Mohon tunggu...
Resa Amelia Utami
Resa Amelia Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak SastRantau | Tidak menyukai ikan dan kucing padahal satu diantaranya menyukai yang lain | IG : @ru.amelia

Ajak aku membaca, menterjemahkan kehidupan ke dalam satu bahasa; setatap yang membinar dua pusaka. Sebelum kau hapus, silahkan jejaki Storial : @aru99

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ritme Sunyi

10 Mei 2021   22:44 Diperbarui: 10 Mei 2021   22:45 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest.com/weheartit.com

366 menjadi denting terakhir yang terdengar, setelah Sabda memecah simfoni di benak Lingga.
"Nak, ayo pulang.."
Wajah Lingga masih kusut, sebentar kemudian Sabda memberinya sebungkus kuaci kesukaan bocah yang baru saja duduk di kelas satu sekolah dasar itu. Dibukanya plastik pembungkus, lantas bebiji bunga mentari itu disusun di kursi kosong sebelahnya. Seperti biasa, jika hitungan biji kuaci itu tak sampai jumlah dentingan saat Lingga menunggu jemputan, maka dia akan meminta Sabda untuk memainkan simfoni yang sedari tadi membayang-bayangi Lingga.

"354, 355, 356!"

Lingga berteriak, membuat Sabda yang dibasahi keringat dingin seketika menginjak rem

"Yeah, kita akan segera bertemu ibu"

Rona kusut di wajah Lingga menguap bersama hitungan-hitungan takdir itu. Lesung di pipinya memusat, rambut ikal sebahu bergerak-gerak. Riang sekali Lingga berjingkrak di belakang Sabda yang sedang menyetir.

"Setelah PR mu selesai, Nak"

Sabda menghela nafas panjang, membisik lirih sembari mengontrol kecepatan kemudinya.

Perempuan berjilbab menjurai berwarna coklat tua itu tak sengaja pertama kali ia temui di festival kampus 6 tahun yang lalu. Siapa sangka, dibalik anggun penampilannya Syaima hampir saja membuat seisi aula menjadi gaduh.

Hanya karena kesalahpahaman yang dilakukan Sabda, menggoda teman Syaima yang enggan mengunjungi stand fakultas seni yang tengah dipamerkan Sabda dan kawan-kawannya.

"Ayah.."

Nada suara Lingga merajuk, digengamnya tangan sang Ayah lebih erat. Sejenak keduanya menghentikan langkah, bersipandang. Sabda pun tersenyum, lekas melanjutkan langkah memasuki rumah, meninggalkan senja yang kian menjingga.

"Nak.. Ibumu pernah mengajarkan semua ini kan?"

Ujar Sabda membolak-balikan buku tugas matematika milik anak semata wayangnya, sambil sesekali menggaruk-garuk kepala.

"Ibu tidak pernah lupa mengajarkan apapun kan ayah? Kalo memang soal-soal itu lebih sulit, Aku pasti bisa mengerjakannya" Tukas Lingga menyambar buku yang tengah ditatap ayahnya lamat-lamat.

Huft.
Sehela nafas lagi-lagi berhasil diekspirasikan Sabda, untung saja karbondioksida tidak membawa serta molekul kenangan yang kian senja menyesakkan dadanya.
Takdir adalah cara Sang Pencipta menegaskan eksistensi manusia sebagai makhluk. Sebab ekspektasi memungkinkan sang pemikir merasa mampu menghidupkan dirinya sendiri, demikian realita terjadi mutlak sebagai kekuasaan Ilahi. Begitulah Allah menyatukan Sabda yang sama sekali tak pernah menyukai Matematika dengan Syaima yang justru menganggap hobi Sabda adalah sesuatu yang takkan pernah menghasilkan kehidupan jika dikalkulasikan.

"Bermain biola hanya akan membuang waktu!", tegas Syaima sebelum merelakan perjodoham yang dilakukan kedua orang tua mereka.

"Ayah.. Malam ini akan menjadi yang keempat. Itu artinya lusa ibu pulang kan ayah?"

Sabda tergeming dari lembaran syair-syair di laptop, jarinya berhenti mengetik, dan menatap mata Lingga dengan syahdu. Tampak tangan Lingga memilin ujung buku yang kini telah terisi penuh dengan jawaban-jawaban.

"Ayah.. Aku sayang ibu. "

Hati Sabda sedikit tercekat, iapun mengangguk pelan tanpa sedikitpun merotasikan mata kearah lain selain menatap iris mata coklat Lingga. Persis mata ibunya.

"Ayah.. Ibu tidak mungkin membenciku kan? Aku hanya menangis di sekolah karena ayah telat menjemputku."

Sabda menggeleng, menghampiri Lingga dan mendekapnya erat.

"Sebulan lalu, ibu memulai permainan ini hanya lewat telpon. Suara ibu pelan sekali, apa ibu baik-baik saja?"
Sabda berdeham, memastikan agar ritme suaranya tidak bergetar.

"Ibu bilang, ini namanya permainan sabar bukan? Ibumu ingin kamu tumbuh seperti ayah, tidak mudah menangis."

"Ibu juga tidak pernah menangis kan ayah?" Sabda tersenyum setuju.

"Ayah. Ambil biola ayah sekarang, ayo kita mainkan melodi kesukaan ibu. Agar ibu cepat pulang. Ibu bilang jika aku sudah dapat membuat ayah 4x memainkan melodi itu ibu kembali lagi bersama kita"

Saat mentari menuju terbenam
Berwarna jingga kemerahan
Saat mata terpikat ufuk di selatan
Kita mengadukan rindu di peraduan
Hingga langit terlelap bangunkan rembulan
Betapa indah senandung malam

Lingga larut dalam melodi yang dimainkan sang ayah. Instrumen satu-satunya yang disukai Syaima dari permainan biola Sabda. Dengan bait syair yang dibuat sendiri oleh perempuan berkacamata itu.
Sabda hanya terpejam, menguatkan jemari agar gesekannya tepat pada kord melodi kesukaan Syaima. Demi seulas senyum di wajah mungil Lingga, demi membiarkan rindu beristirahat.

Saat melodi itu usai dimainkan, Sabda bergegas pergi ke kamar mandi. Meninggalkan tatapan Lingga yang mengikuti tubuh tegapnya hingga hilang di balik pintu. Wush.. Aliran air begitu deras terdengar, Lingga kebingungan, ayahnya bertingkah lebih aneh dari biasanya.
Matanya berotasi ke segala arah, hingga tertuju pada sebuah benda yang tergeletak di tempat dimana ayahnya duduk menampilkan permainan biola.
Benda itu alat bantu dengar BTE milik sabda.

"Ada apa Lingga?"

Tanya Sabda saat mendapati anaknya sudah berdiri didepan pintu kamar mandi. Tanganya dengan sigap menyeka butiran air yang menggenang di lekukan wajah.
Lingga menatap kosong, menyerahkan BTE itu kepada ayahmya.

"O.. I..iya.a.. Ayah melepasnya"
"Dan ayah tidak mungkin melepas itu sebelum bermain biola kan? "

Belum juga Sabda mengucapkan sepatah kata pun, Lingga berlari kecil menuju kamarnya,
Mulut Sabda terkatup, sejurus kemudian melenguh pasrah. Terbayang raut Syaima saat mengingatkannya untuk tidak mudah meninggikan suara dalam keadaan hati yang se-sesak apapun, tersebab teka-teki hidup yang cenderung seperti sudoku di mata Syaima.

"Jadikan proses masalah tampak seperti dunia yang kamu suka, seperti kesukaanku memecahkan semua angka dalam sudoku dengan benar, menyelesaikannya dengan tepat adalah kebahagian. Pun, proses pemecahannya juga menjadi bahagia-bahagia kecil yang takkan permah membuat dahimu mengernyit sebab sulit."

Bahkan senyum yang digariskan Syaima selepas berujar demikian masih membekas di benak Sabda. Enam tahun lalu, saat pertama kali saling menyatukan perbedaan yang kentara diantara keduanya menjadi satu.
Sabda pun mengendap-ngendap menuju kamar Lingga, untuk melihat keadaannya. Lingga terlelap dalam selimut. Sabda pun mengecup keningnya, berbisik lirih.
"Maafkan ayah, Nak"
Sabda kembali ke meja kerjanya, dideraikan lagi syair yang tengah ia tulis. Kali ini, air matanya iku meluruh. Kian cepat ketikannya, kian deras pula deraian air matanya. Sedih dan sesal berkecamuk dalam hati. Gemetar tubuhnya, memudar rona matanya, tatap kosongnya sudah cukup menjadi bukti kecintaanya pada Syaima. Pun ia menyesal sebab tak mampu menahan tangis saat air mata anaknya begitu ia dan Syaima jaga agar tidak meluruh.

"Kenapa kamu tidak ingin Lingga tahu soal ini?"

"Kemarin dia baru saja menangis bukan? Aku tidak mau terus menerus menghujani hatinya. Aku khawatir, jika takkan ada lagi senyum yang mengulas rautnya. "

"Tapi Syaima..."

Perempuan itu tetap bersikukuh melarang Sabda memberitahukan keberadaanya di rumah sakit. Sesaat setelah mobil menabrak Syaima tepat di depan gedung pagelaran orkestra. Dan Sabda di dalamnya, menunggu sembari melagukan simfoni malam.

"Syaima.. Syaima..!"

Sabda mengigau nama istrinya. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Kemarin ia ketahuan Lingga tidak memakai BTE saat bermain biola. Bukan tanpa alasan, bagaimana bisa sesuatu yang ia cintai secara tidak langsung menjadi penyebab hilangnya orang yang dicintainnya. Kini, gesekan biola yang biasanya menghibur hati menjadi nada-nada yang melukai tanpa henti.

"Biarkan aku melepasnya, Nak. "

Rajuk Sabda pada dirinya sendiri
"Biarkan ayahmu ini melihat senyummu tanpa genangan air di pelupuk mata. Meski dalam sunyi, gemuruh cinta ritmis menyusun melodi yang mengakar di hati."

the end

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun