Sabda menggeleng, menghampiri Lingga dan mendekapnya erat.
"Sebulan lalu, ibu memulai permainan ini hanya lewat telpon. Suara ibu pelan sekali, apa ibu baik-baik saja?"
Sabda berdeham, memastikan agar ritme suaranya tidak bergetar.
"Ibu bilang, ini namanya permainan sabar bukan? Ibumu ingin kamu tumbuh seperti ayah, tidak mudah menangis."
"Ibu juga tidak pernah menangis kan ayah?"Â Sabda tersenyum setuju.
"Ayah. Ambil biola ayah sekarang, ayo kita mainkan melodi kesukaan ibu. Agar ibu cepat pulang. Ibu bilang jika aku sudah dapat membuat ayah 4x memainkan melodi itu ibu kembali lagi bersama kita"
Saat mentari menuju terbenam
Berwarna jingga kemerahan
Saat mata terpikat ufuk di selatan
Kita mengadukan rindu di peraduan
Hingga langit terlelap bangunkan rembulan
Betapa indah senandung malam
Lingga larut dalam melodi yang dimainkan sang ayah. Instrumen satu-satunya yang disukai Syaima dari permainan biola Sabda. Dengan bait syair yang dibuat sendiri oleh perempuan berkacamata itu.
Sabda hanya terpejam, menguatkan jemari agar gesekannya tepat pada kord melodi kesukaan Syaima. Demi seulas senyum di wajah mungil Lingga, demi membiarkan rindu beristirahat.
Saat melodi itu usai dimainkan, Sabda bergegas pergi ke kamar mandi. Meninggalkan tatapan Lingga yang mengikuti tubuh tegapnya hingga hilang di balik pintu. Wush.. Aliran air begitu deras terdengar, Lingga kebingungan, ayahnya bertingkah lebih aneh dari biasanya.
Matanya berotasi ke segala arah, hingga tertuju pada sebuah benda yang tergeletak di tempat dimana ayahnya duduk menampilkan permainan biola.
Benda itu alat bantu dengar BTE milik sabda.
"Ada apa Lingga?"
Tanya Sabda saat mendapati anaknya sudah berdiri didepan pintu kamar mandi. Tanganya dengan sigap menyeka butiran air yang menggenang di lekukan wajah.
Lingga menatap kosong, menyerahkan BTE itu kepada ayahmya.
"O.. I..iya.a.. Ayah melepasnya"
"Dan ayah tidak mungkin melepas itu sebelum bermain biola kan? "