Mohon tunggu...
artaria nuraini
artaria nuraini Mohon Tunggu... -

calon dokter, caoln istri, calon ibu. penulis amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Prasangka

31 Oktober 2017   23:07 Diperbarui: 1 November 2017   00:02 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                Aku tertegun mendengar nama itu. Dokter muda yang mukanya kucel semalam, yang sembab seperti habis menangis. Perutku tiba-tiba terasa tidak enak.

                "Bapak akan 'diteropong' dan juga di USG besok," begitu kata dokter yang lebih tua, yang sudah kutunggu kedatangannya.

Setelah hampir 2 jam menunggu akhirnya aku bisa duduk berhadapan dengannya. Rasa bosan sempat muncul saat menunggu sosok pendek itu, apalagi saat ruangan sebelah mulai ditinggalkan para dokter muda. Tidak ada lagi cerita yang terdengar. Semua kembali pada kesibukannya. Berdasarkan cerita dari ruang 'diskusi' di sebelah, dokter yang kunanti ini baru saja kehilangan anaknya seminggu yang lalu. Tapi di depanku ia selalu tersenyum, berusaha membesarkan hatiku, dan mungkin hatinya, melalui cerita-ceritanya tentang Tuhan Yang Maha Mengatur, Tuhan Yang Maha Baik. Tidak ada yang tahu seberapa besarnya kesedihan lelaki itu. Jarinya yang gemuk menunjuk bagian mana yang harus kutandatangani sebagai tanda aku setuju untuk tindakan medis yang lain. Kemudian tangannya menepuk pundakku, memintaku berdoa dan bersabar.

                Aku tak pernah suka rumah sakit, kecuali bagian di mana sesama keluarga pasien saling menyemangati dan barangkali ketika beberapa dokter serta perawat yang manis-manis melewatimu. Kakakku dan istrinya belum juga datang untuk menggantikan aku menemani bapak. Aku tak perlu pendapat mereka tentang prosedur USG dan 'teropong' itu. Tak ada bedanya mereka tahu, begitu jawabku ketika dokter tua itu bertanya pendapat anak bapak yang lain.

 Tempat tidur bapak kini ditutupi tirai ketika aku bejalan masuk kamarnya. Bapak dengan kanker usus sedang menatap kosong ke depan. Kali ini loyo, tidak seperti tadi pagi saat ia begitu bersemangat menjawab pertanyaan yang diulang-ulang. Mungkin rindu keluarganya. Mungkin seperti bapak yang rindu aku.  Hatiku mencelos ketika mata kami bertemu. Tatapan dari mata cekung itu mungkin tak akan bertahan lebih lama. Bapak yang kukira mungkin kesusahan biaya rumah sakit kini tertawa terbahak bersama istrinya. Mungkin habis menang lotere. Pasien yang ranjangnya paling dekat pintu memanggilku.

"Bapakmu habis muntah darah tadi," katanya. Aku mengangguk padanya sambil tersenyum.

                Dari balik tirai itu aku bisa mendengar bapak bercakap-cakap, sesekali disisipi gelak tawa seorang perempuan. Yang pasti itu bukan kakak iparku. Tak pernah ada yang tahan mendengar cerita bapak sebelumnya, termasuk aku. Kusibak sedikit tirai, kudapati wajah bapak yang bersemangat. Seseorang berdiri dengan baskom berisi muntahan berwarna merah, masih menyimak cerita bapak, lalu memberikan ucapan semangat untuknya. Aku mengenali orang itu sebagai dokter muda yang aku pelototi  semalam. Tiba-tiba ia menoleh padaku, aku membalas senyumnya sambil menggaruki kepala. Merasa tidak enakan setelah menghakimi orang seenaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun