Gembala Junior Sebedeus Donsiba (26) tengah menjelaskan kepada peserta yang berjumlah 15 orang. Sebe, panggilan akrabnya- bercerita kisah Yesus yang menyembuhkan orang yang kerasukan setan dalam Bahasa Hatam, bahasa suku di Kampung Minyambouw. Minyambouw adalah salah satu dari 37 kampung yang ada di Distrik Minyambouw, Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf), Papua Barat. Wilayahnya berada di ketinggian 2900 meter di atas permukaan laut dan berjarak kurang lebih 15 kilo meter dari Kota Manokwari.
Ada 3 kelompok yang hari itu, Senin (22/4) berkumpul bersama-sama di gedung Gereja Kristen Persekutuan Alkitab Indonesia (GKPAI) Minyambouw. Mereka melakukan kegiatan yang disebut Kelompok Persekutuan Cerita (KPC).Â
Orang-orang dalam 3 kelompok itu adalah anggota jemaat dari GKPAI dari sejumlah kampung yang dilatih menjadi fasilitator. Nantinya mereka akan terjun ke jemaat masing-masing untuk berbagi cerita yang mereka dapatkan. Mereka dilatih untuk menguasai cerita Alkitab dalam Bahasa Hatam.
Cerita yang dibagikan oleh Sebe adalah sebuah cerita pendek yang telah diterjemahkan sebelumnya oleh tim dari Yayasan Misi Pemuridan Penginjilan Papua (YMP3). Yayasan ini sudah hadir sejak tahun 2002 untuk membantu suku-suku di Papua sehingga mengenal Alkitab lewat bahasa-bahasa lokal.
Anggota kelompok menyimak cerita yang disampaikan Sebe. Sebelumnya Indra-pendamping suku Hatam- memberikan pejelasan mengapa mereka dikumpulkan dan apa yang akan dilakukan.
Tidak hanya Sebe, 4 rang rekannya, yaitu Nimbrot Donsiba (24), Yosua Donsiba (26), Efraim Towansiba (24) dan Debora Donsiba (24) ikut membantu menjadi pendamping yang bertugas bercerita ke kelompok mereka masing-masing. Rata-rata peserta kegiatan itu adalah perempuan.
Â
Yang unik dari warga kampung yang penduduknya berjumlah sekitar 200 kepala keluarga memiliki nama keluarga yang sama. "Nenek moyang kami memang bersaudara sehingga nama keluarga kami kebanyakan sama," kata Gembala Senior Yakonias Iwou (56).
Namun hampir setengah lebih dari jumlah mereka tidak tinggal di kampung itu tapi di kota Manokwari untuk beradu nasib. "Dorang tidak di sini karena ada di kota. Nanti baru saat Natal atau waktu-waktu tertentu datang ke kampung sini. Jadi keadaan kampung di sini sepi," kata Yakonias lagi.
Alkitab yang sulit dibaca
Alkitab dalam Bahasa Hatam berjumlah 500 halaman. Cukup tebal. Menurut Yakonias, jemaat kadang tidak mau membaca Alkitab yang tebal itu. "Ya karena kebanyakan jemaat gereja ini adalah perempuan dan mereka juga tidak banyak yang bisa baca, sehingga Alkitab hanya dibacakan di saat mereka datang ke gereja, misalnya hari Minggu atau hari-hari lainnya saat ada kegiatan."
Kondisi itulah yang menjadi perhatian organisasi YMP3. Menurut Indra Kusuma (29) yang sudah 3 tahun mendampingi masyarakat di Kampung Minyambouw, dengan cerita-cerita pendek yang diambil dari Alkitab dan diterjemahkan dalam bahasa Hatam memudahkan jemaat dapat menghafal cerita-cerita itu.
"Itulah yang kami lakukan di tempat ini. Jadi kami membuat buku kecil berjumlah 8- 12 halaman berisi satu kisah Alkitab. Kami terjemahkan dalam Bahasa Hatam lalu kami ujicoba ke para fasilitator dan para fasilitator ini menyampaikan ke kelompoknya masing-masing. Kami jelaskan sehingga mereka benar-benar mengerti bahkan hafal. Jadi dari teks Alkitab lalu kami ceritakan secara lisan dan mereka hafalkan lalu dibagikan ke jemaat masing-masing. Setiap minggu mereka turun ke jemaat untk berbagi cerita itu sehingga Injil atau kisah tentang Yesus diketahui dan dijelaskan ke masyarakat."
Tidak hanya dalam bentuk buku, kata Indra kisah Alkitab dibuat dalam bentuk video. "Jadi kami juga menterjemahkan ke dalam Bahasa Hatam film-film pendek tentang. Mereka suka sekali ketika kami ujicoba dengan memutarkan film-film pendek itu. Kami bagikan lewat hape mereka sehingga mereka bisa melihat langsung ketika di rumah. Film itu mudah dimengerti karena dengan bahasa mereka," tambahnya.
Soal YMP3, adalah organisasi yang secara khusus bekerja menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku di Papua. "Ada 5 bahasa suku yang kami kerjakan hingga saat ini, yaitu Bahasa Hatam, Bahasa Sougb, Bahasa Mpur, Bahasa Tehit dan Bahasa Kokoda. Semua bahasa-bahasa lokal itu ada di Provinsi Papua Barat. Bahasa Hatam adalah salah satu bahasa yang kami sasar karena bahasa ini dipakai oleh banyak orang di kampung Minyambouw," kata Fredrik U.Wowor (60), pimpinan YMP3.
Soal kegiatan menceritakan kisah Alkitab yanag dikerjakan oleh Indra dan teman-temannya disambut baik oleh pendeta setempat.
"Kami sangat terbantu dengan kegiatan ini. Karena masyarakat di sini tidak semua bisa membaca maka lewat buku-buku dan video ini dapat membantu mereka memahami injil tentang Yesus," kata Pdt.Simson Tuwansiba (63) yang adalah Ketua Jemaat di gereja itu.
Â
Minim fasilitas Listrik dan Internet
Berada di kampung Minyambouw akan merasakan udara yang dingin yang rata-rata suhunya 14 derajat di malam hari dan 16-17 derajat di siang hari. Karena berada di wilayah Pegunungan Arfak di ketinggian 2900 meter, udara dingin terasa di pagi hingga siang. Sore hingga malam udara bertambah dingin.
"Setiap hari di sini kalau sudah sore turun hujan atau kabut. Kalau pagi sampai jam 12 siang itu cerah, baru sorenya turun kabut atau hujan sampai malam," kata Sebe.
Kondisi itulah yang membuat sebagain besar warga di kampung ini berada di kota. "Ya selain mereka bekerja di kota, kondisi cuaca di sini juga sangat dingin sehingga mereka turun ke kota dan nanti datang lagi jika ada acara-acara besar,"kata Yakonias. Â Â
Untuk masuk dan keluar ke kampung Minyambouw warga harus sewa mobil dobel gardan dengan ongkos 100 ribu rupiah dengan waktu tempuh 1,5 jam. Atau juga dengan motor jika warga memiliki motor. Jalannya berliku dan menanjak.
"Karena dikelilingi gunung, kampung ini menjadi perlintasan bagi kampung-kampung sekitarnya. Jadi di sini cukup banyak mobil atau motor yang melintas," kata Indra.
Saat berada di kampung itu, listrik pada dan jaringan internet juga tidak ada. Meski tiang listrik sudah ada tapi alirannya tidak masuk. "Kami pakai generator untuk menjalankan listrik, khususnya generator ada di rumah gembala senior bapak Yakonias. Selebihnya ada juga warga yang memiliki solar panel. Mereka yang punya solar panel adalah warga yang memiliki uang saja sehingga tidak semua warga di kampung ini ada listrik," ujar Sebe.
Mata pencaharian warga di kampung ini rata-rata adalah petani atau mengolah kebun. "Biasanya setiap pagi mereka ke kebun di atas gunung itu. Mengambil tanaman untuk sayur dan buah serta berburu. Juga mereka memelihara ayam atau babi. Ada juga yang jadi guru di sekolah dan ada juga para pendatang yang bertugas sebagai tenaga kesehatan atau aparat keamanan," kata Sebe.
3 tahun mendampingi
Indra Kusuma sudah tiga tahun menjadi pendamping di kampung itu. "Dulunya saya sering ikut ke kebun bersama warga di sini, khususnya bersama bapak gembala Yakonias. Karena jika kita ingin diterima oleh warga di sini maka kita harus ikut kegiatan sehari-hari mereka. Selain ke gereja tentunya saya harus juga ikut mengambil kayu bakar ke hutan, ikut mencangkul, ikut menanam tanaman dan ikut pula memasak. Sambil di sela-sela itu, saya bercerita dan membagikan cerita-cerita Alkitab. Lama-lama saya diterima mereka. Saya juga mencoba mendekati orang-orang muda untuk menjadi fasilitator dan mereka mau. Seperti Yosua dan Nimrot yang adalah warga asli kampung sini yang berprofesi sebagai guru,"katanya.
Indra juga bercerita meski Alkitab sudah diterjemahkan dalam Bahasa Hatam, warga tidak banyak yang membaca karena belum banyak pula yang bisa membaca. "Selain banyak yang tidak bisa membaca, maka kami coba membantu menerjemahkan ke dalam bahasa Hatam cerita-cerita pendek Alkitab dalam bentuk buku dan video. Cara ini sekaligus melestarikan dan membiasakan bagi generasi muda kampung ini untuk tetap menggunakan Bahasa Hatam. Karena anak-anak usia sekolah dasar dong kebanyakan sudah tidak bisa pakai bahasa lokal. Mereka lebih suka pakai Bahasa Indonesia."
Apa yang disampaikan Indra juga dibenarkan oleh Pdt.Simson. Menurutnya dia terlibat dalam proses penerjemahan Alkitab Bahasa Hatam. "Saya melihat anak-anak kecil sekarang juga harus diajarkan menggunakan bahasa itu sehingga bahasa ini tidak punah." Â Â
Yakonias menambahkan, para gembala dan pimpinan kampung mengizinkan tim penerjemah masuk ke kampung ini.
"Dengan adanya mereka, kami terbantu dan dikuatkan sebagai jemaat dari berbagai golongan, seperti kaum bapak, kaum wanita, pemuda, remaja dan anak-anak. Dulu pernah ada misionaris yang melakukan kegiatan sejak tahun 1980. Mereka membangun sekolah Alkitab, bangun klinik kesehatan dan membuat kursus-kursus ketrampilan. Namun itu semua harus disegarkan kembali. Dan tim penerjemah ini menguatkan dan menyegarkan kami di sini."
Fredrik U. Wowor juga menjelaskan bahwa pihaknya melakukan studi kelayakan lebih dulu ketika ingin masuk menerjemahkan cerita-cerita Alkitab ke dalam Bahasa Hatam. "Itu prosesnya panjang sebelum kami turun tiga tahun lalu. Indra sebagai pendamping bolak-balik dan tinggal di sana supaya benar-benar memastikan bahwa warga di sana membutuhkan itu. Meski sudah ada Alkitab, mereka perlu bahan-bahan lainnya untuk memperkuat pemberitaan Injil di sana. Bahkan kami secara khusus membuat 21 cerita-cerita pendek yang ada dalam Alkitab yang kami terjemahkan dalam Bahasa Hatam."
Sebe, Nimbrot, Yousa, Efraim dan Debora didampingi Indra masih terus melakukan pelayanan di Kampung Minyambouw. "Saya berharap warga terpenuhi kehausannya akan firman Tuhan. Akan cerita-cerita lain di Alkitab dalam bahasa mereka. Pekerjaan ini tidak mudah karena tantangannya banyak, namun kami percaya Tuhan Yesus menyertai pekerjaan ini sehingga banyak warga Minyambou semakin diberkati," kata Indra. Â Â Â
Diskusi tentang perkembangan kampung Minyambou dilakukan di rumah kaki seribu. Rumah kaki seribu atau dapur berada di bagian belakang setelah rumah utama. Disebut kaki seribu karena dibangun dengan banyak kayu sebagai penyanggahnya. Di dalamnya ada dua tungku perapian untuk memasak berbagai hal. Sambil memasak air, makanan dan lainnya, biasanya sambil berdiskusi. Rumah kaki seribu Sebe digunakan untuk hal itu. Meski asap kayu bakar memenuhi ruangan, diskusi hangat terjadi. Hingga larut malam diskusi berlangsung sampai kantuk datang.
Bagi warga kampung Minyambou, rumah kaki seribu bukan sekadar dapur pada umumnya. Karena di rumah kaki seribu itulah ada pengajaran, cerita, petuah hingga kisah Injil dibicarakan turun temurun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H