Mohon tunggu...
Muhammad Bahrul Ulum
Muhammad Bahrul Ulum Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

a learner from others

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merefleksikan Politik Islami

31 Desember 2013   16:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:18 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu saya pernah menulis sebuah status di Facebook demikian:

"Kasihan jilbab dan gelar hajahnya, hanya dijadikan jilbab politik dan ibadah hajinya, haji politik. Karena dg berjilbab dan sudah haji itu meningkatkan elektabilitas politik. Namun, masyarakat pemilihnya dulu mungkin lupa pada hal-hal yg substansi dlm kepemimpinan, kapasitas dan integritas ketimbang sampul islami."

Mungkin memang status tersebut cukup kontroversial bagi sebagian orang, yang bisa jadi dianggap terlalu menjustifikasi ibadah seorang politisi tidak lain demi kepentingan politiknya ketimbang ibadah manusia kepada sang penciptanya.

Dari satu sisi itu bisa benar, namun tidak seluruhnya benar. Kecenderungan yang terjadi memang terjadi pergeseran agamisasi dalam politik paktis. Agama dijadikan batu loncatan untuk meraih pengaruh masyarakat calon pemilih melalui beragam kegiatan keagamaan, baik itu tabligh atau ceramah, peringatan hari keagamaan hingga penggunaan atribut keagamaan dan bahkan dalil-dalil alquran dan alhadits sekalipun.

Tentang Islam yang masuk ke dalam arena politik praktis, saya lebih suka menyebutnya dengan Politik Islami. Politik Islami dalam pergulatan politik sebenarnya justru menjadikan Islam tidak lebih dari komoditas atau barang dagangan yang tujuannya untuk memenangkan pihak tertentu pesta demokrasi, entah dengan cara apapun. Politik Islami ini bisa diusung secara institusi partai (partai berlabel Islam) atau secara perorangan (partai tidak melabeli diri sebagai partai Islam).

Pertama, Politik Islami institusi. Kita dapat menjumpai PKB, PPP, PKS, PKNU, PAN dan PBB. Terkait hal ini dapat kita ambil contoh PKS misalnya. Partai ini merupakan partai yang aktif dan gencar mengatasnamakan diri demi kepentingan Islam. Namun, tentu saja partai ini tidak berarti lantas telah merepresentasikan (kepentingan) Islam untuk seluruhnya.

Dalam perjalanannya, fakta pun memperhadapkan kenyataan yang berlainan. Bahwa partai yang mengatasnamakan kepentingan Islam ini justru terbukti tidak lebih menjadikan jargon Islam sebagai komoditas semata, nilai-nilai Islamnya belum tampak tercermin di dalamnya, dimana Ketua Umumnya terbukti terlibat dalam skandal kasus korupsi kuota impor daging sapi.

Perilaku demikian tentu sangat jelas bukan tuntunan yang agama Islam perintahkan, bahkan itu merupakan larangan yang perlu dijauhi. Jika melihat fakta di atas dapat dikatakan bahwa sesungguhnya partai yang mengatasnamakan Islam justru tidak sama sekali membela kepentingan dan menegakkan tuntunan yang digariskan Islam.

Kedua, Politik Islami perorangan, dimana partai tidak mengatasnamakan diri sebagai partai Islam, namun gaya politik individu dipandang merefleksikan tuntunan Islam. Hal ini terbukti manjur dalam membujuk rakyat untuk memilihnya dalam pesta demokrasi. Kecenderungan itu terjadi karena kadar keislaman melalui atribut masih menjadi pertimbangan besar dan menjadi daya tarik yang kuat bagi masyarakat Indonesia ketimbang berdasarkan kriteria kapabilitas dalam memimpin.

Dalam Politik Islami yang kedua ini, atribut agama merupakan senjata andalan dalam berpolitik, khususnya mengenai cara berdandan yang muslim dan muslimah agar dapat dianggap sebagai calon pemimpin yang taat beragama, beriman, bertaqwa dan selalu berdasarkan tuntutan agama Islam.

Fakta pun juga berlainan, dan membantah dengan tegas bahwa Politik Islami tidak lebih dari sekedar kosmetik belaka. Penahanan Atut Chosiyah misalnya, Ia bejilbab dan menutup segala aurat. Namun itu saja tidak cukup. Tenyata meskipun berdandan ala Islami nyatanya justru melakukan korupsi yang sangat sistematis. Hal ini juga tentu bukan apa yang Islam ajarkan. Karenanya, meskipun berbusana Islam sekalipun tidak otomatis jaminan bahwa seorang pemimpin akan bersikap dan menjalankan nilai-nilai yang Islam ajarkan kepadanya.

.

Politik Islami dan Absurditas Kritik Terhadap Ibadah

Tidak dapat terbantahkan bahwa meskipun Islam telah dipaksakan untuk memasuki arena politik, namun banyak di antara umat Islam sendiri masih menganggap absurd mengenai kritik terhadap politik yang mengatasnamakan dakwah dan ibadah. Bagi sebagian orang, ibadah harus bersih dari kritik, karena itu adalah urusan pribadi manusia dengan tuhannya. Banyak di antara mereka akan cenderung menyalahkan orang yang dianggapnya mengkritisi ibadah tersebut, meskipun ibadah tersebut tengah dicampuradukkan dengan politik praktis.

Terkait hal itu, perlu kiranya kita membaginya dalam kedua unsur yang masing-masing pada dasarnya saling berlainan, yaitu antara Politik dan Ibadah. Politik adalah tentang hubungan sesama manusia dalam membangun pemerintahan dan Ibadah adalah tentang hubungan manusia dengan sang pencipta. Karenanya bisa dikatakan bahwa sesungguhnya ibadah ada pada ranah privat.

Sekiranya tidak salah jika orang mengatakan bahwa ibadah harus bersih dari kritik, karena itu ranah privat. Namun justru menjadi salah besar apabila ada seseorang yang melarang mengkritik ibadah yang dibaurkan dengan politik praktis. Ketika ibadah dibaurkan dengan politik praktis, maka ibadah tidak lagi murni berada dalam ranah privat.

.

Ibadah Haji dan Haji Politik

Bagi sebagian orang mungkin menganggap haji politik merupakan bagian dari ibadah haji. Tentu anggapan itu tidaklah salah, karena tidak ada perbedaan dalam pelaksanaan ibadah haji.

Hanya perbedaan haji terletak pada niat. Suatu niat akan memengaruhi bagaimana seseorang itu kemudian besikap. Haji juga memiliki niat apakah memang tulus ingin menyempurnakan rukun Islam atau juga sekaligus menambah gelar H di depan nama. Berangkat dari argumentasi orang yang menolak ibadah dimasukkan dalam arena kritik, maka sesungguhnya ibadah haji juga tidak dapat dimasukkan dalam arena publik, dijadikan sebagai gelar, apalagi menjadi embel-embel dalam pesta kampanye politik.

Memang kecenderungan masyarakat Indonesia mencantumkan gelar H bagi laki-laki dan Hj bagi perempuan di awal namanya apabila setelah selesai menunaikan ibadah haji. Tapi bukankah itu juga bertolak dari argumentasi bahwa ibadah tidak perlu dipublikasikan? Jika harus demikian, kenapa hanya ibadah haji yang dicantumkan sebagai gelar, sedangkan ada juga rukun islam lainnya seperti shadat, shalat, puasa dan zakat yang bisa saja dicantumkan sebagai gelar, selain ibadah haji.

Sebetulnya mudah sekali mengidentifikasi orang yang benar-benar tulus ibadah haji atau haji-hajian. Orang yang benar-benar berniat haji hanya murni sebagai ibadah kepada sang penciptanya, mereka tidak akan mencantumkan gelar H atau Hj di depan namanya, sebaliknya mereka yang haji-hajian justru yang mencantumkan gelar H atau Hj di depan namanya. Hal ini juga terbaca bahwa sesungguhnya politisi yang nemcantumkan gelar H atau Hj di depan namanya tidak jarang menjadikan ibadah sebagai legitimasi, pengakuan dan sampul untuk mengemas diri secara cantik dalam pemenangan pesta demokrasi.

.

Kamuflase Islam(isasi) dan Pemimpin Islam

Ketika kapasitas, profesionalitas, integritas dan kemampuan dalam kepemimpinan diabaikan oleh pemilih, maka hasilnya tidak lebih dari sebatas sandiwara pemerintahan. Dari kedua macam dan contoh di atas, justru kita dapat berkaca bahwa sesungguhnya Politik Islami tdiak lebih dari kosmetik politik belaka, sedangkan sikap yang sebenarnya justru tidak lebih baik dari seorang perampok dan bahkan seorang pembunuh sekalipun.

Koruptor tidak berbeda dengan seorang pembunuh, namun bukan sekedar pembunuh amatiran. Mereka adalah pembunuh kelas kakap dalam tingkatan abstrak; pembunuh kesempatan, kerja keras dan harapan. Juga pembunuh masa depan bangsa, tidak sekedar merampok kejujuran dan hak-hak jutaan orang yang tak berdosa.

Mereka yang mengusung Politik Islami kemudian nyata-nyata terbukti korupsi, tidak hanya merupakan bagian dari koruptor. Melainkan mereka juga bagian dari penghancur Islam dan kepercayaan masyarakat tentang kebenaran Islam. Islam justru dihancurkan oleh orang-orang yang oportunis demi kepentinganya sendiri, oleh orang Islam yang mengatasnamakan Islam sendiri, sementara mengabaikan dakwah-dakwah Islaminya, dan lupa bahwa sesungguhnya semua perbuatan itu ada pertanggungjawabannya, baik di dunia dan di akhirat.

Itulah yang dikatakan kamuflase, yang sering membuat masyarakat yang awam tentang Islam salah persepsi yang menganggap korupsi identik dengan tuntunan Islam. Kalau ada koruptor yang bedakwah dan berbusana agama jangan salahkan agamanya, kalau mereka berdakwah Islam dan berbusana muslim jangan salahkan Islamnya pula.

Semua agama melarang mengambil hak orang lain, apalagi merampok hak jutaan orang. Jadi, jangan pernah terkecoh dan terlalu percaya pada sesuatu yang wujudnya masih kemasan. Itu semua tidak lebih dari kosmetik atau luaran semata. Sampul sering tak lebih dari obralan janji dan harapan. Kenyataan seringkali terbalik dengan apa yang dijanjikan. Kalau mereka ditanya kenyataannya bagaimana? Mereka akan menjawab lain cerita. Kenyataan demikian jelas bahwa tejadi pemasungan Islam oleh orang Islam sendiri, yang selalu bersikeras dan fanatik dengan Islam sendiri, hingga mengusung Islam dalam peta perpolitikan.

Koruptor yang seperti itu tidak lebih dari tikus berbulu domba. Meski dengan dandanan dan make up apapun itu, dari dulu yang namanya tikus tetaplah tikus. Dengan kata lain, kalau tidak ada itikad dan perilaku seseorang sudah bejat tetap saja bejat, meski dengan embel-embel Islam sekalipun. Jadi harus lebih cermat lagi, siapakah pemimpin yang akan memimpin kita, mereka tikus atau bukan dan jangan sampai agama menjadi korban politik lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun