Mohon tunggu...
Dwi Bima
Dwi Bima Mohon Tunggu... -

bersikap lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sudah Siapkah Kita Menjadi Negara Industri?

6 Februari 2014   05:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:07 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391637640991426256

Beberapa hari yang lalu saya membaca pernyataan dari Menteri Keuangan, Chatib Basri, di sebuah media informasi internet mengenai bergantian haluan pondasi ekonomi negara dari sektor pertanian ke industri. Dengan jumlah angkatan kerja hampir 100 juta orang, berbeloknya haluan ke industri dianggap sebagai jalan terbaik menggapai predikat negara G7 (kumpulan-kumpulan negara besar di bidang ekonomi) di tahun 2030. Negara-negara ekonomi maju di Asia seperti Jepang, Korea Selatan atau China sudah mengambil langkah ini, 2 dekade lebih awal dari negara kita. Pertanyaanya sudah siapkah kita dengan segala resiko dengan berganti haluan tersebut? Mari kita renungkan. Indonesia dengan penduduk 230 juta, memiliki beban penduduk non-produktif sekitar 120an juta (230 juta di kurangi dengan jumlah angkatan kerja 110'an juta). Dengan penduduk sebesar itu tentu berimbas dengan kewajiban negara menyediakan stok pangan yang besar. Stok pangan yang besar berhubungan langsung dengan lahan, karena lahan di perlukan untuk proses penanaman sehingga menghasilkan pangan. Jika negara berhaluan ke sektor industri. Lahan apa yang akan digunakan untuk area menanam pangan? Dan siapa yang menanam jika semua menjadi buruh industri? Jikapun berhaluan industri, tanpa lahan untuk memperoleh bahan baku, akhirnya bahan baku tetap saja harus di impor bukan? Pertanyaan sinis saya ini muncul karena melihat apa yang selama ini terjadi. Contoh ketika harga bawang tidak stabil, pemerintah di paksa impor. Kebutuhan sapi nasional yang menurut ex-Memperindag, Gita Wiryawan, sebesar 2-3 juta ton pertahun hanya mampu di sanggupi negara 1 juta ton, selebihnya impor. Belum persoalan impor dapat di pecahkan, kini ribut soal impor beras Vietnam. Hemat saya, persoalan ini muncul karena pemerintah melupakan sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi negara-negara importir pangan ke Indonesia macam Vietnam atau Thailand, memang tidak memiliki pertumbuhan ekonomi secermelang Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir berada di kisaran 5%. Besarnya pertumbuhan ekonomi dan besarnya middle class kita yang mencapi 100 juta membuat negara kita menjadi sasaran investasi-investasi asing. Investasi asing berimplikasi dengan tingginya pertumbuhan industri. Tapi arif'kah negara kita jika mendorong semua penduduk negeri ini terlibat langsung dengan sektor industri? Seperenam penduduk negeri ini tergantung dari sepi larisnya produk industri. Mereka memilih bekerja sebagai buruh ketimbang menggarap tanah di asal daerahnya. Saya tidak menyalahkan secara mutlak kaum-kaum buruh tersebut, karena pemerintah sendiri gagal menyediakan sarana untuk proses pertanian seperti pupuk dan irigasi. Dan jika negara benar-benar beralih ke sektor industri semakin besar juga ketergantungan pangan pada impor. Tahun 2013 perekonomian  Indonesia tidak berjalan dengan baik, meskipun di klaim tumbuh sekitar 5% tapi neraca perdangan defisit sekitar $4 Milliar, 7 bulan neraca perdagangan selalu merugi. Defisit tersebut di dominasi sektor migas yang paling menyedot anggaran negara sekaligus memperparah defisit neraca perdangan. Saya membayangkan negara yang pernah swasembada pangan di era 80'an akan di permainkan oleh tengkulak pangan karena kelangkaan barang. Sektor migas tidak akan menjadi penentu tunggal defisitnya neraca perdagangan karena akan ditemani oleh impor pangan yang besar, beras saja sudah masuk 5 besar. Migas terutama tetap menjadi barang paling diimpor negara karena dalam 2 periode pemilu kedepan, jika negara belum mampu menemukan lahan migas baru, 100% kebutuhan migas nasional akan tergantung impor. Saya membayangkan juga ketika Thailand atau Vietnam sebagai negara pengimpor besar ke negara kita mempermainkan negara kita dengan menaikan harga besar semaunya sendiri. Indonesia hanya bisa mengiyakan karena lahan pertanian sudah berganti pabrik dan ada 230 juta perut yang harus di isi. Kalau saya boleh berpendapat, keseimbangan menjadi langkah tepat untuk visi 2013. Dimana negara ini harus berkembang dengan sektor industri tanpa harus meninggalkan sektor pertanian. Manusia Indonesia tidak akan kenyang dengan gadget murah atau mobil low cost, green emission yang bangga di produksi oleh industri dalam negeri, meskipun kebanyakan membeli license brand asing. Kita tetap butuh beras di 2030, butuh cabai untuk membuat sambal dan butuh daging sapi untuk protein. Saya mendukung tumbuh kembangnya industri di negara ini tapi tolong jangan dilupakan juga sektor yang tak kalah penting, pangan. Karena dengan persoalan pangan bisa menjadi kerusuhan besar, contoh saya tragedi 98. Ketika harga pangan melambung tinggi penjarahan menjadi kata jamak yang sering didengar. Saya tidak bisa membayangkan negara ini chaos karena berebut beras.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun