Miris jika segala sesuatu dilakukan dengan pertimbangan ukuran rupiah. Ya memang tidak bisa dipungkiri "Ga jalan LOGIKA tanpa LOGISTIK" tapi ya tidak semuanya berlandaskan pada nilai rupiah semata, ada nilai lain yang jauh lebih penting dan berharga untuk dijadikan pedoman dan diperjuangkan.
Wah, betapa menyedihkan hidup ini jika segala sesuatu berlandaskan untung dan keuntungan semata, apalagi tolak ukurnya materi (maaf, bukan naif). Perlu revolusi mental untuk mengubah pola pikir yang demikian, apalagi jika pemikiran tersebut muncul dari seorang calon sarjanawan. Aku meringis.
Tanpa memperpanjang, aku segera berlalu. Tuhan jauh lebih mengetahui yang kukerjakan bahkan melebihi dari yang kupahami. Aku menerobos hujan untuk membagikan sedikit ilmuku pada si idola cilik masa depan tanpa menghiraukan mereka.
Begitulah sebuah gambaran tentang cita-cita, pola pikir dan bentuk aktualisasi diri generasi muda zaman now (meskipun tak bisa digeneralisir). Tak banyak orang muda mau mengabdi untuk sesamanya, bahkan sampai tinggal di desa terpencil demi memajukannya. Jadi, wajar saja kalau ada yang memilih hal demikian, patut diacungi jempol dan diapresiasi, termasuk pemuda itu.
Kembali ke cerita awalku, sore itu, ketika berkesempatan mampir, aku menanyakan secara langsung tentang karyanya. Pemuda itu, Dicky, ya sebut saja Dicky, memberikan inspirasi baru melalui aktivitasnya dalam memajukan desa. Ia memberikan literasi dan pelatihan menulis pada anak-anak, mendampingi tenun para ibu, mendampingi para petani dan bahkan memasarkan produknya dengan cara yang lebih canggih, melalui media sosial tanpa mengharapkan nilai rupiah dari yang dikerjakannya. Ia juga sudah berhasil menelurkan beberapa buku menarik karyanya sendiri dan juga karya anak-anak hasil didikannya. Ia bahkan sedang giat giatnya memperkenalkan komunitasnya ke tingkat nasional bahkan hingga ke tingkat internasional, sehingga sudah banyak para peneliti dan juga beberapa aktivis yang berkunjung langsung bahkan bersedia bergabung sebagai sukarelawan untuk berbagi ilmu. Â Semuanya dilakukan dengan sukarela tanpa pamrih. Ia juga menceritakan secara singkat suka dan dukanya dalam mendampingi komunitas Lakoat Kujawas.
Namun sangat disayangkan, pembicaraan seketika terhenti ketika aku tidak memberikan pertanyaan lanjutan. Benar-benar seperti sesi wawancara (aku bahkan sampai kehilangan topik pembicaraan). Komunikasi terjadi hanya sebatas menjawab pertanyaan (realita selalu tak seindah ekspektasi wahaha). Terkesan datar dan silentsium (seperti retret saja bung).
Baiklah, mungkin kondisi fisiknya yang sedang sakit kurang mendukung komunikasi interaktif pada saat itu, ditambah lagi dengan udara di Kapan yang sedang hujan, berkabut dan dingin. Ya sudahlah, tidak penting juga banyak omong tetapi tidak banyak bekerja. Orang sekreatif dia tentu memiliki kepribadian yang asyik. Apapun itu, semoga usahanya dalam memajukan desa selalu terberkati dan menyelamatkan banyak orang, terkhusus perekonomian masyarakat di Desa Taiftob, TTS. Semoga banyak anak muda yang terinspirasi dan lahir menjadi Dicky Dicky baru di desanya masing-masing.
Selamat berjuang dan berkarya sobat muda. Semoga bisa tetap menginspirasi tanpa batas! Tepuk salut buatmu!
Salam Batu Karang, (7/11/2018)Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H