Saudaraku…
Darahku mengalir dinadimu, menari-nari mengikuti riak jantung dalam arteriku
Mungkin sebab itu kita bersaudara…
Tapi, bagaimana bisa kau palingkan wajahmu dikala aku tengah berjuang, kala merintih dan kelaparan tak sebutir nasi pun kau suguhkan
Dimana kau wahai sedarah?
Kutahan kupaksakan kunikmatkan sakit oleh acuhmu, seperti diremas uluh hati sampai hancur berbaur dengan kecewaku
Binatang pun tak sekejam ini pada kerabatnya…
Kelak anak bungsu pun akan maju atau mati kelaparan dipinggiran kota, Â seperti tikus-tikus yang kehilangan keluarganya
Namun jikala sang ombak menepi, dan sampai pada kenikmatan atas perjuangan selama ini
Mungkin cukup bagiku mengingatnya…
Mata kan terbalas mata!
Budi kan terbalas budi!
Mati kan terbalas mati!
Rela kubawakan nyawaku, dan kutukar dengan darah pemberianmu, karena  jiwa ini yang tak bermateri dan kau bertanya
Jawabku, YA! AKU MENGINGATNYA!
Abdi Kalam ; Ciputat, 02 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H