Belum lagi kalau dikembalikan kepada yang mengajukan pengurusan dokumen, sudahkah membaca petunjuk tentang syarat dan ketentuan, punyakah niat atau dedikasi dalam mengurus, sabar atau tidak mengikuti proses. Itu semua diperlukan untuk menghadapi sistem layanan yang harus selalu update.
Pengaju harus sadar akan kebutuhannya dalam mengurus dokumen. Lalu mempersiapkan syarat dan ketentuannya agar pengurusan lancar sesuai peraturan di masing-masing daerah. Pengaju bisa bertanya langsung ke petugas di tempat kerjanya, agar informasi yang didapatkan tepat, sehingga pengurusan lancar.
Berkaitan dengan ini penulis memiliki pengalaman yang istimewa. Penulis tidak ingin mencari masalah atau mendiskreditkan petugas layanan publik terutama di level desa. Penulis hanya ingin membagikan pengalaman versi penulis yang mudah-mudahan tidak related dengan pembaca. Kalau sampai relate, berarti kita menghirup udara yang sebelas duabelas lah.
Diawali oleh kebutuhan penulis untuk mengurus berkas "Surat Keterangan Ahli Waris"di kantor desa sebagai kelengkapan pengajuan hak ahli waris dari orangtua yang meninggal. Untuk diketahui orangtua penulis adalah pensiunan PNS. Â Setelah kematian orangtua, penulis mengajukan laporan berupa surat keterangan kematian dari desa untuk penghentian gaji di kantor pengurusan pensiun.Â
Dari sana penulis mendapatkan informasi tentang laporan, hak dan kewajiban ahli waris hingga tata cara pengurusan dokumen agar seluruh rangkaian urusan berjalan lancar sesuai amanat peraturan. Semua informasi didapatkan secara jelas dan detil, bahkan diberi kesempatan untuk bertanya. Blanko diberikan, nomor narahubung juga diberikan, jika masih memerlukan informasi. Terasa biasa sekali.
Sebagai lanjutan penulis mengurus surat akta kematian. Hal ini pun masih terasa biasa, normal saja. Â Meskipun demikian penulis harus ijin tidak masuk kerja untuk mengurus dokumen di kantor desa. Â Maklum kantor desa tidak buka setelah penulis pulang kerja. Penulis sadar bahwa urusan-urusan tersebut tidak akan selesai dalam sehari. dan siap untuk izin di minggu berikutnya dan berikutnya lagi untuk menyelesaikan.Â
Dalam kurun waktu seminggu setelah pengurusan jadilah dokumen itu. Di minggu berikutnya penulis bersiap untuk melanjutkan pengurusan surat keterangan ahli waris, untuk menuntaskan proses. Tata cara yang berlaku penulis ikuti, minta tanda tangan Pak RT, Pak RW, dan perangkat desa untuk diteruskan ke kepala desa.
Pada saat penulis meminta tanda tangan perangkat desa inilah, hal yang istimewa terjadi. Satu perangkat desa tidak menandatangani karena tidak masuk. Namanya tercantum jelas di dokumen, namun hari ini ijin tidak masuk. Â Penulis memaklumi hal tersebut. Lalu salah satu perangkat desa menyarankan untuk penulis meminta tanda tangan di rumahnya saja, dengan harapan besok akan dibawa ke kantor desa untuk diambil oleh penulis. DiÂ
sini penulis merasa heran, karena menurut penulis ini adalah urusan resmi dan ingin penulis selesaikan di kantor desa saja. Saran itu penulis dengarkan, namun tidak dilakukan. Penulis merasa untuk urusan ini, perangkat desa itu ditemuinya di kantor desa. Dari peristiwa ini penulis merasa sedikit kecewa. Kok gitu sarannya.
Keesokan harinya memanfaatkan jam kerja yang sedang luang tugasnya, penulis meminta ijin pimpinan untuk kembali melanjutkan kepengurusan. Ijin diberikan dengan syarat harus kembali. Sebuah kemudahan, penulis bersyukur. Dalam pengurusan yang ini penulis meminta tanda tangan perangkat agar bisa maju ke kepala desa. Namun hari ini yang bersangkutan juga tidak masuk karena sakit. menurut rekannya.Â
Sebelum meminta tanda tangan penulis ditanya apakah sudah melakukan yang disarankan. Penulis menjawab tidak. juga tidak beralasan. Kemudian diberi saran agar dokumen ditinggal di kantor desa agar bisa ditandatangani saat beliau masuk.Â
Rasa kecewa menghalangi penulis untuk menolak, dan menyatakan spontan akan menunggu sang perangkat sembuh saja baru melanjutkan pengurusan. Saya ingin perangkat itu sehat dan tanda tangan di kantor desa. Kalau dia sakit lalu saya minta tanda tangan rasanya juga tidak tega.
Dengan raut muka kecewa dan nangis karena usaha seminggu tidak membawa hasil penulis keluar kantor desa. Naas kunci motor tertinggal di meja. Karena perlu cepat kembali penulis mengambil kunci dengan berlari dan lanjut berlari keluar. Ekspresi kesedihan terlihat dan tertangkap oleh orang-orang di sana. Dengan cepat penulis menyalakan motor.Â
Pak Babinsa menahan penulis seraya menawarkan untuk mengantar ke rumah perangkat desa. Penulis menolak, dokumen pun dipegang oleh Pak Babinsa. Penulis hanya menyalahkan diri sendiri karena gagal mengurus, padahal menurut penulis syarat lengkap, hanya perlu meminta tanda tangan yang berwenang saja. Dan penulis berpikir untuk kantor desa minggu berikutnya untuk mengurus kembali. Penulis mengabaikan Pak Babinsa dan semakin sedih, hingga tergerak untuk meninggalkan kantor desa.
Harapan hilang, berkas tidak di tangan. Namun di perjalanan menuju tempat kerja terbersit niat untuk mengurus kembali dari nol, karena dokumen tersebut penting tidak cuma untuk penulis juga untuk kantor tempat ayah penulis bekerja. Â
Ajaib, 2 jam berikutnya penulis mendapatkan kabar bahwa dokumen itu selesai bahkan telah ditandatangani kepala desa. Penulis merasa lebih bersalah lagi, masa dilayani hanya gara-gara menangis. Kalau ada yang niru saya kan, repot. sebetulnya yang saya harapkan adalah kata-kata" Silahkan kesini seminggu lagi, silahkan ke sini sebulan lagi, dan basa basi itu saja.
Untuk Bapak Ibu perangkat desa, terimakasih. Saya doakan Bapak Ibu selalu sehat dan bahagia. Pak Babinsa terimakasih saya tidak bisa mengikuti karena terlalu sedih. Saya minta maaf, saya orangnya baperan. Nampaknya pandangan saya bahwa untuk pengurusan dokumen, menemui dan meminta layanan perangkat desa  di kantor desa itu keliru. Maaf Pak, Bu saya orangnya masih belajar. Ngapunten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H