Cinta? Memangnya di zaman super modern seperti sekarang kita masih butuh yang namanya cinta? Dengan berkembangnya teknologi, perasaan cinta mulai terkikis dari diri masyarakat. Mereka memilih untuk fokus pada gawainya masing-masing dibanding cinta. Si cinta ini menurut mereka adalah hal dianggap tidak relevan dengan teknologi. Cinta, dalam pandangan masyarakat sekarang, terlalu melankolis, perkembangannya seolah tidak bisa dirasakan seperti teknologi. Apalagi untuk kaum penganut teknologi ya teknologi, cinta ya cinta. Padahal, realitanya tidak sejelas hitam dan putih seperti itu.
"Cinta adalah bumbu utama bagi spesies manusia untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya" Sehubungan dengan kalimat ini dapat dijelaskan melalui pemikiran dari teori hierarki kebutuhan manusia oleh Abraham Maslow. Berpuluh-puluh tahun silam, Abraham Maslow mencetuskan teori piramida kebutuhan dasar manusia. Menurut Maslow, manusia memiliki dorongan untuk memenuhi: kebutuhan biologis dan psikologis seperti makan, minum, istirahat; kebutuhan akan rasa aman; kebutuhan akan sosial yaitu kebutuhan untuk dicintai, mencintai, dan memberi dan menerima kasih sayang; kebutuhan akan pengakuan dan kualitas diri; serta kebutuhan aktualisasi diri. Kelimanya disusun dan dicapai sesuai dengan urutannya dan tidak dapat digantikan, setiap tahap harus dipenuhi terlebih dahulu agar bisa dilanjutkan ketahap berikutnya. Teori ini menjelaskan secara tegas bahwa cinta adalah garis lurus, mutlak yang memang dibutuhkan tiap manusia.
Jika pada zaman dahulu cinta adalah sesuatu yang sakral yang mendapatkannya butuh perjuangan luar biasa seolah harus melewati jurang yang dalam dan tanjakan yang terjal dengan berkembangnya teknologi, cinta pun ikut berkembang. Teknologi makin memudahkan manusia untuk mencari, menggapai dan memiliki si cinta. Teknologi dapat menghapuskan ketakutan dan kekhawatiran yang ada. Anggapannya, teknologi adalah sesuatu yan penting di zaman sekarang ini untuk men-support cinta yang kita miliki.
Contohnya saja LDR atau Long Distance Relationship. Dulu, LDR adalah momok bagi sebagian besar orang karena mereka hanya bertemu sesekali dan cara berkomunikasi mereka melalui surat yang seringnya sangat lama untuk sampai di tujuan, meskipun sudah ada telepon umum tetap saja kita harus mengantre yang kadang antreannya sangat panjang. Kemudian berkembanglah teknologi yang lebih memudahkan mereka untuk menggapai si cinta. Teknologi sekarang berguna untuk mendekatkan yang jauh. Dengan mendekatkan yang jauh, LDR bukanlah menjadi suatu masalah.
Selain itu, dengan teknologi, si cinta yang dulu mentok sama teman satu sekolah, atau kuliah sekarang bisa dari mana saja. Teknologi memberikan kita ruang lingkup yang luas untuk memberikan pilihan. Kita bisa saja mendapatkan cinta dari luar negeri, atau si cinta datang melalui aplikasi seperti Tinder atau Tantan. Lingkup relasi kitapun jadi lebih luas dan kita jadi lebih punya banyak pandangan akan cinta. Perlu digaris bawahi bahwa cinta ga melulu tentang romansa antara dua sejoli namun juga bisa antar keluarga, teman, dan saudara. Bahkan dalam penciptaan dan perkembangan teknologi sendiri, para peneliti melakukannya atas dasar cinta. Cinta yang seperti apa? Cinta yang punya tujuan mulia yaitu untuk kemaslahatan umat manusia. Sehingga dalam perspektif teknologi, cinta itu benar-benar mutlak dan dibutuhkan.
Tapi tentu saja, tiap hal punya dampak positif dan negatif. Bagai pedang bermata dua, Â teknologi ini selain membantu cinta, juga menyerang cinta. Penggunaan teknologi yang berlebihan justru menjauhkan yang dekat. Obsesi terhadap gawai di dalam kehidupan sehari-hari memberikan andil negatif dalam penggunaan teknoogi. Menurut Pew Research Center, 42% dari orang-orang yang menjalin hubungan serius dengan umur diantara 18 hingga 29 merasa pasangan mereka banyak terganggu konsentrasinya dengan gawai ketika mereka bersama.
Ditambah, penggunaan media sosial yang ramai digunakan untuk mengumbar kemesraan justru dalam beberapa studi menyatakan bahwa hubungan yang mudah disebarluaskan seperti itu akan menimbulkan perasaan 'insecurities' atau ga pede. Banyaknya kemesraan, yang seharusnya bisa saja jadi konsumsi pribadi, dilantangkan lewat platform seperti Instagram, Twitter, Facebook dan lainnya memberikan peluang lebih tinggi untuk menimbulkan konflik dan perasaan cemburu.
Pasangan-pasangan tersebut menggunakan media sosial sebagai sumber tempat validasi hubungan. Makin banyak likes dan comments, makin girang mereka. Apalagi jika seseorang berkomentar 'relationship goals banget deh' Aduh! Sudah mereka bakal makin senang. Mereka akan terus-terusan mengupload foto kebersamaan mereka demi dibilang relationship goals dan akan sedih ketika tidak ada yang berkomentar atau menyukai postingan mereka. Hal tersebut bisa langsung menjadi sumber konflik dalam berpasangan. Selain itu, dengan terus-terusan bermain gawai di depan pasangan, kita justru kehilangan momen penting yaitu kebersamaan secara reality dengan pasangan kita.
Berkaitan dengan kebutuhan manusia, cinta menjadi kebutuhan bagi tiap orang sementara teknologi adalah alat yang menghubungkan kebutuhan akan si cinta ini. Dalam porsi yang tepat, teknologi dapat memberikan dukungan penuh untuk kita dalam memenuhi kebutuhan akan si cinta seperti mendekatkan yang jauh serta memberikan ruang lingkup serta pilihan yang luas untuk kita. Disisi lain, teknologi juga bisa menyerang cinta kita, seperti menjauhkan yang dekat, bertanggung jawab atas insecurity kebayakan orang dan perasaan tak pernah cukup akan cinta.
Referensi:
https://ic-resources.com/news/4-ways-technology-changed-way-love-better-worse/, diakses pada tanggal 17 februari pukul 11.20
https://dosenpsikologi.com/teori-kebutuhan-maslow, diakses pada tanggal 17 februari pukul 14.08
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H