Berjalan-jalan ke luar negeri saat bulan Ramadan agaknya sering jadi pantangan bagi banyak orang. Bagi yang berpuasa, biasanya mereka takut kegiatan jalan-jalan tersebut bakal mengganggu ibadah Ramadan. Padahal, Ramadan seharusnya tidak menjadi halangan untuk merasakan asyiknya bertualang.
Berkunjung ke negara Muslim selama bulan puasa, ada banyak hal-hal menarik yang hanya bisa disaksikan selama Ramadan. Namun, semua jadwal kegiatan baiknya diatur ulang kembali.
Aktivitas yang menguras energi bisa dilakukan sore atau malam hari setelah berbuka. Pendek kata, dan sekali lagi, Ramadan tak akan menghalangi keasyikan berpetualang.
Bagitulah, bulan Ramadan tak menyurutkan minat saya untuk menjelajah negeri Persia yang eksotis.
Ramadan tahun lalu, saya berkesempatan menikmati suasana Ramadan selama beberapa hari di Negeri Para Mullah alias Iran.
Seperti di negara-negara Muslim lainnya, Ramadan menjadi momen spesial di Iran. Kita bisa menikmati nuansa yang berbeda dibanding bulan-bulan lainnya.
Berkunjung saat Ramadan di Iran juga punya keuntungan lain. Ramadan adalah musim sepi turis destinasi di Timur Tengah.
Alhasil, tarif akomodasi menjadi lebih murah dibanding bulan-bulan lainnya. Ini sangat membantu buat backpacker yang jalan-jalan dengan bujet tipis seperti saya.Â
Beberapa tahun terakhir, penginapan jenis hostel untuk backpacker memang makin menjamur di Iran. Tapi, tetap saja jumlahnya masih kurang sebab Iran sedang mengalami pertumbuhan kunjungan turis yang cukup tinggi.
Pada saat musim ramai turis, hostel-hostel di Iran sering sudah habis direservasi kalau kita tak memesan jauh-jauh hari. Tarifnya pun tak murah untuk ukuran kantong backpacker dari Indonesia.
Setidaknya kita perlu merogoh USD 15 untuk menginap di dormitory yang paling murah di sebuah hostel di Tehran. Harga tersebut lebih mahal dibanding penginapan sejenis di negara sekitarnya seperti Turki.
Baca juga: Repotnya Memesan Akomodasi di Iran
Mungkin Anda heran, memangnya ada turis yang mau berkunjung ke Iran? Jangan salah, meski negeri ini sering disorot dengan berita-berita negatif, kenyataannya Iran sedang mengalami booming turis.Â
Pengunjungnya memang didominasi oleh turis-turis dari Eropa dan Tiongkok, masih sedikit sekali yang berasal dari Indonesia.
Mungkin destinasi sekitarnya seperti Turki dan Dubai dianggap sudah terlalu ramai dan mainstream, sehingga banyak yang beralih ke Iran.
Ramadan tahun 2017 lalu dimulai pada akhir Mei yang sudah termasuk awal musim panas di Iran. Suhu udara di kota Tehran berkisar 34 derajat Celcius pada tengah hari, kira-kira sepanas Jakarta.Â
Saat Ramadan, aktivitas di Tehran juga dimulai lebih lambat. Pagi hari, jalanan terasa sepi. Namun menjelang sore, suasananya berangsur menjadi ramai. Dan bagi wisatawan, inilah masa yang tepat untuk mulai mengeksplorasi denyut Ramadan di ibukota Iran itu.
Buat saya, memang lebih asyik punya teman jalan yang sama-sama berasal dari Asia. Sekitar pukul 4 sore, kami langsung meluncur ke kawasan Tajrish menggunakan metro.
Gerbong-gerbong metro nampak sudah sesak oleh orang-orang yang baru pulang dari tempat kerja. Untungnya, perjalanan dari hostel kami menuju Tajrish tak memakan waktu lama, hanya butuh waktu sekitar 20 menit saja.
Stasiun Tajrish adalah perhentian terakhir jalur metro nomor 1 yang terletak di kawasan utara Tehran.
Bagian utara kota Tehran ini dikenal sebagai area hunian kaum elit. Tak heran kalau tata kotanya lebih rapi, serta hawanya lebih sejuk karena dekat kawasan pegunungan.
Tak jauh dari stasiun Tajrish ini, ada istana Niavaran yang pernah dihuni Dinasti Syah semasa berjaya, serta pusat rekreasi Darband yang sangat populer di kalangan orang lokal.
Baca juga: Melongok Istana Syah, Raja Iran yang Terbuang
Atraksi utama di kawasan Tajrish adalah Tajrish Bazaar yang letaknya hanya beberapa langkah saja dari stasiun metro.
Menjelang waktu berbuka, Tajrish Bazaar makin ramai dengan pengunjung yang ingin membeli makanan untuk berbuka puasa.
Kalau orang Indonesia berbuka dengan kolak atau es campur, orang Iran juga punya makanan khas di waktu Ramadan.
Makanan yang paling populer itu disebut ash, yakni bubur gandum yang dicampur kacang-kacangan. Bubur ini berwarna hijau karena dicampur daun mint, membuat aromanya menyegarkan, cocok dijadikan hidangan berbuka.
Saya sempat membeli buah cherry yang harganya kalau dirupiahkan hanya sekitar Rp 20 ribu saja per kilogram. Makanan lainnya untuk berbuka seperti kebab, sandwich dan roti-rotian juga banyak tersedia.
Dibandingkan Tehran Bazaar yang lokasinya di bagian selatan Tehran, Tajrish Bazaar sebenarnya jauh lebih nyaman dijadikan tempat berbelanja oleh-oleh.
Kebanyakan turis biasanya hanya Tehran Bazaar karena sering dipromosikan agen perjalanan sebagai tempat untuk membeli karpet.
Namun wisatawan asing bakal kesulitan menjelajahi Tehran Bazaar tanpa pemandu karena areanya sangat luas.Â
Pada waktu-waktu tertentu, pengunjungnya juga sangat ramai sampai harus berdesak-desakan. Nah, Tajrish Bazaar yang belum banyak dikenal turis asing ini cocok dijadikan alternatif, areanya tak terlalu luas, lebih rapi, serta mudah dijangkau menggunakan transportasi umum metro.
Kalau Anda berniat membeli karpet, memang lebih baik berkunjung ke Tehran Bazaar. Tapi kalau hanya ingin membeli pernak-pernik kecil untuk oleh-oleh, di Tajrish Bazaar pun ada banyak pilihannya.
Alex membeli beberapa lembar scarf dari bahan yang sangat halus dengan harga sekitar Rp 50 ribuan saja per buah.
Sementara saya hanya membeli gantungan kunci dan magnet kulkas karena gampang dibawa.
Oh ya, ternyata banyak pemilik kios di Tajrish Bazaar bisa berbahasa Inggris. Harga-harga juga dipatok wajar, tapi kita masih bisa menawar sedikit kalau membeli banyak.
Baca juga: Mendapatkan Visa Iran itu Gampang!
Dari Tajrish Bazaar, kami kemudian beralih menuju Mauseleum Imamzadeh Saleh. Lokasi mausoleum bisa dijangkau dengan berjalan kaki sekitar 10 menit dari Tajrish Bazaar.Â
Dalam tradisi Syiah, imamzadeh adalah keturunan langsung Imam Syiah. Seperti halnya imam dalam kepercayaan Syiah, Imamzadeh juga dianggap sebagai figur suci, namun status mereka di bawah imam.
Nah, Imamzadeh Saleh adalah putra Musa Al Kadhim, imam ke-7 menurut aliran Syiah Imamiyah.
Ada banyak mausoleum Imamzadeh di Iran, salah satunya dekat Tajrish Bazaar ini. Saat bulan Ramadan, makam para imam serta imamzadeh biasanya dipadati para peziarah.
Saat kami berkunjung ke Mausuleum Imamzadeh Saleh, area di dalam masjid dipenuhi dengan orang yang membaca Quran serta berdoa di depan makam figur suci. Kebiasaan berziarah ke makam figur suci ini memang sangat lekat dengan tradisi Syiah. Biasanya para peziarah juga mencium bagian makam tersebut.
Tak lama kemudian, beberapa orang langsung menghampiri kami menawarkan makanan untuk berbuka. Begitulah, orang Iran memang sangat murah hati.
Setelah azan Magrib bergema, kami pun segera menyantap makanan pemberian tersebut bersama peziarah yang lain.
Baca juga: Mengapa Ada Coca Cola di Iran?
Saya sama sekali tak menemui kesulitan menjelajah Iran saat bulan Ramadan. Saya pun tetap berpuasa seperti biasa. Hawa yang panas memang menjadi kendala kalau kita ingin jalan-jalan di siang hari. Solusinya, saya hanya memulai kegiatan mulai sore hari.
Malam hari selama Ramadan terasa lebih semarak, acara jalan-jalan bisa berlangsung sampai tengah malam atau bahkan menjelang sahur.
Lalu bagaimana kalau Anda non Muslim yang tidak berpuasa, apakah bakal kesulitan menjelajah Iran selama Ramadan?
Menurut saya, Anda tak perlu membatalkan pergi ke Iran karena bulan Ramadan. Restoran di tempat umum memang tutup, namun tempat makan di hotel biasanya tetap buka.Â
Sarapan pagi di hotel juga disajikan seperti biasa, bahkan di hostel tempat saya menginap juga menyediakan makan siang.
Biasanya mereka hanya menyediakan makan pagi saja, tapi khusus Ramadan disajikan juga makan siang untuk membantu wisatawan yang kesulitan menemukan restoran yang tetap buka di luar.
Tempat makan di terminal bus dan bandara juga tetap beroperasi untuk melayani para pejalan. Menurut ajaran Islam, orang yang bebergian memang dibolehkan tak berpuasa.Â
Saat saya menumpang bus antarkota dari Isfahan menuju Tehran, makanan ringan tetap dibagikan ke penumpang meskipun perjalanannya dilakukan siang hari.
Jadi, intinya, warga Iran sangat toleran sekali, jauh dari kesan kaku dan dogmatis seperti yang dibayangkan banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H