Jembatan Penyebrangan Orang atau yang biasa disebut dengan JPO dijadikan tempat bermain oleh anak-anak disekitar kawasan Depok. Sejumlah anak-anak terlihat bermain perosotan di antara anak tangga JPO tersebut. Penyebab hal itu terjadi adalah dikarenakan minimnya lahan bermain untuk anak-anak di sekitar sana. Padahal bermain di atas JPO tersebut sangat berbahaya jika dilakukan, anak-anak bisa terjatuh bahkan dapat mengganggu pejalan kaki yang memang ingin menggunakan JPO tersebut. Padatnya pemukiman penduduk, sehingga lahan bermain untuk anak tidak dapat pemerintah sediakan.
- Apa Itu JPO?
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) adalah jembatan yang dibuat bersilangan dengan jalan raya atau jalur kereta api, letaknya berada di atas kedua objek tersebut, dan hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki yang melintas (menyeberang) jalan raya atau jalur kereta api. Jembatan Penyeberangan Orang adalah fasilitas pejalan kaki untuk menyeberang jalan yang ramai dan lebar, menyeberang jalan tol, atau jalur kereta api dengan menggunakan jembatan tersebut, sehingga alur sirkulasi orang dan lalu lintas kendaraan dipisah secara fisik dan kemungkinan terjadi kecelakaan dapat dikurangi.Â
Jembatan penyeberangan juga digunakan untuk menuju tempat pemberhentian halte angkot. Karena posisinya yang lebih tinggi dari tanah, untuk memberikan akses kepada penderita cacat yang menggunakan kursi roda, di dekat tangga jembatan terdapat ramp dengan kelandaian tertentu.
Pentingnya Lahan Bermain untuk Anak
Lahan bermain anak yang saat ini ternyata masih menjadi isu yang dianggap tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Pemerintah terlalu sibuk dengan hal-hal yang dianggap besar, sehingga melalaikan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh anak-anak yaitu tempat bermain dan lahan terbuka hijau yang ramah anak. Padatnya pemukiman di sekitar Kota Depok menyebabkan berkurangnya lahan lapang untuk bermain.
Untuk mempertahankan tanah lapang sebagai ruang bermain yang penting dalam kehidupan kita, dibutuhkan peran serta semua pihak terkait. Pemerintah harus memiliki kebijakan yang melindungi tanah lapang dan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pemeliharaannya.Â
Lebih banyak ruang terbuka hijau harus diintegrasikan dalam rencana tata ruang kota, sehingga masyarakat dapat menikmatinya. Masyarakat juga harus menyadari pentingnya tanah lapang dan melestarikannya, serta mempromosikan gaya hidup yang lebih aktif di luar ruangan.
Menurut Mungkasa (2017), pada Focussed Group Discussion Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang Responsif Gender dan Ramah Anak dipaparkan hasil yang dikaji oleh pemerintah akan ruang publik di DKI Jakarta, diungkapkan bahwa ruang publik Jakarta sebagian besar berupa tempat parkir atau ruang terbuka hijau termasuk kawasan konservasi. Kondisi terkini menyebutkan bahwa RTH hanya berkisar 9.80% dari total Jakarta atau setara dengan 64.95 km2, dimana proporsi ini berkurang dari 77.80% dari total luas kota pada tahun 1973.
Disebutkan juga bahwa dampak yang terjadi akibat dari kurangnya ruang publik sebagai wadah masyarakat, antara lain: kebutuhan anak untuk ruang terbuka & ruang bermain tidak terpenuhi; tawuran antar warga sering terjadi; pemberdayaan masyarakat stagnan; sasaran pembangunan manusia tidak terfokus; pencapaian penggunaan alat kontrasepsi stagnan; tidak terpenuhinya hak tumbuh kembang yang layak di lingkungan; serta masyarakat yang individualis.
Sejauh ini pemerintah Kota Depok hanya melakukan tindakan menutup sementara JPO tersebut agar anak-anak sekitar berhenti bermain di sana. Tetapi, menurut saya tindakan yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan menyediakan lahan bermain untuk anak-anak di sekitaran Jabodetabek.Â
Contohnya di Jakarta sudah banyak RPTRA yang didirikan pemerintah yang digunakan sebagai tempat bermain anak. Di dalamnya terdapat lapangan, ayunan, perosotan, perpustakaan anak, aula, dan lain-lain. Itu semua dibuat agar anak tak hanya bisa bermain di dalamnya, melainkan anak juga dapat mengekspresikan karya yang ada diri mereka agar semakin terasah dikemudian hari. Hal itu seharusnya dapat dicontoh untuk daerah yang padat penduduk, sehingga anak tidak punya tempat untuk bermain.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H