Belakangan ini, banyak sekali konten mengenai seseorang yang tidak membersihkan kamar kosnya bahkan menumpuk barang-barang yang sudah tidak digunakan maupun sampah di dalam kamar kosnya. Bahkan terkadang di dalam kamar kos tersebut terdapat botol yang berisi urine atau terdapat feses di atas lantai. Mengenai hal tersebut, sebagian masyarakat masih cenderung berpikir bahwa perilaku tersebut hanya disebabkan oleh kemalasan dan kurang kesadaran akan pentingnya kebersihan. Kurangnya pengetahuan masyarakat terkait masalah tersebut, menyebabkan sebagian masyarakat mengolok-olok orang yang melakukannya, baik di dunia nayata maupun di dunia maya. Bahkan terdapat pemilik kos yang memarahi hingga mengusir penghuni kos yang memiliki kebiasaan tersebut. Masyarakat sekitar berkerumun untuk melihat fenomena tersebut, tak jarang mereka juga melihat dengan tatapan yang jijik. Mereka mengontenkan hal itu tanpa memikirkan apa penyebab serta dampak yang akan dialami oleh seseorang yang melakukannya.
Sebenarnya seseorang yang tidak membersihkan kamar kosnya bahkan menumpuk barang barang yang sudah tidak digunakan maupun sampah di dalam kamar kosnya, berkemungkinan besar memiliki gangguan jiwa "hoarding disorder". Kring, Johnson, Davidon, Neale (dalam Zulfa, 2020), mendefinisikan Hoarding Disorder adalah seseorang yang memiliki barang-barang yang jumlahnya berlebihan dan juga memiliki kesulitan dalam membuang objek dan berakhir menimbun barang-barang ini, bahkan ketika secara objektif tidak bernilai.
Mereka akan lebih cenderung untuk menyimpan barang-barang yang dianggap bernilai, mempunyai nilai sentimental dan juga mempunyai kegunaan untuk masa depan. Hal ini juga menyebabkan, seseorang individu yang mempunyai tingkah laku hoarding pada tahap serius di mana meraka merasa selamat atau nyaman walaupun berada bersama dengan himpunan barang yang berlebihan. Mereka menganggap bahawa perbuatan atau tingkah laku tersebut adalah normal dan tidak memberi masalah kepada diri mereka. Walau bagaimanapun, kajian mengenai penyakit hoarding ini masih kurang dan penyebab-penyebab sebenarnya dari tingkah laku hoarding disorder ini masih tidak dapat dikenal dengan pasti (Mohamad et al., 2018).
Tingkah laku hoarding merupakan sejenis penyakit mental di bawah kecelaruan obsesif kompulsif menurut Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Individu yang mengalami tingkah laku hoarding ini tidak dapat menjalani kehidupan seharian secara normal dan mengalami masalah mental (Mohamad et al., 2018). Hoarding sebelumnya telah dianggap sebagai subtipe dari gangguan obsesif kompulsif (OCD), sebagian besar penelitian tentang penimbunan menggunakan sampel yang diambil dari pasien yang mencari pengobatan di klinik khusus OCD. Namun, tinjauan terhadap bukti-bukti yang terkumpul telah menghasilkan kesimpulan bahwa keduanya adalah gangguan yang berbeda (Frost et al., 2015).
Gangguan mental hoarding disorder tidak boleh dianggap remeh, karena penimbunan tersebut mengganggu kehidupan sehari-hari mereka, yang dapat menyebabkan stres dan rasa malu dalam kehidupan sosial, keluarga, dan pekerjaan mereka. Gangguan penimbunan juga dapat menciptakan kondisi kehidupan yang tidak sehat dan tidak aman. Beberapa orang dengan gangguan penimbunan hidup dalam kondisi yang tidak sehat (jorok) yang mungkin merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari ruang yang sangat berantakan (misalnya, kekacauan membuat sulit untuk dibersihkan) atau mungkin terkait dengan kesulitan perencanaan dan pengorganisasian.
Namun, kebanyakan orang yang hidup dalam kemelaratan rumah tangga yang parah (di mana terdapat sampah, makanan busuk, atau kotoran) memenuhi kriteria untuk gangguan organik atau mental lainnya (misalnya demensia, psikosis, atau gangguan obsesif-kompulsif) dan akibatnya tidak memenuhi syarat untuk diagnosis gangguan penimbunan (Mataix-cols & Ph, 2015).
Dalam penelitian lain (Mataix-cols & Ph, 2015) dijelaskan bahwa, orang dengan gangguan penimbunan barang mungkin tidak dapat tidur di tempat tidur mereka, duduk di ruang tamu, atau memasak di dapur. Dalam beberapa kasus, kekacauan meluas hingga ke luar ruang keluarga dan mengganggu penggunaan ruang lain, seperti kendaraan, halaman depan dan belakang, tempat kerja, dan rumah kerabat.
Pada kasus yang parah, penimbunan dapat menimbulkan berbagai resiko kesehatan, termasuk kebakaran, terjatuh, dan sanitasi yang buruk. Penimbunan juga dapat meningkatkan resiko kematian akibat kebakaran rumah atau terjebak di bawah "longsoran sampah". Kualitas hidup sangat terpengaruh, dan hubungan keluarga sering kali menjadi renggang. Kadang-kadang ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan meluas ke tetangga dan orang lain yang tinggal di dekatnya.
Laporan tentang perbedaan gender dalam komorbiditas penimbunan telah beragam. Labad et.al., (dalam Frost et al., 2015) tidak menemukan perbedaan gender dalam frekuensi penimbunan di antara pasien OCD, sedangkan Wheaton et.al., (dalam Frost et al., 2015). melaporkan tingkat keparahan gejala OCD yang lebih besar di antara wanita dibandingkan dengan tanpa penimbunan, meskipun tidak ada perbedaan yang muncul di antara pria. Sebaliknya, Samuels et.al., (dalam Frost et al., 2015) menemukan frekuensi yang lebih tinggi dari sebagian besar jenis obsesi dan beberapa dorongan pada pria dengan OCD terkait penimbunan dibandingkan dengan pria dengan OCD tanpa penimbunan. Di antara wanita, hanya obsesi simpati dan obsesi pemesanan yang lebih sering terjadi pada penimbunan dibandingkan dengan pasien OCD yang tidak menimbun. Tidak ada penelitian yang melaporkan perbedaan gender dalam sampel yang direkrut untuk penimbunan. Karena ketidakkonsistenan dalam temuan dan populasi yang sempit dari mana sampel ini diambil (pasien OCD), tidak ada hipotesis yang jelas mengenai gender dapat dibuat sehubungan terhadap penyakit terkait.
Dalam (Zulfa, 2020) terdapat tingkat gejala hoarding disorder yaitu:
1. Pada tingkat pertama tempat tinggal penderita HD terdapat sedikit kekacauan atau berantakan, namun masih terbilang rendah karena tidak ada bau. Seluruh pintu atau akses jalan serta tangga masih dapat diakses, serta kotoran hewan tidak memenuhi lebih dari tiga ruangan.
2. Pada tingkat kedua bau dari hewan peliharaan atau binatang lainnya mulai muncul, limbah atau kotoran hewan berceceran dilantai, minimnya perawatan terhadap hewan peliharaan, tempat sampah meluap, serta permukaan wadah makanan yang kotor tidak dibersihkan.
3. Pada tingkat ketiga terdapat kamar tidur atau kamar mandi yang tidak dapat digunakan, terdapat cairan atau zat berbahaya dalam jumlah kecil berceceran di lantai, terdapat permukaan debu berlebihan, tumpukan baju, handuk, seprai atau kain sejenis yang kotor, tempat sampah yang penuh dan berceran keluar, seta bau tidak sedap memenuhi rumah.
4. Pada tingkat keempat terdapat bekas-bekas bungkus makanan yang sudah lama, tidak adanya peralatan makan yang bersih, tempapt tidur dipenuhi kutu atau tungau atau serangga lainnya, tidak menggunakan separi atau kain sejenis, serta lebih dari satu akses jalan yang terhalangi oleh barang-barang.
5. Pada tingkat kelima kamar mandi dan dapur yang sangat berantakan, kotoran manusia yang terlihat jelas, serta makanan busuk yang memenuhi lantai serta di dalam kulkas yang telah tidak berfungsi.
Tanpa bantuan, pengidap HD dapat mengganggu kegiatan sehari-hari seperti memasak, bersih bersih, kebersihan diri dan juga tidur. Pengidap HD juga dapat memicu sanitasi yang buruk dan menyebabkan konflik serius dengan keluarga dan masyarakat. Berdasarkan data dari American Psychiatric Association (2013) (dalam Zulfa, 2020), meskipun sekitar 2-6 persen populasi di dunia mengidap hoarding disorder, namun banyak pengidap yang tidak meminta pengobatan, bahkan 66 persen tidak menyadari tingkat keseriusan masalah atau tidak sadar bahwa hal yang dilakukannya merupakan kesalahan atau kelainan.
Dimulai dengan karya Meyer pada tahun 1966, pengobatan untuk anak-anak dan orang dewasa dengan gejala penimbunan yang signifikan secara klinis pada umumnya adalah pengobatan yang sama dengan yang digunakan untuk OCD, suatu bentuk khusus dari terapi perilaku kognitif yang dikenal sebagai Exposure and Ritual Pencegahan dengan mayoritas pasien menunjukkan pengurangan gejala jangka pendek dan jangka panjang yang substansial (Williams, 2016). Serta menurut (Mataix-cols & Ph, 2015) saat ini, intervensi yang memiliki basis bukti terkuat untuk gangguan penimbunan adalah perawatan psikologis multikomponen yang didasarkan pada model perilaku kognitif. Perawatan ini menggabungkan pendidikan tentang penimbunan, penetapan tujuan, teknik peningkatan motivasi, pelatihan keterampilan pengorganisasian dan pengambilan keputusan, latihan menyortir dan membuang barang, latihan menolak akuisisi, dan teknik kognitif yang dirancang untuk mengubah keyakinan disfungsional tentang pentingnya tentang pentingnya harta benda.
Penderita hoarding disorder perlu dikenali, namun tidak boleh sembarangan mendiagnosis. Jika di dalam masyarakat menemukan seseorang yang mengidap hoarding disorder, masyarakat sekitar tidak boleh menatap pengidap HD dengan tatapan jijik maupun tatapan marah, masyarakat harus bersimpati kepadanya, serta tidak perlu menyuruh mereka untuk pindah ataupun mengusirnya. Masyarakat dapat bersimpati dengan mengajak pengidap HD berbicara bersama, mendengarkan mereka ataupun meminta bantuan kepada profesional. Walaupun kita bersimpati, tetapi jangan membereskan barang-barang mereka. Lebih baik kita mengajak mereka untuk membereskannya bersama, karena dapat membuat pengidap HD semakin tidak termotivasi untuk membuang atau menyortir barang-barang yang menumpuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H