Mohon tunggu...
Arta Yenta Harefa
Arta Yenta Harefa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana/ NIM (43223010204)

Mahasiswa Sarjana S1-Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

KUIS - 12 Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia

5 Desember 2024   02:55 Diperbarui: 5 Desember 2024   02:55 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

What

Siapa Itu Edward Coke?

Edward Coke (1552-1634) merupakan ahli hukum, hakim dan politisi Inggris. Ia pernah memangku jabatan dalam pemerintahan dan memimpin pihak oposisi dalamparlemen serta berperan dalam menyusun petisi Petition of Rights, sebuah surat permohonan hak-hak asasi warga negara yang disetujui oleh raja Inggris. Edward Coke menjadi Ketua Hakim Agung pada tahun 1606 dan diangkat menjadi Ketua Hakim Raja Bench pada tahun 1613.

Edward Coke dikenal karena doktrin-doktrin penting dalam hukum pidana. Salah satu konsep utama yang berkaitan dengan ajarannya adalah prinsip actus reus (perbuatan fisik) dan mens rea (niat atau kesalahan batin), yang merupakan elemen penting dalam menentukan tanggung jawab pidana.

Dokpri, Prof. Apollo UMB
Dokpri, Prof. Apollo UMB

Milik Pribadi
Milik Pribadi

Actus Reus

Menurut Edward Coke, Actus Reus adalah "suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum." Pandangan ini menyatakan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila melibatkan tindakan nyata yang telah melanggar hukum, bukan hanya karena niat atau pikiran pelaku. 

Pandangan Edward Coke tentang actus reus juga sering dikaitkan dengan prinsip dasar hukum pidana, yaitu:

  1. Tidak ada kejahatan tanpa perbuatan (no crime without an act) yang dapat diartikan bahwa hukum pidana hanya menghukum tindakan yang dapat diamati, bukan niat semata. Dalam hal ini, actus reus mencakup tindakan atau kelalaian (omission) yang menyebabkan pelanggaran hukum.

  2. Harus melibatkan tindakan sukarela. Maksudnya bahwa perbuatan tersebut harus dilakukan dengan kesadaran dan kendali oleh pelaku. Misalnya, apabila seseorang secara tidak sengaja bergerak karena kejang, hal itu dinyatakan tidak memenuhi syarat actus reus. Sebagai ilustrasi, jika seseorang mencuri barang, maka tindakan fisik mengambil barang tersebut tanpa izin pemiliknya merupakan elemen actus reus. 

Milik Pribadi 
Milik Pribadi 

Mens Rea

Menurut Edward Coke, Mens Rea adalah "guilty mind" atau "niat bersalah." Ini merupakan konsep hukum pidana yang merujuk pada niat atau keadaan mental pelaku saat melakukan tindakan kriminal. Dalam tulisannya, Coke menjelaskan bahwa kejahatan membutuhkan actus reus (tindakan fisik yang melanggar hukum) dan mens rea (niat atau keadaan mental yang salah). 

Pernyataan yang sering dikaitkan dengan pandangan Coke, yaitu "An act does not make a person guilty unless their mind is also guilty" (Actus non facit reum nisi mens sit rea). Yang berarti seseorang tidak dapat dianggap bersalah secara pidana jika hanya karena melakukan tindakan yang salah, akan tetapi niat atau kesadaran akan pelanggaran tersebut juga harus terbukti. 

Mens rea menurut Coke mencakup berbagai tingkat niat atau kesadaran, seperti:

  1. Intention (niat langsung)

Dalam hal ini, yang dimaksud adalah apabila seseorang telah memiliki niat atau memiliki keinginan sadar untuk menghasilkan akibat tertentu. Dimana pelaku kejahatan memiliki tujuan yang jelas untuk mencapai hasil yang diinginkan serta tidak hanya sekadar tahu akibat yang mungkin terjadi, tetapi secara aktif mengejarnya. Contohnya seseorang merencanakan dan dengan sengaja menusuk orang lain untuk membunuhnya. Dalam kasus ini, niat membunuhorang lain tersebut adalah bentuk intention 

  1. Recklessness (kelalaian berat)

Hal ini merujuk pada ketidakhati-hatian yang menunjukkan ketidakpedulian terhadap risiko yang diketahui. Ini dapat terjadi ketika seseorang menyadari risiko dari tindakannya tetapi tetap melakukannya tanpa memperhatikan konsekuensi buruk yang mungkin terjadi, yang artinya ia telah menunjukkan sikap ceroboh atau tidak peduli terhadap keselamatan orang lain. Contohnya seseorang mengemudi dengan kecepatan tinggi di jalan ramai, mengetahui bahwa ini dapat menyebabkan kecelakaan tetapi tetap melakukannya. Jika kecelakaan terjadi, ini dapat dianggap sebagai tindakan reckless. 

  1. Negligence (kelalaian)

Maksdunya yaitu seseorang tidak memenuhi standar kewaspadaan yang diharapkan dalam situasi tertentu. Berbeda dengan intention dan recklessness, negligence tidak memerlukan kesadaran pelaku terhadap risikonya, tetapi dilihat dari sudut pandang orang yang "sewajarnya berhati-hati." Dalam hal ini pelaku tidak menyadari risiko yang seharusnya diketahui oleh orang yang hati-hati dalam situasi serupa. Contohnya Seorang dokter tidak memeriksa pasien secara memadai sebelum melakukan prosedur medis, yang kemudian mengakibatkan kematian pasien. Tindakan ini bisa dianggap kelalaian. 


Why

Unsur Actus Reus Pada Kasus Korupsi

Untuk membuktikan adanya sebuah tindak pidana korupsi, tindakan fisik atau actus reus harus dapat dibuktikan. Berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berikut adalah unsur-unsur actus reus yang dapat dibuktikan:

  • Perbuatan melawan hukum

Yang pertama adalah tindakan melawan hukum, dimana tindakan tersebut adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam konteks korupsi sendiri, ini meliputi seperti penyalahgunaan wewenang, kecurangan dalam pengelolaan anggaran, atau tindakan jahat lainnya yang dapat merugikan negara.

  • Menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Actus reus dapat berupa tindakan mengambil keuntungan secara tidak sah, seperti menerima suap, komisi ilegal, atau hadiah dari pihak tertentu.

  • Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Dalam kasus korupsi, actus reus sering kali melibatkan pengurangan atau penyalahgunaan anggaran negara, seperti proyek fiktif atau penggelembungan dana.

Dalam proses penegakan hukum di Indonesia, actus reus menjadi dasar utama untuk memastikan kepastian dakwaan. Tanpa pembuktian tindakan nyata yang melanggar hukum, seseorang tidak akan dapat dikenakan sanksi pidana, meskipun mungkin ada bukti kuat tentang niat jahat (mens rea). Oleh karena itu, aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus fokus pada pengumpulan bukti-bukti tindakan fisik sebagai bagian integral dari penyidikan.

Dengan kata lain, actus reus dalam tindak pidana korupsi tidak hanya menjadi elemen penting untuk membuktikan adanya kejahatan, akan  tetapi juga merupakan sarana untuk menunjukkan hubungan kausal antara tindakan pelaku dan dampaknya terhadap keuangan negara.

Unsur Mens Rea dalam Kasus Korupsi

Mens rea dalam korupsi dapat diidentifikasi melalui beberapa elemen mental yang relevan, yaitu:

  • Kesengajaan (dolus)

Hal ini dimaksud bahwa pelaku memiliki niat untuk melakukan perbuatan melawan hukum, seperti menerima suap, memalsukan dokumen, atau melakukan penggelapan. Contohnya seorang pejabat sengaja meminta uang komisi dari kontraktor dengan janji akan memenangkan tender proyek pemerintah.

  • Kesadaran akan pelanggaran hukum

Hal ini dapat dikatakan bahwa pelaku telah mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan adalah ilegal, tetapi ia tetap melanjutkannya. Contohnya pegawai negeri yang memalsukan laporan anggaran mengetahui bahwa perbuatannya melanggar hukum, tetapi ia tetap melakukannya untuk keuntungan pribadi.

  • Motif ekonomi atau kekuasaan

Dalam banyak kasus korupsi, mens rea sering kali didorong oleh keinginan untuk memperkaya diri sendiri atau mempertahankan kekuasaan.

Mens rea menjadi elemen kunci dalam membuktikan tindak pidana korupsi di Indonesia. Tanpa adanya niat jahat atau kesengajaan, tindakan yang merugikan negara belum tentu dapat dikategorikan sebagai korupsi. Oleh karena itu, penyidik, penuntut, dan hakim harus cermat dalam mengumpulkan bukti yang menunjukkan bahwa pelaku memiliki kesadaran penuh atas kejahatan yang dilakukan. Ini menegaskan pentingnya pendekatan menyeluruh dalam membongkar kasus korupsi, baik dari segi tindakan fisik (actus reus) maupun niat pelaku (mens rea). 

How

Milik Pribadi
Milik Pribadi

Milik Pribadi (cc pict google)
Milik Pribadi (cc pict google)

Kasus Bank Century berawal dari keputusan pemerintah Indonesia melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada tahun 2008 untuk memberikan dana talangan (bailout) sebesar Rp6,7 triliun kepada Bank Century. Keputusan ini diambil dengan alasan mencegah potensi dampak sistemik terhadap perekonomian Indonesia saat itu, yang sedang dilanda krisis keuangan global.  Kasus Bank Century menjadi salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia, melibatkan isu keuangan, hukum, dan politik yang kompleks. Hingga kini, kasus ini masih menjadi bahan diskusi terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana publik.

Bank Century, merupakan hasil dari merger tiga bank, yaitu Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko, yang mengalami permasalahan likuiditas serius pada 2008. Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memutuskan untuk menyelamatkan bank ini dengan alasan dampaknya yang dianggap sistemik. Sebanyak Rp6,7 triliun disalurkan melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penyertaan modal sementara (PMS) oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) .

Dalam kasus ini, beberapa pejabat terlibat, seperti Budi Mulya yang merupakan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, mantan pemilik bank centuty, yaitu Robert Tantular, serta beberapa pejabat tinggi seperti Boediono yang merupakan mantan Gubernur BI, dan kemudian Wakil Presiden serta Sri Mulyani yang merupakan mantan Menteri Keuangan juga mendapat sorotan karena kebijakan penyelamatan, meskipun tidak dikenai hukuman pidana.

Budi Mulya sendiri terbukti bersalah karena telah menerima suap sebanyak Rp1 miliar dari Robert Tantular untuk mempermudah pengucuran Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi Bank Century. Akibat dari perbuatannya, ia dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara.

Sedangkan Robert Tantular Dihukum atas tindak pidana penyalahgunaan dana dan pemberian kredit bermasalah di Bank Century, kemudian ia mendapatkan hukuman yang awalnya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun, Mahkamah Agung memperberat hukuman menjadi 9 tahun penjara, karena ia dinilai bertanggung jawab atas kerugian keuangan bank dan dana nasabah.

Beberapa pejabat lain yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan FPJP dan bailout Bank Century, seperti Sri Mulyani (mantan Menteri Keuangan) dan Boediono (mantan Gubernur BI), mendapatkan sorotan. Namun, keduanya tidak dikenakan sanksi pidana karena tidak ditemukan bukti kuat yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum langsung.

Hubungan Actus Reus dan Mens Area dengan Kasus Bank Century

1. Actus Reus (Tindakan yang Melanggar Hukum)

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Actus reus merujuk pada perbuatan fisik atau tindakan nyata yang melanggar hukum. Maka hubungannya dalam Kasus Bank Century adalah sebagai brikut:

  • Robert Tantular

Hubungan  Actus reus  dengan perilaku Robert Tantular adalah karena telah melakukan penyalahgunaan dana nasabah dan pemberian kredit bermasalah.  Kemudian ia memanfaatkan dana nasabah itu untuk keuntungan pribadi, sehingga melanggar prinsip-prinsip perbankan dan aturan hukum.

  • Budi Mulya

Sementara hubugan perilaku dari Budi Mulya dengan Actus Reus, yaitu tindakannya yang meliputi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century dengan melonggarkan persyaratan yang tidak sesuai ketentuan Bank Indonesia. Sehingga tindakan ini tentu saja memperbesar potensi kerugian negara.

2. Mens Rea (Niat atau Kesengajaan dalam Tindak Kejahatan)

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Mens rea yaitu menunjukkan niat, kesadaran, atau sikap batin pelaku ketika melakukan tindakan melanggar hukum. Adapun hubungannya dengan kasus bank century adalah sebagai berikut:

  • Robert Tantular

Terbukti memiliki niat untuk memperkaya diri sendiri dengan cara tidak sah, yaitu seperti mengambil keuntungan dari dana nasabah. Dalam hal ini, Mens rea terbukti dari fakta bahwa ia secara sadar melanggar aturan perbankan demi keuntungan pribadi.

  • Budi Mulya

Sementara bagi Budi Mulya sendiri, Mens rea dalam kasus ini adalah dibuktikan dengan adanya kesengajaan dalam menyetujui perubahan syarat CAR (Capital Adequacy Ratio) untuk FPJP dan menerima suap sebesar Rp1 miliar. Hal ini menunjukkan kesadaran dan niatnya untuk memanfaatkan posisinya di Bank Indonesia.

Dalam hukum pidana, untuk memvonis seseorang, harus ada pembuktian bahwa tindakan mereka (actus reus) dilakukan dengan niat tertentu (mens rea). Dalam kasus ini, keduanya terbukti dalam peran Robert Tantular dan Budi Mulya. Dengan adanya kasus Bank Century ini, memperlihatkan kita bagaimana pembuktian baik actus reus maupun mens rea menjadi penting dalam menjerat pelaku, khususnya untuk kejahatan yang melibatkan penyalahgunaan wewenang dan korupsi.

Kesimpulan 

Kasus Bank Century mencerminkan bagaimana kedua elemen utama dalam hukum pidana---Actus Reus (tindakan nyata yang melanggar hukum) dan Mens Rea (niat atau kesengajaan)---berperan dalam mengidentifikasi dan mengadili pelaku kejahatan. 

Pada Actus Reus sendiri, tindakan yang melanggar hukum terlihat jelas dalam penyalahgunaan dana nasabah oleh Robert Tantular, serta dalam keputusan Budi Mulya yang telah memberikan FPJP tanpa memenuhi syarat yang seharusnya. Dari kedua perbuatan ini tentu saja menyebabkan kerugian besar pada negara dan merusak integritas sistem keuangan.

Sedangkan pada Mens Rea sendiri, niat jahat atau kesengajaan terbukti dari tindakan sadar para pelaku untuk melanggar aturan. Robert Tantular bertindak dengan niat memperkaya diri, sementara Budi Mulya menyalahgunakan wewenangnya dan menerima suap dalam proses pemberian FPJP.

Kesimpulannya, kombinasi tindakan nyata yang melanggar hukum dan niat untuk melakukannya secara sadar menjadi landasan dalam menjerat pelaku kejahatan dalam kasus Bank Century. Analisis Actus Reus dan Mens Rea membantu memastikan keadilan ditegakkan dan menegaskan pentingnya integritas dalam pengelolaan sistem keuangan negara. 

Daftar Pustaka

1) Wikipedia. (26 November 2017). Edward Coke

(https://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Coke)

2) Glanville Williams, Textbook of Criminal Law

3) HukumOnline.com. (23 November 2009). Ini Dia Hasil Audit Investigasi BPK Atas Kasus Bank Century

(https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-dia-hasil-audit-investigasi-bpk-atas-kasus-bank-century-lt4b0aa11fcbe16)

4) News.replubika.co.id. (06 Maret 2014). Ini Kronologis Kasus Bank Century

(https://news.republika.co.id/berita/n20q0m/ini-kronologis-kasus-bank-century)



 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun