Mohon tunggu...
Arta Yenta Harefa
Arta Yenta Harefa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana/ NIM (43223010204)

Mahasiswa Sarjana S1-Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

TB-2 Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram Pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

29 November 2024   06:29 Diperbarui: 29 November 2024   23:22 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Ki Ageng Suryomentaram (20 Mei 1892 - 18 Maret 1962)

Merupakan putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ki Ageng Suryomentaram lahir di Yogyakarta dan memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji dan setelah umur 18 tahun diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram. 

Ki Ageng Suryomentaram adalah seorang filsuf dan tokoh pemikir dari Indonesia yang mendalami kehidupan spiritual dan psikologi Jawa. Ia mengembangkan konsep yang disebut Ilmu Kawruh Jiwa, yaitu sebuah ajaran yang bertujuan membantu manusia memahami dirinya sendiri, menerima segala kekurangan dan kelebihan, serta mencapai kebahagiaan sejati.

Beliau juga menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia. Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama. 

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di lingkungan istana, Raden Mas Sujana merasa terjebak dalam kehidupan feodal yang membatasi kebebasan berpikir. Ia akhirnya meninggalkan gelar kebangsawanannya dan memilih hidup sederhana di tengah rakyat jelata. Keputusannya ini mencerminkan semangat pembebasan dari belenggu materialisme dan status sosial, yang kemudian menjadi inti ajaran dan pemikirannya. Ia kemudian dikenal dengan nama Ki Ageng Suryomentaram.

Ajaran Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya relevan pada masanya, tetapi juga pada zaman modern ini. Pemikirannya tentang kesederhanaan dan introspeksi menjadi solusi bagi berbagai tekanan dalam kehidupan modern yang cenderung materialistis. Melalui Kawruh Jiwa, ia mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan fisik dan spiritual.

Salah satu warisan besarnya adalah pendirian berbagai komunitas diskusi yang mengajarkan Kawruh Jiwa. Ajaran ini disampaikan secara sederhana, menggunakan bahasa sehari-hari sehingga mudah dipahami oleh masyarakat umum. Selain itu, prinsip hidup Ki Ageng menginspirasi banyak tokoh, baik dalam dunia spiritual, pendidikan, maupun budaya. Pemikirannya sering dijadikan rujukan untuk memahami cara hidup sederhana namun bermakna.

Ki Ageng Suryomentaram membagi jiwa manusia ke dalam tiga komponen utama, yaitu:

  1. Pengawikan (kesadaran): Kemampuan mengenali dan memahami diri sendiri.
  2. Pengraosan (perasaan): Bagaimana manusia merespons berbagai pengalaman hidup.
  3. Pengertian (pemahaman mendalam): Wawasan tentang makna kehidupan yang lebih luas.

Ki Ageng juga mengajarkan konsep "kebahagiaan tanpa syarat," yaitu kebahagiaan yang tidak terpengaruh oleh kondisi eksternal. Dimana Ia percaya bahwa dengan mengenal dan menerima diri sendiri, manusia dapat mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan sejati. Dalam perjalanannya, Ki Ageng banyak berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai lapisan, mendalami perasaan manusia, dan mempelajari dinamika kehidupan. Pengalaman inilah yang menjadi dasar bagi ajaran-ajarannya, yang sering disebut sebagai Ilmu Kawruh Jiwa.

Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah hidup sewajarnya. Yaitu hidup secara tidak berlebih-lebihan dan juga tidak berkekurangan. Dan hidup sewajarnya itu oleh Ki Ageng dirumuskan dalam NEMSA (6-SA): 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun