Masalah utama yakni kurangnya posisi guru di sekolah dengan wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) dikarenakan minimnya yang bersedia ditempatkan pada lokasi dengan akses internet dan transportasi yang sulit. Tak dapat dipungkiri, persoalan guru masih menjadi permasalahan utama pendidikan di daerah 3T. Tak hanya terkait jumlah, tetapi juga distribusi yang tidak seimbang, kualifikasi yang masih di bawah standar, kurang kompeten, serta ketidaksesuaian antara pendidikan dan bidang yang diampu.Â
Dari sisi jumlah, guru di daerah 3T yang didominasi wilayah Indonesia timur, terutama Papua (36 persen) dan Nusa Tenggara Timur (21 persen), masih jauh dari cukup. Adapun, perbedaan kualitas guru akan menghasilkan ketimpangan. Sama seperti barang yang didagangkan, apabila tidak memenuhi ekspektasi pembeli (kurangnya branding) tentunya tidak akan ada yang membeli. Sementara itu, lulusan guru tidak memiliki kualitas secara merata sehingga guru dengan kualifikasi baik akan langsung ditarik oleh pihak sekolah di kota besar, sementara sisanya akan diberikan ke sekolah lain yang berada di daerah.Â
Lalu disisi lain hampir semua guru honorer yang bertugas di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) di Nusa Tenggara Timur masih jauh dari sejahtera. Banyak daerah mereka bergaji rendah, bahkan ada yang tidak digaji sama sekali. Pemerintah pun kesulitan membayar gaji mereka lantaran terbatasnya keuangan daerah. Apakah tidak ada langkah untuk memberikan penghargaan yang layak?Â
REFERENSI https://lpmdinamika.co/serba-serbi/pro-kontra-konsep-marketplace-guru/ https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/11/29/guru-honorer-di-daerah-3t-jauh-darisejahtera https://www.cnbcindonesia.com/opini/20230320105619-14-423117/seharusnya-guruhonorer-bisa-sejahtera/amp https://www.kompas.id/baca/riset/2021/11/29/potret-buram-guru-di-daerah-tertingga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H