Aku dan kebiasaan berinstagram riaku mulai kambuh kala mengisi waktu luang jelang imlek yang diperingati pada Jumat (16/2/2018). Sebagian besar rekan-rekan di dunia mayaku terlihat memposting beraneka ragam cara unik menyambut imlek. Mereka dengan bangga menunjukkan menu makan malam perdananya di hari 'Chinese New Year'. Â Ada juga yang memposting momen kebersamaan saat berkumpul bersama keluarga lengkap dengan kakek dan neneknya. Kebahagiaan terukir jelas di wajah mereka yang merayakannya.
Sepintas aku jadi  terlarut dalam ruang nostalgiaku. Kembali dalam momen ketika aku dan segerombolan teman sekolahku datang mengunjungi satu persatu rumah teman yang merayakan imlek. Kebiasaan yang menjadi rutinitas tiap tahunnya itu sudah berlaku sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar yang dimana mayoritas siswanya bersuku Tionghoa.
Kukayuh sepedaku kala itu dan sepakat mengumpulkan teman lainnya yang memiliki kendaraan yang sama. Kami mulai bergantian bak alarm memanggil nama mereka satu persatu dari gerbang rumah yang kami tuju untuk berburu 'Hangpao'. Mungkin terlalu naif jika mendengar tujuan kami mendatangi satu persatu rumah teman-teman yang merayakan imlek hanya untuk mengais rejeki atau mengincar makanan dibalik salaman tempel berupa angpao merah yang diberikan oleh setiap tuan dari rumah yang menjadi target kunjungan. Cara kuno itu ternyata asyik meskipun terkadang ada beberapa rumah yang tak menerima kehadiran kami karena berbagai hal.
Namun seiring berjalannya waktu, ketika aku duduk di bangku SMA, kehadiran seorang teman untuk datang merayakan imlek sangat ditunggu-tunggu. Bahkan sehari sebelum libur pajang dalam rangka memperingati hari imlek, teman-teman yang merayakannya sudah memesankan untuk datang. Semakin ramai yang datang semakin seru. Dari rumah ke rumah yang dikunjungi pasti akan bertambah lagi jumlahnya, karena selesai mengunjungi rumah yang satu, si pemilik rumah akan diajak ikut serta mengunjungi rumah teman-teman yang lainnya. Seperti konvoi, kami bergerombol mengunjungi rumah teman-teman yang lainnya. Â
Apalagi ketika aku dan beberapa orang temanku datang ke salah satu rumah sobat Tionghoaku. Orangtuanya dengan lembut menyambut kedatangan kami dan menemani ngobrol. Seperti biasanya, sebelum pulang, siempunya rumah akan masuk ke kamarnya untuk mengambil angpao. Walau agak segan menerimanya karena sudah SMA, namun kami tetap menerimanya meskipun dengan sedikit penolakan basa-basi di awal.
Ternyata tradisi berkunjung ke rumah saudara yang merayakan imlek tak hanya berlaku di kalangan pelajar saja. Bapa dan ibu guru kami juga sudah terlebih dahulu berkunjung ke rumah mereka dengan membawa serta anak-anak dan kerabat terdekat.
Terlihat sederhana mungkin, namun bagiku hal itu sangat berkesan. Di provinsi Riau yang mayoritas suku melayu, hal semacam itu masih membekas dan patut diacungi jempol. Saudara saudari Tionghoa bisa merayakan imlek dengan aman, tentram dan damai. Bahkan pertunjukan yang digelar di kelenteng penuh dengan beragam orang yang tak hanya berasal dari etnis Tinghoa, melainkan dari masyarakat setempat dari suku yang beragam.
Aku tersadar, setelah aku berada di Kota Medan, aku tak pernah mengunjungi salah satu dari rumah teman-teman yang merayakan imlek. Cukup aneh memang namun suasananya sudah berbeda. Sebagai mahasiswa, aku hanya mengucapkan lewat smartphone atau hanya sekedar ucapan selamat ketika berpapasan di kampus. Aku sempat berpikir, tradisi di setiap daerah mungkin berbeda. Aku menjadi teringat satu pepatah yang mengatakan Lain Lubuk Lain Ikannya. Ternyata pepatah itu sungguhan terapan dari sebuah realitas.
Tak mengapa, itu hanya sebuah pengalaman yang berkesan dan terkenang dalam memoriku. Indahnya masa itu. Aku tak pernah menyesal pernah hidup di zaman itu dan di daerah penghasil minyak yang gersang, namun sejuk karena mulitulkuralnya yang berhasil dibingkai dalam kebhinekaan.
Meskipun tak seperti di Dumai, aku masih bisa merasakan kemeriahan imlek lewat aneka hiasan yang cukup meriah di pusat kota dan beberapa pusat perbelanjaan lainnya. Â Apalagi berdasarkan berita yang kuperoleh terdapat 1.350 personel kepolisian yang dikerahkan guna mengamankan perayaan Imlek. Menurutku jumlah tersebut lumayan mombastis untuk mengawal lancarnya acara perayaan imlek. Namun patut diapresiasi karena dengan demikian ingin menunjukkan bahwa pemerintah tanggap dalam mengantisipasi segala bentuk penyerangan berbau agama oleh pihak yang tak dikenal, yang sebelumnya sempat terjadi di beberapa daerah di tanah air. Â
Tak berhenti sampai disitu, ada satu diantara seribu hal lainnya yang cukup berkesan bagiku mengenai perayaan imlek di negeri orong-orong ini. Ketika menjadi penumpang dari sebuah angkutan kota (angkot) pada Kamis (15/2/2018) sore, aku merasa tergelitik dengan luapan kekesalan supir angkot yang kutumpangi. Kekesalannya bermula ketika si pak supir yang semula berada di ruas kiri jalan, secara tiba-tiba beralih jalur ke arah kanan ketika melihat gerombolan polisi dari kejauhan yang berdiri di ruas kiri. Supir tersebut sempat mengira para polisi yang bergerombolan tersebut tengah melakukan razia jelang perayaan imlek.