Mohon tunggu...
Muhammad Bahrul Ulum
Muhammad Bahrul Ulum Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

a learner from others

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merefleksikan Politik Islami

31 Desember 2013   16:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:18 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13884778151216340246

.

Politik Islami dan Absurditas Kritik Terhadap Ibadah

Tidak dapat terbantahkan bahwa meskipun Islam telah dipaksakan untuk memasuki arena politik, namun banyak di antara umat Islam sendiri masih menganggap absurd mengenai kritik terhadap politik yang mengatasnamakan dakwah dan ibadah. Bagi sebagian orang, ibadah harus bersih dari kritik, karena itu adalah urusan pribadi manusia dengan tuhannya. Banyak di antara mereka akan cenderung menyalahkan orang yang dianggapnya mengkritisi ibadah tersebut, meskipun ibadah tersebut tengah dicampuradukkan dengan politik praktis.

Terkait hal itu, perlu kiranya kita membaginya dalam kedua unsur yang masing-masing pada dasarnya saling berlainan, yaitu antara Politik dan Ibadah. Politik adalah tentang hubungan sesama manusia dalam membangun pemerintahan dan Ibadah adalah tentang hubungan manusia dengan sang pencipta. Karenanya bisa dikatakan bahwa sesungguhnya ibadah ada pada ranah privat.

Sekiranya tidak salah jika orang mengatakan bahwa ibadah harus bersih dari kritik, karena itu ranah privat. Namun justru menjadi salah besar apabila ada seseorang yang melarang mengkritik ibadah yang dibaurkan dengan politik praktis. Ketika ibadah dibaurkan dengan politik praktis, maka ibadah tidak lagi murni berada dalam ranah privat.

.

Ibadah Haji dan Haji Politik

Bagi sebagian orang mungkin menganggap haji politik merupakan bagian dari ibadah haji. Tentu anggapan itu tidaklah salah, karena tidak ada perbedaan dalam pelaksanaan ibadah haji.

Hanya perbedaan haji terletak pada niat. Suatu niat akan memengaruhi bagaimana seseorang itu kemudian besikap. Haji juga memiliki niat apakah memang tulus ingin menyempurnakan rukun Islam atau juga sekaligus menambah gelar H di depan nama. Berangkat dari argumentasi orang yang menolak ibadah dimasukkan dalam arena kritik, maka sesungguhnya ibadah haji juga tidak dapat dimasukkan dalam arena publik, dijadikan sebagai gelar, apalagi menjadi embel-embel dalam pesta kampanye politik.

Memang kecenderungan masyarakat Indonesia mencantumkan gelar H bagi laki-laki dan Hj bagi perempuan di awal namanya apabila setelah selesai menunaikan ibadah haji. Tapi bukankah itu juga bertolak dari argumentasi bahwa ibadah tidak perlu dipublikasikan? Jika harus demikian, kenapa hanya ibadah haji yang dicantumkan sebagai gelar, sedangkan ada juga rukun islam lainnya seperti shadat, shalat, puasa dan zakat yang bisa saja dicantumkan sebagai gelar, selain ibadah haji.

Sebetulnya mudah sekali mengidentifikasi orang yang benar-benar tulus ibadah haji atau haji-hajian. Orang yang benar-benar berniat haji hanya murni sebagai ibadah kepada sang penciptanya, mereka tidak akan mencantumkan gelar H atau Hj di depan namanya, sebaliknya mereka yang haji-hajian justru yang mencantumkan gelar H atau Hj di depan namanya. Hal ini juga terbaca bahwa sesungguhnya politisi yang nemcantumkan gelar H atau Hj di depan namanya tidak jarang menjadikan ibadah sebagai legitimasi, pengakuan dan sampul untuk mengemas diri secara cantik dalam pemenangan pesta demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun