Mohon tunggu...
Lyfe

Ekonomi Cukup

23 November 2018   08:13 Diperbarui: 23 November 2018   09:11 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negeri ini dipenuhi oleh sosialita yang memiliki kekayaan yang besar. Mereka hidup mewah dan berfoya-foya. Para super kaya ini memiliki apa yang tidak dimiliki oleh rakyat kebanyakan. Kekayaan, status sosial yang tinggi, pengaruh yang luas, dan lain sebagainya. Para orang kaya ini memiliki alat-alat produksi yang banyak sekali, seperti tanah, mobil, mesin-mesin, tenaga kerja, dan segudang aset lainnya. Para superkaya ini mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah mahal di dalam dan luar negeri.

Bagi mereka yang pernah membaca buku Crazy Rich Asians pasti tahu kehidupan mereka. Para superkaya ini memiliki kemewahan yang hanya dimiliki oleh sedikit orang di negeri. Mereka menguasai sebagian persen dari PDB negeri ini. Para super kaya Indonesia menghabiskan masa liburan mereka ke luar negeri. Dengan uang yang mereka miliki, semuanya bisa dibeli. Bahkan mereka bisa membeli pejabat dan aparatur pemerintahan yang mereka mau.

Namun bukan berarti mereka tanpa masalah. Di balik kemewahan ada kegelisahan, keresahan, kegilaan, dan lain sebagainya. Para Crazy Rich Asians ini mengalami sesuatu yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Mereka stress dengan kehidupan mereka. Tekanan yang kian meningkat, kegilaan pada kemewahan, depresi, kehilangan makna hidup, jiwa yang kosong dan lain sebagainya. Mereka lari ke pusat-pusat spiritualitas dan olahraga. Obat anti depresi mengiringi kehidupan mereka. 

Para super kaya merasa kaya padahal hidup mereka miskin dari kekayaan hati. Para super kaya ini menjadi budak dunia. Banyak di antaraa mereka lari kepada minuman keras, seks bebas, narkoba, dan lain sebagainya. Menjamur tempat-tempat hiburan mewah seperti kafe, diskotik, dan bar tidak lain karena banyaknya para super kaya yang menghabiskan waktu di sana.

Sudah waktunya kita beralih ke ekonomi cukup. Banyak pedagang kecil yang bekerja tidak untuk kemewahan melainkan sekedar memenuhi kebutuhan hidup semata. Mereka tidak mencari profit sebanyak-banyaknya seperti halnya para super kaya Indonesia. Yang penting hidup mereka cukup dan tidak bergantung pada orang lain. Ada pedagang nasi uduk yang hanya berjualan hingga pukul 7 pagi saja tidak melebihi itu. 

Bagi mereka bukan kelebihan yang dicari melainkan untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. Mereka bukan kapitalis. Mereka adalah para pedagang yang relijius. Mereka tidak menumpuk modal sebanyak-banyaknya seperti halnya para kapitalis di negeri ini. Mereka tidak membuka cabang, tidak meningkatkan produksi, dan membandrol harga yang tinggi kepada para pembeli. Pemikiran berbeda dengan pemikiran ekonomi yang diajarkan di sekolah-sekolah kita. Dengan modal sekecil-kecilnya meraup untung yang sebesar-besarnya.

Itulah kondisi di negeri ini. Para super kaya berlomba-lomba untuk menguasai sumber daya alam di negeri untuk keuntungan pribadi mereka. Mereka ingin terus menumpuk-numpuk modal dan mengira mereka akan hidup abadi. Ekonomi dan bisnis menjadi medan pertempuran untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Mereka merasa cukup dengan membayar pajak dan berusaha menguasai sebanyak-banyaknya sumber daya alam. Tak heran, kalau seorang ilmuwan politik Jepang mengatakan kapitalisme di Indonesia adalah greedy capitalism, kapitalisme yang rakus. Semua ingin diambil untuk kepentingan diri sendiri.

Padahal bangsa ini adalah bangsa yang relijius.  Agama tampaknya tidak mampu mengerem nafsu keserakahan mereka. Agama bahkan dijadikan permainan oleh mereka. Nilai-nilai moral sudah tidak dipegang lagi. Moral dan agama bisa dibeli dalam benak mereka. Mereka tidak memperhitungkan kelestarian alam lagi. Untuk menghibur rakyat sekitar, cukuplah dengan CSR saja.

Ilmu ekonomi yang kita pelajari di sekolah-sekolah menengah kita adalah ilmu ekonomi kapitalis. Ilmu ini mengajarkan kepada murid-muridnya untuk serakah, egois, mau menang sendiri, individualistik, dan lain sebagainya. Mereka tidak diajarkan untuk hidup bersama anggota-anggota masyarakat lainnya. Mereka dibentuk untuk menjadi homoekonomikus, manusia ekonomi yang berorientasi pada profit semata.

Ekonomi cukup itu yang kita butuhkan saat ini sehingga kita tak perlu berhutang kepada siapa pun. Baik dalam level individu maupun dalam level negara. Dalam agama hal ini disebut qonaah. Sebuah sikap merasa cukup dengann pemberian Tuhan. Bukan tamak dan rakus yang selalu menginginkan lebih.

Para super kaya Indonesia dan Asia mungkin tidak merasa cukup dengan pemberian Tuhan yang mereka terima. Nafsu ingin lebih dari orang lain telah merasuki pikiran dan hati mereka. Mereka tidak puas dengan satu BMW ingin mobil Mercedez dan lain sebagainya.

Prinsip "ekonomi cukup" agaknya perlu kita kumandangkan lagi di tengah kegilaan masyarakat Indonesia yang dilanda konsumerisme. Cukup lebih baik daripada berlebih. Yang penting cukup.

Hanvitra 23 November 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun