Mohon tunggu...
Dyah Arum Narwastu
Dyah Arum Narwastu Mohon Tunggu... -

Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dewi Kwan Im, Bolehkah Saya Bertanya?

26 Februari 2017   20:15 Diperbarui: 26 Februari 2017   20:30 2333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(source: https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/pagoda-avalokitesvara-buddhagaya-watugong-pagoda-tertinggi-di-indonesia)

“Krek.. krek..krek…” Nyaring terdengar suara potongan bambu yang saling bersentuhan. Suara tersebut semakin jelas terdengar ketika berada semakin dekat dengan altar doa yang terdapat sedikit menjorok ke dalam. Semakin masuk pula suasana terasa semakin nyaman, aroma dupa yang menenangkan tercium dengan sangat pekat.

Kemewahan dan keanggunan nampaknya telah melebur dan berubah wujud menjadi sebuah bangunan yang dinamakan Pagoda Avalokitesvara, tempat ibadah sekaligus wisata yang didominasi dengan warna merah dan emas. Tidak sulit menemukan bangunan ini, cukup menuju Jalan Perintis Kemerdekaan Semarang maka tingginya bangunan yang mempesona ini akan langsung dapat mencuri fokus siapapun yang melewati daerah tersebut.

Terdapat banyak hal yang ditawarkan di Pagoda Avalokitesvara, semuanya tentu saja berhubungan dengan wisata rohani. Meskipun dibangun di lahan Vihara Buddhagaya Watugong Semarang, namun tempat ini terbuka untuk masyarakat umum yang beragama non Buddha. Siapapun boleh berkunjung, siapapun boleh bertanya pada Dewi Kwan Im. Ya, bertanya pada Dewi Kwan Im, Dewi yang dipercaya sebagai Dewi Welas Asih melalui ritual Ciamsi.

Aroma dupa terasa sangat menyengat ketika api dari kotak yang disediakan menyentuh ujung dupa tersebut. Pembakaran dupa memang harus dilakukan sebagai ritual untuk memohon izin kepada Dewi Kwan Im. Dewi Kwan Im tidak mengizinkan sembarang orang untuk bertanya kepadanya, karena itu ritual ini perlu untuk dilakukan.

“Dewi Kwan Im, bolehkah saya bertanya?” kalimat tersebut yang seringkali diucapkan pada ritual pembakaran dupa. Pembakaran dupa harus dibarengi dengan persembahyangan menurut agama dari seseorang yang ingin bertanya. Penyebutan nama, usia, dan pertanyaan yang ingin diajukan dilakukan pula dalam tahap ini, tentunya kesemua itu diucapkan di dalam hati.

Ritual dilanjutkan dengan melempar Poa Pwee, dua keping kayu berbentuk setengah lingkaran yang memiliki dua sisi berlainan. Jika Poa Pwee jatuh dengan dua sisi yang berlainan, orang yang melemparnya diijinkan untuk melanjutkan ritual. Namun apabila sisi yang terbuka sama, berarti Dewi Kwan Im tidak mengizinkannya untuk bertanya.

“Krek.. krek..krek…” Nyaring terdengar suara potongan bambu yang saling bersentuhan. Jawaban dari pertanyaan yang diajukan dapat diperoleh dengan mengocok beberapa bambu yang terdapat pada suatu wadah. Satu batang bambu yang jatuh adalah jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Namun, kesalahan masih mungkin terjadi dalam tahap ini. Maka untuk memastikan, harus bertanya lagi kepada Dewi Kwan Im dengan melempar Poa Pwee. Bila jawaban yang diperoleh memang benar merupakan jawaban dari Dewi Kwan Im, maka Poa Pwee akan jatuh dengan menunjukkan dua sisi yang berlawanan.

Sebatang bambu dalam ritual Ciamsi memiliki berbagai makna yang diungkapkan dengan sebuah syair lembut berbahasa Sansekerta. Syair ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan memiliki berbagai arti sesuai dengan pertanyaan yang diajukan, baik pertanyaan mengenai rezeki, umur, maupun jodoh.

Avalokitesvara diambil dari nama seorang Bodhisatta, seorang calon Buddha yang diyakini dalam ajaran Buddha Theravada. Sedangkan nama Watugong diambil dari sebuat batu berbentuk gong yang terdapat di depan Vihara.

Agama Buddha sangat akrab dengan sosok Siddharta Gautama, pertapa yang mencapai pencerahan tertinggi menjadi Buddha di Bodhagaya India sekitar 2500 tahun lalu. Di Vihara ini, terdapat sebuah Pohon Bodhi yang merupakan cangkokan dari Pohon Bodhi yang ada di Anuradha Vihara Srilanka, sedangkan Pohon Bodhi yang ada di Anuradha Vihara Srilanka adalah keturunan dari Pohon Bodhi yang ada di Bodhagaya.

Di bawah Pohon Bodhi, dapat dijumpai patung Buddha yang sedang bertapa. Lagi-lagi kesan mewah dan anggun lah yang terlihat. Mewah, karena patung dibuat dengan warna emas yang memukau. Anggun, karena pahatan yang terasa sangat hidup dan dapat memberikan ketenangan bagi siapapun yang memandangnya.

Vihara Buddhagaya Watugong dan segala keindahan yang terdapat di dalamnya adalah sebuah pilihan yang sangat tepat untuk belajar bagaimana indahnya toleransi beragama. Buddha, sebagai sosok manusia dengan pencerahan tertinggi, digambarkan sebagai sosok yang sangat suci dan murah hati. Sosok tersebut dapat dilihat langsung melalui patung yang terdapat di tempat wisata rohani ini. Selain itu, keramahan para penjaga dan penghuni Vihara juga dapat menjadi gambaran nyata sikap ramah Buddha yang telah diwahyukan dalam ajaran terhadap umatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun