Mohon tunggu...
Kebijakan Pilihan

Kampanye Adu Gagasan, Kenapa Tidak Terjadi?

7 November 2018   21:12 Diperbarui: 7 November 2018   21:22 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa kampanye pilpres ini berlangsung hingga April 2019. Masing-masing tim sukses mengeluarkan trik untuk menghancurkan kredibilitas lawan-lawannya.

Intrik, hoaks, kampanye hitam dan segala macam jurus dilancarkan untuk mendiskreditkan kandidat yang lain. Baik tim sukses petahana Joko Widodo dan Prabowo Subianto mengeluarkan berbagai macam serangan yang membuat suasana menjadi semakin keruh. Tak lupa media sosial digunakan untuk mencerca setiap lawan.

Suasana kampanye pilpres ini semakin tidak intelek. Bahkan di medsos, perdebatan dilakukan dengan cara-cara kasar dan tak elok.

Rizal Ramli dalam sebuah acara televisi mengatakan bahwa perdebatan di medsos cenderung tidak intelek. Semuanya menggunakan kata-kata yang tak pantas dan vulgar. Perdebatan di medsos mengarah kepada aspek pribadi capres dan cawapres. Tidak ada adu gagasan dalam atmosfir yang mendamaikan.

Coba lihat bagaimana debat pilpres Amerika Serikat (AS) sebelum Donald J. Trump berkuasa. Mereka tidak saling serang begitu saja dengan cara yang vulgar. Mereka cenderung mendiskusikan tema-tema tertentu dan masing-masing mengeluarkan argumennya.

Debat antara Obama dan McCain, misalnya,  bukan sekedar saling menjatuhkan. Lebih dari itu mereka beradu gagasan dan program. Mereka saling mengkritik. Namun kritikan mereka terlihat ilmiah dan tidak mengada-ada.

Mereka saling berargumen dengan cara yang santun. Mereka tidak saling menjatuhkan dengan cara yang kasar. Kalau Anda melihat bagaimana debat presiden-presiden AS sebelumnya, itu semua dilakukan dengan cara yang anggun (eloquent).

Sedangkan kampanye pilpres di Indonesia bahkan cenderung menurun kualitasnya. Antara kedua tim sukses tidak beradu gagasan melainkan adu otot dan adu suara. Masing-masing tim sukses melontarkan tema-tema kampanye yang monoton.

Tidak ada yang saling berargumentasi dengan cara rasional di antara mereka. Sementara hoaks bermunculan di mana. Kalau hal ini tidak ditanggulangi maka kualitas demokrasi Indonesia semakin merosot. Dan agaknya hal itu yang sedang terjadi.

Secara teoritik, para ilmuwan politik mengatakan demokrasi baru bisa berkembang jika GDP mencapai titik tertentu. Pendidikan menjadi satu hal yang penting dalam hal ini. Masyarakat yang terdidik akan mampu berdemokrasi dengan wajar. Perdebatan yang rasional malah tidak ada. Masing-masing kandidat terjebak pada jargon-jargon politik yang mereka buat sendiri.

Belum diselenggarakannya kampanye dialogis menyebabkan kita meraba-raba apa sesungguhnya visi dan misi mereka untuk  Indonesia ke depan. Baik petahana Joko Widodo dan Prabowo tidak pernah menuliskan visi dan misi mereka untuk masa depan Indonesia. Langkah-langka praktis apa yang harus diambil dan aspek kepemimpina para kandidat.

Tidak adanya visi, misi, dan program yang akan mereka jalankan. Baik Jokowi dan Prabowo hanya sedikit mengutarakannya di depan publik. Tidak catatan tertulis mengenai visi dan misi mereka. Agaknya mereka tidak mampu lagi menulis karena kesibukan yang tiada henti. Namun agak mereka tidak mampu menulis dengan baik.

Kedua kandidatnya sejatinya adalah orang-orang pintar. Namun semua hanya berhenti di mulut. Mereka tidak mampu mengungkapkannya dengan bahasa tulis. Dan kalau mereka menulis biasannya dilakukan oleh staf ahli mereka.

Budaya menulis dalam beberapa hal tertinggal dari negara-negara lain. Negara-negara maju seperti AS, negara-negara Eropa, dan Jepang mempunyai perpustakaan hanya buka hampir 24 jam. Bangsa-bangsa maju di dunia telah memahami arti pentingnya kebiasaan membaca dan menulis bagi masyarakatnya.

Namun tak seorang pun kandidat yang memahami narasi, eksposisi, persuasi, dan argumentasi di sekolah-sekolah mereka. Mereka dibesarkan di era 1950-1960 menurut penyair Taufik Ismail adalahh bagian dari generasi nol buku yang rabun membaca dan lumpuh menulis.

Politik dagang sapi, transaksional, dan politik uang masih bercokol di dalam demokrasi kita. Bangsa ini telah melangkah jauh dari budaya agraris ke industri modern.. Ketidakmampuan menulis ini disebabkan oleh minimnya budaya baca masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia menanti buku mengenai visi, misi, dan program dari masing-masing kandidat. Hal ini agar bisa memilih dengan baik dan benar.

Para kandidat harus belajar menulis. Dengan menulis gagasan yang tadinya bersifat abstrak lalu dapat dikonkretisasikan. Menulis berarti mendekatkan otak dengan tangan. Simbol dari perbuatan atau tindakan memberi. Berbeda dengan bicara yang bisa dilakukan siapa saja. Para capres dan cawapres harus bisa menulis visi, misi, dan program mereka untuk ditawarkan kepada rakyat Indonesia. Sayangnya hal ini tidak terjadi di Indonesia.

Ada pepatah Rusia, "Segala pemikiran yang diucapkan adalah kebohongan." Apakah elit-elit politik Indonesia tidak bisa menulis? Untuk menguatkan manfaat menulis bagi generasi muda ada patutnya kita memahami peribahasa lain "Scripta manent, verba volant," yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.

Pada capres dan cawapres seharusnya mempunyai gagasan atau konsep mengenai apa yang mereka lakukan untuk masa depan Indonesia. Seharusnya kampanye didasarkan pada adu gagasan atau konsep. Sayangnya apa yang terjadi malah sebaliknya. Rakyat dibuat bingung dengan perilaku masing-masing tim sukses.

Dalam sisa waktu berkampanye, kita berharap masing-masing kandidat mau mengubah pendekatannya. Sudah saatnya bangsa Indonesia menjadi cerdas!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun