Mohon tunggu...
Dwi Bima
Dwi Bima Mohon Tunggu... -

bersikap lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persoalan Kelangkaan BBM: Kesalahan Paradigma Dari Kebijakan Pusat Hingga di Grass Root

28 Agustus 2014   05:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:19 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernah suatu hari saya menyaksikan sebuah acara televisi yang menampilkan profil sebuah negara di Skandinavia, Norwegia. Di negara Eropa Utara tersebut, sebagian besar cadangan minyak dalam negeri di jual ke luar dan hasilnya di distribusikan untuk subsidi pendidikan hingga sarana umum. Beberapa bulan kemudian saya menyasikan kembali sebuah wawancara tentang perminyakan negeri kita, narasumbernya Kurtubi. Di dunia perminyakan Indonesia, Kurtubi bukan orang asing dan beliau mengatakan jika negera kita memeiliki sekitar 50 milliar barel cadangan minyak. Bisa kita bayangkan berapa puluh triliun subsidi pendidikan kita jika cadangan minyak mentah kita sebesar itu dan di jual keluar. Namun sayang hal tersebut masih utopia bukan saja karena ucapan Kurtubi masih perlu di buktikan tetapi juga kebijakan negera kita yang berlandasan menjadi ‘’importir’’ minyak.

Lima milliar barel tentu bukan hal yang sedikit meskipun hal tersebut memang perlu di buktikan. Paradigma perusahaan migas kita dari sedari dulu memang cukup aneh dan unik. Memiliki cadangan minyak yang lumayan besar sebenarnya, akan tetapi kebijakan negeri ini tak pernah mencerminkan ingin mengeksplorasinya. Perbandingannya tak usah jauh-jauh dari negeri seberang saja, Malaysia. Di negeri jiran tersebut sharing profit antara perusahaan minyaknya, Petronas, dan pemerithannya 70-30. Lihat di Indonesia, antara Pertamina dan pemerintah pusat 30-70. Bagaimana Pertamina bisa mengeksplorasi ladang-ladang migas baru jika pola pembagian keuntungan seperti ini? Saya tidak heran jika sosok Keren yang bergaji 200 juta pun lebih memilih mengajar di Harvard. Meskipun alasan keluar masih perlu di teliti lebih lanjut apakah alasanya politis atau memang alasan profesional.

Keanehan masalah sharing profit ditambah dengan kegagalan pemerintahan kita menciptakan transportasi umum. Dalam hemat saya jika pemerintah kita mampu menciptakan alat transportasi tentu akan mengurangi tingkat konsumsi bbm dalam negeri. Rendahnya konsumsi bbm dalam negeri tentu membuat negeri ini jauh dari kejadian antrean panjang di SPBU seperti saat ini. Pemerintahan kita sedari dulu melepaskan persoalan transportasi ke swasta sehingga banyak alat transportasi yang hanya mengejar profit dan mengesampingkan kenyamanan sehingga jangan salah jika transportasi umum kita di tinggalkan oleh masyarakat. Memang bisa di maklumi jika waktu itu negara kita memang masih kesulitan memberikan transportasi yang layak karena persoalan dana tapi tidak bisakah kita merencanakannya dulu? Sekarang ketika tiba-tiba ingin menciptakan modal transportasi yang layak, kita takut menciptakan penggangguran baru bagi orang-orang yang bekerja di bidang angkutan umum atau bahkan negara kita telah kehilangan legitimasi terhadap raja-raja kecil di daerah. Patut di catat negara ini dari dulu terdapat banyak ‘’raja-raja’’ kecil yang bertindak hanya untuk kepentingan pribadi dan kadang memaksakan kehendak dengan cara-cara inskontitusional.

Kegagalan menyediakan transportasi layak kini pemerintah justru memberikan kepada masyarakat LCGC. Saya masih ingat kata menteri perindustrian kita waktu itu yang mengatakan bahwa LCGC ini adalah hadiah untuk masyarakat Indonesia yang sudah 68 tahun merdeka pada waktu itu. Tak bisa di pungkiri juga jika proyek LCGC tersebut merupakan bagian dari meningkatnya industri otomotif dalam negeri kita. Tapi hal tersebut harus tetap di evaluasi, sudah mampu semakin memdongkrak dunia otomotif kita atau justru membuat tekor APBN.

Persoalan lain di grass root atau masyarakat, banyak paradigma yang dalam hemat saya salah. Contoh saja di tahun ini, tahun politik. Tahun politik identik dengan kampanye dan lagi seperti kampanye-kampanye pemilu sebelumnya bahwa elite politik kita telah gagal menciptakan suasana orasi terbuka atau mimbar terbuka dengan cara-cara yang hemat. Pengumpulan masa selalu di lakukan dengan pawai, pernah berhitung berapa kilo liter bensin yang digunakan untuk hajatan tersebut. Belum lagi persoalan touring klub kendaraan bermotor yang kebanyakan menggunakan bbm bersubsidi, pernah berhitung juga untuk ini? Tulisan ini saya tekankan jika semua data objektif, bukan rasa iri saya terhadap beberapa klub-klub motor tertentu. Paradigma masyarakat kita yang suka ‘’boros’’ bahan bakar di ikuti lagi dengan paradigma pemerintahan yang cukup unik. Empat puluh delapan juta kilo liter rencana bbm subsidi tahun 2013 di pangkas menjadi empat puluh enam juta kilo liter di tahun politik ketika elite gagal menciptakan kampanye yang hemat.

Konsumsi negeri ini yang mencapai 1,1 juta hanya mampu di penuhi sekitar 800 ribu barel saja. Banyak ladang minyak kita yang di jual ke MNC, Pertamina hanya bisa gigit jari karena uang keuntungan di keruk pemerintah pusat. Budaya hemat belum tercipta karena mungkin salah satu sebabnya kegagalan negara ini menciptakan transportasi murah dan nyaman. Saya membayangkan apakah negara ini bebas dari persoalan kelangkaan subsidi seperti saat ini. Lebih jauh lagi saya membayangkan negara ini bisa mengeksplorasi apa yang di katakan Kurtubi dan memiliki kebijakan mirip Norwegia agar tidak ada lagi sekolah rusak atau Bus Way terbakar. Cukup sulit merealisasikannya tetapi tidak ada hal yang tidak mungkin, saya cukup yakin. Banyak yang salah kaprah dalam pengelolaan bbm, entah bagaimana menurut anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun