Tepat seminggu lalu, Rabu (31/10/2018) aku menghela nafas lega karena bisa menapakkan kakiku yang kurus kering ke tanah Kapan, Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah sekian lama memendam rasa penasaran, sore itu aku berkesempatan untuk berkunjung langsung ke salah satu komunitas yang ada di desa ini, Lakoat Kujawas.
Beberapa waktu lalu, aku tertarik dengan komunitas anak muda yang peduli pada desanya ini dari seorang pemuda calon pendeta dari GMIT (Gereja Masehi Injili Timor) yang akrab disapa Aris. Aris sangat semangat bercerita tentang kisah keterlibatan seorang pemuda yang peduli dengan kondisi desa, kampung halaman dan bertekad untuk memajukannya.Â
Sontak saja aku segera tertarik mendengar kisah seorang pemuda yang dituturkannya secara sekilas. Sangat jarang ada anak muda yang sudah sekolah setinggi tingginya, bahkan sampai menyebrang pulau, kemudian memutuskan untuk pulang kembali ke desanya demi mengembangkan desanya (luar biasa).
Secara kasat mata, pilihan ini tentu sangat sulit, apalagi jika dilihat dari kacamata kids zaman now yang serba instan dan penuh dengan berbagai kalkulasi keuntungan pribadi. Meskipun aku belum mengetahui secara pasti bentuk pemuda itu, aku langsung tertarik dengan yang dikerjakannya (noted).
Sebelum bercerita lebih lanjut, aku tiba-tiba teringat tentang cara berpikir seorang temanku yang kala itu yang memfokuskan segala sesuatu pada keuntungan diri.
Suatu sore di pendopo kampus, aku terjebak hujan bersama kedua orang temanku yang sudah selesai bimbingan skripsi. Singkat cerita, mereka mulai berbincang bincang tentang tujuan dan rencana masa depan. Mereka mulai asyik menceritakan bagaimana cara mendesain CV yang menarik agar diterima di perusahaan ternama dan memperoleh gaji diatas UMR. Oia, diantara keduanya juga ada yang sudah melayangkan CV ke beberapa instansi yang diminati. Aku menikmati pembicaraan seru kedua pemuda itu sambil berharap hujan segera reda. Namun sudah lebih dari 30 menit, hujan tak jua berhenti. Aku segera berkemas dan harus melanjutkan perjalanan untuk mengajar anak lesku karena sudah telat 30 menit.
"Mau kemana ta? Buru-buru amat, hujan juga masih deras, ga mungkin diterobos," tanya mereka sambil mencoba menghentikanku.
Secara singkat kujelaskan kepada mereka bahwa untuk mengisi waktu luang, aku mengajar les private seorang anak SD. Bagiku, mengajar les adalah suatu pelayanan dan sangat berguna untuk mengasah kemampuanku, kesabaranku, kemurnian hatiku, kepribadianku, dan juga melibatkanku untuk turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa serta menambah uang saku (wahahaha seharusnya ikut melaksanakan ketertiban dunia).
Mereka kemudian penasaran dengan gaji yang kuterima (aku mulai risih). Kusebutkan saja beberapa nominal yang mendekati, tapi secara mengejutkan aku mendapat respon berbeda dari keduanya, respon yang sama sekali tak kuharapkan.
"Segitu doang ta? Ya ampun kok mau sih? Private lagi. Ilmu itu mahal, kok bisa semurah itu kau dibayar. Pelayanan mah pelayanan, tapi kalau segitu doang, itu mah suatu kebodohan," ketus salah satunya.
Mereka membukakan nominal yang jauh lebih tinggi, yang diterima teman-teman seprofesiku. Aku heran dengan protes mereka. Aku yang merasa terberkati dan merasa lebih hidup dengan yang kulakukan, namun mereka yang keberatan dan menganggap itu adalah suatu kesia siaan dan kebodohan.
Miris jika segala sesuatu dilakukan dengan pertimbangan ukuran rupiah. Ya memang tidak bisa dipungkiri "Ga jalan LOGIKA tanpa LOGISTIK" tapi ya tidak semuanya berlandaskan pada nilai rupiah semata, ada nilai lain yang jauh lebih penting dan berharga untuk dijadikan pedoman dan diperjuangkan.
Wah, betapa menyedihkan hidup ini jika segala sesuatu berlandaskan untung dan keuntungan semata, apalagi tolak ukurnya materi (maaf, bukan naif). Perlu revolusi mental untuk mengubah pola pikir yang demikian, apalagi jika pemikiran tersebut muncul dari seorang calon sarjanawan. Aku meringis.
Tanpa memperpanjang, aku segera berlalu. Tuhan jauh lebih mengetahui yang kukerjakan bahkan melebihi dari yang kupahami. Aku menerobos hujan untuk membagikan sedikit ilmuku pada si idola cilik masa depan tanpa menghiraukan mereka.
Begitulah sebuah gambaran tentang cita-cita, pola pikir dan bentuk aktualisasi diri generasi muda zaman now (meskipun tak bisa digeneralisir). Tak banyak orang muda mau mengabdi untuk sesamanya, bahkan sampai tinggal di desa terpencil demi memajukannya. Jadi, wajar saja kalau ada yang memilih hal demikian, patut diacungi jempol dan diapresiasi, termasuk pemuda itu.
Kembali ke cerita awalku, sore itu, ketika berkesempatan mampir, aku menanyakan secara langsung tentang karyanya. Pemuda itu, Dicky, ya sebut saja Dicky, memberikan inspirasi baru melalui aktivitasnya dalam memajukan desa. Ia memberikan literasi dan pelatihan menulis pada anak-anak, mendampingi tenun para ibu, mendampingi para petani dan bahkan memasarkan produknya dengan cara yang lebih canggih, melalui media sosial tanpa mengharapkan nilai rupiah dari yang dikerjakannya. Ia juga sudah berhasil menelurkan beberapa buku menarik karyanya sendiri dan juga karya anak-anak hasil didikannya. Ia bahkan sedang giat giatnya memperkenalkan komunitasnya ke tingkat nasional bahkan hingga ke tingkat internasional, sehingga sudah banyak para peneliti dan juga beberapa aktivis yang berkunjung langsung bahkan bersedia bergabung sebagai sukarelawan untuk berbagi ilmu. Â Semuanya dilakukan dengan sukarela tanpa pamrih. Ia juga menceritakan secara singkat suka dan dukanya dalam mendampingi komunitas Lakoat Kujawas.
Namun sangat disayangkan, pembicaraan seketika terhenti ketika aku tidak memberikan pertanyaan lanjutan. Benar-benar seperti sesi wawancara (aku bahkan sampai kehilangan topik pembicaraan). Komunikasi terjadi hanya sebatas menjawab pertanyaan (realita selalu tak seindah ekspektasi wahaha). Terkesan datar dan silentsium (seperti retret saja bung).
Baiklah, mungkin kondisi fisiknya yang sedang sakit kurang mendukung komunikasi interaktif pada saat itu, ditambah lagi dengan udara di Kapan yang sedang hujan, berkabut dan dingin. Ya sudahlah, tidak penting juga banyak omong tetapi tidak banyak bekerja. Orang sekreatif dia tentu memiliki kepribadian yang asyik. Apapun itu, semoga usahanya dalam memajukan desa selalu terberkati dan menyelamatkan banyak orang, terkhusus perekonomian masyarakat di Desa Taiftob, TTS. Semoga banyak anak muda yang terinspirasi dan lahir menjadi Dicky Dicky baru di desanya masing-masing.
Selamat berjuang dan berkarya sobat muda. Semoga bisa tetap menginspirasi tanpa batas! Tepuk salut buatmu!
Salam Batu Karang, (7/11/2018)Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H