Mohon tunggu...
Dwi Bima
Dwi Bima Mohon Tunggu... -

bersikap lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Satu Tahun Pemerintahan Jokowi: Masa Reformasi Gaya Orde Baru, Prespektif Politik

19 Oktober 2015   09:01 Diperbarui: 19 Oktober 2015   09:30 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 20 Oktober ini, Presiden Jokowi genap 1 tahun memerintah Republik Indonesia. Suara sumbang dan dukungan terhadap Presiden Jokowi mengisi hampir kebanyakan media elektronik dan cetak 12 bulan belakangan. Bagi saya pribadi, atmosfer transisi politik dari pemerintahan SBY ke pemerintahan sekarang masih terasa. Masih ada kubu yang ngeyel kurang puas terhadap pemilu terakhir, kubu yang dulu mati-matian mendukung presiden saat ini kemudian layu, kemudian kubu terakhir yang masih setia terhadap presiden saat ini. Untuk tetap melanggengkan situasi politik yang kondusif, pemerintahan saat ini memiliki beragam cara untuk menciptakannya. Bagi saat cara yang dipakai, tidak jauh dengan cara yang dipakai rezim Orde Baru. Saya berani mengatakan hal tersebut tentu memiliki dasar. Bagi saya dasar-dasar kemiripan pemerintahan sekarang dan di Orde Baru adalah sebagai berikut:

1. Tenggok Tanggal 27 Juli 1996, terjadi peristiwa Kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh juli). Kerusuhan tersebut di dalangi oleh ketidakpuasan pendukung Megawati atas kongres PDI di Medan. Kongres PDI di Medan disinyalir telah di setting sejumlah elit militer untuk memenangkan Soerjadi. Militer sendiri adalah golongan paling setia terhadap rezim saat itu. Intervensi partai juga digunakan pemerintahan saat ini, bedanya lebih halus. Tahu kekuatan militer belum dikuasai, pemerintah menggunakan sejumlah lembaga pemerintahan agar dianggap sah secara hukum. Intervensi partai Golkar dan PPP bisa menjadi contohnya saat ini. Kedua partai barangkali bisa menjadi ancaman bagi kelanggengan politik yang sedang dibangun pemerintahan sekarang.             

2. Jika Orde Baru dulu, militer adalah kesayangan, sekarang adalah kepolisian. Institusinya berbeda memang, namun keduanya memiliki fungsi yang hampir sama hanya field-nya yang berbeda. Tetapi jangan remehkan polisi, rezim Pahlevi di Iran dengan Savak atau Gestaponya Hitler di Jerman merupakan kedinasan polisi rahasia pada masa pemerintahannya, yang mampu membuat situasi negara benar-benar dibawah teror. Militer di Orde Baru juga hampir sama dengan dalih Kamtibmas, muncul Petrus diakhir 80an.Saya kurang tahu apakah Polisi kita akan di-setting seperti itu. Namun pengangkatan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, dulu adalah ajudan Megwati saat menjabat presiden, memunculkan pertanyaan?

Apakah benar sudah terjadi transaksi politik antara pemerintahan dan kepolisian kita. Pengangkatan Badrodin Haiti, bisa jadi hanya pancingan untuk tetap mengangkat Budi Gunawan yang sekarang menjadi Wakapolri kedepannya. Meskipun bukan tradisi di kepolisian untuk Wakapolri menggantikan Kapolri jika terlebih dahulu pensiun, namun Budi Gunawan tetap memiliki peluang yang besar ketimbang jendral yang lain dengan posisinya sekarang.

 3. Penyingkiran orang-orang yang tidak sesuai manifesto politik Orde Baru sudah menjadi rahasia umum. Jika dulu ada Cacuk Sudarjianto yang pernah menjabat Dirut Telkom, kemudian Hoegeng sebagai Kapolri kemudian nama terakhir Benny Moerdani yang dulu sahabat kemudian menjadi penjahat dimata rezim Orde Baru karena kritik pedasnya terhadap bisnis keluarga Cendana. Jika pemerintahan saat siapa korbannya? Layaknya petinggi-petinggi KPK dikedepankan sebagi korban politik, akibat tanda merah saat rencana pengangkatan Budi Gunawan. Kemudian ada Budi Waseso yang nekat mengotak-atik Pelindo. Kasus terakhir saya memang belum mengetahui persis transaksi politik apa antara Pelindo dan pemerintah sehingga sampai memindahkan tugas Budi Waseso.    

4. Janji tidak ada transaksi politik nyatanya adalah omong kosong. Luhut Pandjaitan, Tjahjo Kumolo hingga anak saat pemilik partai Puan Maharani di jadikan menteri. Politik nepotisme nyatanya masih dipakai pemerintahan sekarang. Pemerintahan sebelumnya memang meletakan sejumlah orang-orang dari partai pendukung, namun perlu dicatat tidak ada janji politik dari presiden sebelumnya pada pemilu jika tidak akan menggunkan loyalis partai untuk duduk dipemerinthan. Kononnya juga saat ini banyak direksi BUMN berasal dari pendukung pemerintahan saat ini saat pilpres. Jaman Orde Baru hampir sama dengan saat ini untuk persoalan transaksi politik. Anak presiden menunggak pembayaran avtur untuk maskapainnya merupakan hal yang bisa dibenarkan. Wakil-wakil Presiden kebanyakan adalah orang militer, se-almamater dengan Presidennya waktu itu juga adalah hal yang biasa.

Sebagai masyarakat bebas, kita tentu harus memperhatikan setiap gerak langkah pemerintahan saat ini. Bahaya laten tidak hanya dari Komunis namun justru bisa dengan mudah muncul dari pemerintahan yang menjalakan semua sistem rezim dengan deposits dan otoriter gaya Orde Baru. Jika dulu ada pejuang politi pernah berujar, guru tak tahan kritik bisa masuk tong sampah, rasanya peribahasa itu juga bisa diganti dengan pemerintahan tak tahan kritik, tak usahlah memerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun