal ini dapat menciptakan tekanan pada perekonomian secara keseluruhan.

Twin deficit telah menjadi tantangan yang berkelanjutan bagi Indonesia, baik di era Orde Baru maupun era Reformasi. Meskipun tantangan ini tidak dapat dihindari sepenuhnya, pelajaran dari masa lalu menunjukkan pentingnya kebijakan fiskal yang berkelanjutan, diversifikasi ekonomi, dan koordinasi yang baik antara kebijakan fiskal dan moneter. Dengan mengelola twin deficit secara hati-hati, Indonesia dapat membangun fondasi ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan untuk menghadapi tantangan global di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun