Sebagai seseorang yang mendidik pendidik, adalah suatu kebanggaan bagi saya ketika disuguhi coletehan langsung tentang pendidikan di Papua oleh alumni SM-3T yang baru saja pulang menunaikan tugasnya disana. Wajahnya cerah, semangatnya penuh dan matanya berbinar semenjak kami bertemu. Maklum, ini pertemuan perdana kami setelah 2 tahun saya meninggalkan kota kecil ini demi menimba ilmu di kota Malang. Kota kecil lain di negeri ini yang memberiku banyak pelajaran bukan hanya ilmu juga hidup. Kami duduk berhadapan setelah mencari tempat paling sudut di ruangan tempat makan yang kami pilih tidak jauh dari tempat kami bertemu tadi. Kami sengaja melakukannya, tempat ini biasanya ramai oleh pengunjung, kursi disudut itu pilihan yang tepat demi lancarnya diskusi kami. Di wajah yang terlihat semakin tirus dan tubuh yang semakin kurus, lagi-lagi kudapati semangat yang penuh. Bahagia rasanya bisa kembali melihat pria yang sekaligus saya anggap sebagai adik ini. Diskusi kami pun mengalir, melompat dari satu pertanyaan ke pertanyaan yang lain. Mengapresiasi SM3T Sedikit menyinggung tentang SM-3T, program ini pada dasarnya ditujukan kepada para sarjana pendidikan untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan pendidikan di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Para sarjana ini akan mengabdi selama satu tahun dan setelah satu tahun terpenuhi, satu tiket gratis akan mereka dapatkan untuk mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Adapun yang menjadi tujuan paling utama selain memberikan para sarjana pengalaman mengabdi dan membentuk sikap professional para sarjana adalah membantu daerah 3T dalam mengatasi permasalahan pendidikan terutama didaerah yang kekurangan tenaga pendidik. Saya mengapresiasi pemerintah terkhusus Kemdikbud atas usahanya dalam meretas program ini, mengingat betapa kurang meratanya kualitas pendidikan di negeri ini. Beberapa daerah timur oleh pemerintah masih banyak dikategorikan sebagai daerah terdepan, terluar dan tertinggal. Saya tidak tahu persis kriterianya seperti apa, namun yang bisa saya pastikan bahwa opini yang berkembang dimasyarakat mengatakan bahwa daerah itu tertinggal. Satu pertanyaan besar terselip di kepala lalu memberontak ke dasar hati adalah “Apakah benar mereka tertinggal atau ditinggalkan”? Opini ini terus berkembang semakin dalam dan terkadang anggapan publik menyimpulkan bahwa mereka tidak bisa apa-apa. Tak jarang mereka menjadi subjek pembodohan. Seperti tak merdeka ditanah sendiri, apa mungkin bangsa ini memang belum sungguh-sungguh merdeka? Program ini diharapkan mampu mendongkrak SDM di daerah 3T. Suatu kelak pemerataan SDM itu bisa terwujud seperti mimpi kementrian ini. SDM yang berkualitas tentu harus di bentengi oleh pendidikan yang berkualitas pula. Bagai menegakkan benang basah, sepenuhnya kita harus mendukung usaha pemerintah ini. Dengan harapan para sarjana muda yang diutus kesana sungguh-sungguh mengerjakan tugas dan tanggung jawab yang sudah diberikan. Kulihat air muka pria yang didepanku ini, bebannya penuh, bercerita dia penuh hasrat. Beberapa kali dia menangis untuk anak-anak didiknya disana. Kataku disela pembicaraan kami melihat raut mukanya yang tetiba sedih mengingat anak-anak itu “Tapi nangis laki-laki kan?”. Tawa kami lepas membuat air matanya tertahan. Caraku agar dia tidak terbawa pada kemelankolikan seorang pria. Syukurlah, suasananya mencair. Lalu kami lanjutkan diskusi menarik ini sembari menikmati makanan juga minuman yang sudah kami pesan. Harapan baru untuk anak-anak Agats Laki-laki muda berkulit gelap ini beserta timnya ditempatkan di Agats, ibukota kabupaten Asmat, salah satu kabupaten di provinsi Papua. Agats adalah sebuah kota berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa yang terletak di pesisir selatan Papua dan menghadap ke Laut Arafura. Didirikan dari ribuan lembar papan, di atas tonggak yang terbenam di rawa-rawa, sehingga kota ini sering dijuluki sebagai kota papan, kota lumpur dan kota tanpa tanah. Sebutan kota lumpur menjadi sangat tepat karena memang tidak ditemukan tanah kering disana. Didapati bahwa kota ini sudah bebaur antara pendatang dengan penduduk aslinya. Secara pribadi, mendaftarkan diri sekaligus memberi diri mengajar di pedalaman bukan suatu kebetulan yang tiba-tiba dipilih olehnya. Ini pergumulan panjang, sebuah keputusan yang diambil sebagai buah setelah mengikuti kamp guru yang digelar oleh salah satu komunitas guru di Sumatera Utara. Kapita selekta “Mengajar di 3T” dipilihnya demi memperlengkapi panggilan untuk mengajar didaerah pedalaman. Kerinduannya akhirnya terjawab dan terbukti dengan kelulusannya dalam seleksi SM3T di Universitas Negeri Medan di Sumatera Utara. Bukan hal yang mudah juga baginya bersaing mengikuti seleksi ini dengan jumlah pendaftar yang tidak sedikit. Terdapat 13 orang angkatan III SM3T dari Universitas Negeri Medan yang ditempatkan di kota Agats. Mereka dipencar di berbagai sekolah di daerah ini sesuai kebutuhan guru disana. Uncok (begitu nama pria ini disebut), ditempatkan di SMP YAPIS Agats, namun karena masih ada waktu yang masih tersisa dia memenuhkan jadwalnya dan mengajar juga di SMP YPPGI Agats. Berjurusan Matematika tidak serta merta membuatnya hanya mengajarkan matematika saja. Sekolah ini benar-benar kekurangan guru, maka jadilah dia merangkap berbagai mata pelajaran termasuk Bahasa Indonesia dan lain sebagainya. Apapun dilakukannya karena begitu cintanya pada pendidikan dan memaksimalkan perannya selama kurun waktu program SM3T yang tergolong singkat ini. Berharap tak ada waktu yang terbuang percuma namun mengisinya penuh untuk pendidikan lebih baik di daerah ini. Tidak ada kendala khusus selama mengajar dikedua sekolah ini. Mengajar sudah menjadi panggilan hidupnya, menikmatinya menjadi satu-satunya cara yang paling ampuh demi memupuk cintanya lebih dalam pada bangsa ini terkhusus pada pendidikan anak negeri. Dalam keseharian bisa memandang anak-anak nya belajar dan bisa berinteraksi dengan mereka menjadi oksigen segar baginya. Bertigabelas mereka merajut cerita di kota kecil ini, tinggal seatap dan berbagi bersama. Mereka berlatar belakang jurusan yang berbeda-beda. Perbedaan pendapat tentu sering bergulir mereka rasakan diantara sesama rekan sepenempatan SM3T. Tak hanya sampai disitu, perbedaan karakter, motivasi, tujuan dan pandangan juga menjadikan mereka saling bergesek, mengasah dan mempertajam pengenalan mereka satu sama lain. Hal itu menjadikan mereka berbeda dalam menjalani keseharian selama mengikuti program ini. Memilih mengabdikan diri juga setelah pulang sekolah menjadi pilihan yang tidak wajib bagi mereka. Tidak ada paksaan, hanya ada 7 orang yang bertahan menginisiasi pemberian mengajar gratis disebuah desa di salah satu sudut kabupaten Agats ini. Survei kecil-kecilan mereka lakukan sebagai pertimbangan daerah mana yang paling membutuhkan program ini. Anak-anak pemulung menjadi pilihan karena mereka dinilai menjadi pihak yang paling membutuhkan dan paling diharapkan perubahannya baik dari segi pendidikan, pola serta pandangan hidup. Anak-anak ini harus membantu orang tuanya memulung, bagi sebagian besar mereka, tidak ada kamus untuk bersekolah. Tempat tinggal kumuh yang menusuk hidung menjadi seperti surga bagi mereka. Disanalah pilihan itu jatuh, pilihan untuk mengambil bagian mengajari mereka. Mengajari baca tulis menjadi tujuan utama karena memang anak-anak ini masih sangat pemula. Mereka menyulap bangunan Pemda Asmat yang sudah tidak digunakan lagi menjadi tempat penampungan bagi anak-anak ini. Dari awal program ini, anak-anak sudah ramai, kendalanya adalah mereka tak terdata rapi. Mereka datang sesuka hati silih berganti. Dan hal ini berlangusung selama 6 bulan pertama. Akhirnya para pengajar tangguh ini memfokuskan perhatian pada anak-anak yang menetap disekitar desa itu saja. Mereka dibagi beberapa kelompok belajar dan setiap guru bertanggung jawab atas satu kelompok anak. Aktivitas anak secara keseluruhan merata, mereka belajar membaca, mengenal huruf, bermain dan aneka aktivitas lain demi menunjang pertumbuhan anak ini. Tidak mudah bagi tim ini bertahan, selain anak-anak yang harus dikumpulkan dan dipanggil sebelum memulai memberi les gratis dikarenakan mereka harus membantu orang tua memulung. Ada saja orang tua yang tidak memberi izin anaknya belajar. Guru pengajar harus menyiasati bagaimana supaya anak-anak betah dan semangat datang setiap hari. Salah satu cara adalah memberikan mereka hadiah kecil sebelum pulang. Bisa makanan kecil atau peralatan tulis. “Biayanya dari mana?. Apakah kalian membuat proposal atau mendapat bantuan dari pemerintah setempat?” tanyaku penasaran. “Kami sukarela menyisihkan dari gaji yang kami peroleh dari pemerintah. Kami tidak membut proposal atau meminta bantuan dana dari daerah. Saya juga sharing dengan rekan-rekan alumni di Pematangsiantar yang terbeban hatinya untuk pendidikan. Disamping itu, ada pula Koh Ayung yang peduli dan cinta Suku Asmat sehingga beliau yang sudah lama berpartisipasi melalui seorang Pastor (Ino) mengalihkan bantuannya melalui kami. Yang lain lagi adalah penulis hebat yaitu Ibu Rosy Simamora, dan jurnalis manis, Amelia Kiki namanya. Pihak- pihak ini sangat berkontribusi sekali membantu keuangan kami” jawabnya panjang lebar. Sambil menerawang ditambahkannya lagi jawabannya, “uang bantuan yang kami dapatkan dipakai untuk membeli buku, alat-alat tulis, makanan kecil untuk anak-anak juga sepatu sekolah. Kondisi tepatnya, anak-anak ini semuanya tidak mengecap bangku sekolah. Usia mereka seharusnya sudah berada disekolah, ada yang seharusnya sudah SD, SMP bahkan SMA. Didaerah ini masih sangat primitif pemikirannya, mereka masih memiliki pandangan bahwa pendidikan itu bukan perioritas utama, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan perut saja. Lalu melihat kondisi yang cukup memprihatinkan tersebut, kami berinisiatif mendaftarkan anak-anak les gratis ini kesekolah, dengan memohon kepada pihak sekolah untuk menerima mereka dengan segala kekurangannya, bahkan juga mengkhususkan mereka dari segala hal termasuk biaya. Bukan mudah memohon kepada pihak sekolah, ditambah lagi bahwa kemampuan mereka yang dinilai lambat dan diprediksikan akan tertinggal jauh dibelakang. Kami berkali-kali ditolak mentah-mentah oleh sekolah. Kepala sekolahnya sendiri bercerita bahwa dia sudah putus asa terhadap anak-anak tersebut. Mereka tidak mau bersekolah dan dulu sudah beberapa kali dibujuk namun anak-anak beserta orang tua mereka menolak. Ada rasa kecewa yang sangat dalam tersimpan dihati Kepala sekolah mengingat kejadian itu, anak-anak Agats ini sudah tidak tertolong lagi. Demikian suatu kali sang kepala sekolah pernah bertutur. Penolakan yang kami rasakan tidak membuat kami langsung menyerah begitu saja. Ditambah lagi kemampuan mereka dinilai tertinggal jauh di belakang. Kami tidak putus asa, dengan kemauan dan pendekatan yang lebih berusaha lagi ditambah derai air mata yang mendesak keluar. Bersyukur pada akhirnya hati kepala sekolah ini luluh hatinya. Hasilnya, anak-anak ini bisa menikmati sekolah formal. Tidak ada hal yang lebih membahagikan dari hal itu. Melihat mereka akhirnya bersekolah, senang hati tak karuan. Namun miris hati melihat mereka tidak pakai sepatu sehingga uang sumbangan turut juga dipakai untuk membeli sepatu. Kami sendiri yang membawa anak-anak itu kepasar mencari sepatu sesuai ukuran kaki mereka. Kondisi orang tua juga semakin menambah ton keprihatinan, orang tua tidak tau bagaimana mendaftarkan anak sekolah, dan tidak berani mencoba karena merasa bahwa tidak sanggup untuk membiayai uang sekolah anaknya termasuk membeli seragam apalagi sepatu”, tuturnya panjang lebar. Saya menghela nafas panjang. “Kalian seperti oase bagi mereka. Ada harapan baru untuk anak-anak Agats. Mengenal huruf dan bisa mengeja menjadi satu kunci utama untuk masa depan mereka. Mengenal sekolah dan pendidikan secara formal menjadi kunci yang lain untuk menguntai masa depan. Setiap mereka harus punya cita-cita. Mereka sangat berhak atas itu, “kataku pelan. Cukupkah setahun? Haus lagi rasanya, perut pun sudah mulai keroncongan lagi. Makanan kecil dan minuman dihadapan kami sudah ludes tak bersisa sejak beberapa jam lalu. Kulirik arloji dipergelangan tanganku. Saya tersadar sudah berjam-jam kami duduk dan bercerita. Dia harus mengajar jam 6, masih ada waktu, tadi kami bertemu jam 10 pagi. Lalu kami pesan makanan berikutnya. Kami tertawa geli semoga yang punya café tidak mengusir kami karena kelamaan duduk disana. Kali ini saya yang memesan makanan berat untuk makan siang, dia memesan minuman karena diawal bertemu tadi dia sudah makan makanan berat, seharusnya itu sarapan. “Kalian berjejak, menorehkan kenangan dengan anak-anak. Anak-anak itu sangat membutuhkan kalian. Mereka pasti kehilangan kalian tinggalkan. Bapak dan Ibu gurunya pasti mereka cari-cari. Apakah kalian akan meninggalkan jejak itu begitu saja? Siapa yang meneruskan jejak ini? “tanyaku penuh selidik. “Harus sedih meningggalkan mereka. Satu tahun seperti merasa tak melakukan apa-apa. Tidak terasa begitu cepat berlalu, tahu-tahu kami sudah harus meninggalkan mereka. Mereka tidak dibiarkan begitu saja. Kami titip mereka ke Pemda bagian Dinas Pendidikan khususnya bagian PLS untuk memperhatikan mereka. Tadinya kami sangat berharap banyak bisa memberi tongkat estafet ini kepada anak-anak SMA asli Papua untuk mengajari mereka. Namun saying, kami tidak menemukan mereka terbeban dan gagal meletakkan pengharapan bagi anak SMA tersebut. Cara lain menjaga mereka adalah dengan melakukan kontak dengan Universitas pengirim bahwa program ini harus diteruskan oleh angkatan SM3T berikutnya. Jangan sampai dibiarkan begitu saja”. Jawaban ini membuatku lega. Kutarik nafas panjang lalu bersyukur bahwa sang Pencipta memperhatikan orang-orang Papua melalui anak-anak muda yang dipilih kesana. Cukupkah setahun? Tentu saja perubahan tidak terjadi hanya dengan instan saja. Butuh waktu yang lama untuk berproses. Anak yang diajari huruf A hari ini, besok bisa bilang itu huruf B, besoknya lagi huruf C. Mereka butuh proses, tidak serta merta langsung bisa. Karena itulah pendidikan, pendidikan itu proses. Proses panjang dan berliku. Tak cukup setahun membuat anak-anak Agats menjadi pintar. Mereka harus betul-betul diperhatikan. Setahun itu benar-benar tidak terasa. Tidak ada perubahan besar yang bisa dilakukan, namun setidaknya kami telah memulainya. Dan tetap saja harus ada yang melanjutkan estafet ini. Setahun sungguh-sungguh tidak cukup. Jawabannya lugas tanpa ragu. Dan saya pikir kami segaris dengan jawaban atas pertanyaan yang terlontar tadi. “Adakah kepikiran untuk kembali kesana dengan semua pengalaman yang sudah dirasakan disana? Ini menjadi pertanyaan terakhirku mengingat tidak banyak lagi waktu yang kami miliki. “Ya, saya sangat terbebani. Namun jika menjadi pengajar full disana dengan mengikuti ujian CPNS disana, akan terasa sulit karena daerah akan lebih mengutamakan putra asli Papua. Sangat kecil peluang untuk menetap dan tinggal disana memberi diri penuh karena juga harus memikirkan masa depan. Hal lain yang mempengaruhi adalah mengajar seorang diri disana kurang memberi dampak kelihatannya dan dengan mempertimbangkan kondisi ini, semakin diteguhkan menjadi seorang yang mendidik calon pendidik. Lalu mendorong mereka untuk mengajar ke daerah 3T. Menurut hemat saya, ini lebih berpengaruh kedepannya" tuturnya panjang. Saya memahami maksudnya. Maklum seorang pria, batak lagi, pikir saya menerawang. Sharing yang hangat ini harus kami sudahi. Saya mendapat pelajaran dan pengalaman banyak darinya. Tepatnya kami bertukar pengalaman. Ada beberapa foto yang saya publikasikan atas seizin dia. Lihat-liatlah sambil maknai setiap ekspresi mereke yang tertangkap lewat kamera tim SM3T Agats angkatan ke III ini. [caption id="attachment_773" align="aligncenter" width="462" caption="Anak-anak, masa depan bangsa ini ada bersama dengan mereka."] Perkenalkan tokoh utama saya. Bapak Guru Uncok. A man behind the gun. Namun maafkan saya, dia pemalu, difoto ini wajahnya tak mengalami penampakan. Lihat saja tangannya yang semangat melambai diatas papan tulis bersama kapurnya. Dia begitu menikmati pengajarannya bersama anak-anak Agats. Terimakasih Bapak Guru (begini cara anak-anak Agats memanggil Sang Guru). ***
Sekalian singgahlah untuk menyaksikan video kecil mereka di Agats. Seperti kado berharga, video ini berdurasi 30 menit 10. Video ini secara umum bercerita tentang aktivitas mengajar anak-anak pemulung di tempat penampungan itu. Mereka belajar, bermain, bertumbuh bersama. Singkat memang, namun menorehkan jejak. Menangislah jika harus menangis ketika menyaksikan video ini. Namun tak cukup tangisan, berbuat sesuatu jauh lebih bijaksana. Mahasiswa-mahasiswi pendidikan yang sedang hampir rampung studinya, turutlah ambil bagian untuk bangsa ini. Jadilah bagian dari SM3T ini. Saya izin share videonya ke Uncok, pria yang juga junior saya semasa kuliah dulu. Nikmatilah disini, rasakan harapan mereka https://www.youtube.com/watch?v=nuprKMtRITA. Kami beranjak pulang, hari sudah mulai gelap. Sama-sama kami mengeluarkan dompet sewaktu berhadapan dengan kasir. Pria gengsi jika dibayari, saya memilih mengalah. Hari itu saya mendapat cerita gratis plus makan gratis. Seketika saya menyadari betapa bermaknanya hidup.***
*Café Eden, Pematangsiantar, 24 September 2014/@artaulysiahaan
FYI : Rekaman pembicaraan ini saya rampungkan 09 Desember 2014, baru-baru ini saya kunjungi web Kemdikbud. Ada formasi CPNS dibuka khusus bagi para lulusan PPG setelah mengikuti program SM-3T untuk diangkat sebagai CPNS daerah dengan jabatan tenaga fungsional guru dan ditempatkan di salah satu dari 29 kabupaten (daftar ada di web). Mereka diperuntukkan untuk mengisi 1000 lowongan formasi kebutuhan tenaga pendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T). Kunjungi http://cpns.kemdikbud.go.id/indexe66b.html?k=konten/39, ini kesempatan ketika pusat mengambil beban ini tanpa melihat mereka dari daerah mana. Dan ini mematahkan pandangan anak SM3T yang saya ceritakan diatas. Mereka sudah diberi peluang yang sebesar-besarnya. Tak perlu gentar apa putra daerah atau bukan. Letaknya ada pada pilihan dan keterbebanan. Bagi siapapun yang terbeban, tidak mudah memilih jalan ini, namun negeri ini membutuhkan alumni SM3T yang sudah merasakan ada disana. Terbebanlah dan pergilah. Maju bersama mencerdaskan Indonesia. Selamat berbuat untuk negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H