Misalnya keutamaan keberanian adalah jalan tengah di antara sifat pengecut dan gegabah. Keutamaan murah hati adalah keutamaan di antara sikap boros dan kikir. Sifat kikir adalah sifat yang kurang dalam memberi dan sifat boros adalah sifat yang berlebih-lebihan dalam memberi sehingga jalan tengahnya adalah murah hati.
Atau keutamaan kontrol diri yang berada di dua ekstrem. Dua ekstrem itu adalah sifat yang terlalu emosional seperti sembrono atau pemarah dan orang yang terlalu sedikit emosi seperti orang-orang yang apatis. Emosional adalah sikap yang berlebihan dan apatis adalah sikap yang kurang sehingga jalan tengahnya adalah kontrol diri.
Misalnya orang tua memberi uang jajan kepada anak-anaknya selama satu minggu. Jumlah uang seratus ribu terlalu banyak dan sepuluh ribu terlalu sedikit sehingga diputuskan untuk memberi lima puluh lima ribu, jalan tengah diantara seratus ribu dan sepuluh ribu. Ini juga perlu ditelaah lebih jauh. Bagaimana jika anak yang pertama duduk di bangku kuliah dan anak kedua masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Apakah kedua-duanya mendapatkan lima puluh lima ribu itu adalah jalan tengah? Tentu ini bukan jalan tengah yang dimaksudkan oleh Aristoteles.
Jalan tengah yang dimaksudkan beliau adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya. Kata "porsi" ini juga mungkin relatif sebab setiap orang memiliki tolok ukurnya masing-masing. Selain itu, tidak ada satuan yang bisa mengukurnya. Tetapi, yang pasti jalan tengah yang dimaksud adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan situasi dan konteksnya.
Lalu, apa keutamaan sebagai jalan tengah dari sikap mencintai? Tentu dalam konteks ini yang dimaksud bukan berarti sikap setengah-setengah dalam mencintai. Yang ingin disampaikan di sini adalah mencintai sesuai dengan porsinya. Mencintai yang berlebihan akan terkesan manja. Manja tentunya berbahaya untuk sebuah relasi dan perkembangan mental. Mencintai yang kurang juga terkesan cuek dan berbahaya pula untuk relasi. Ujung-ujungnya relasi bisa pupus karena komunikasi terputus. Lalu, bagaimana harus mencintai?
Kita memiliki relasi, entah dengan pacar, teman, anak, orangtua, atau sahabat. Sikap mencintai berlebihan atau lebih tepatnya manja yang berlebihan bisa membawa candu bagi orang yang dimanja. Ketika kita menghilang atau tiba-tiba berubah sikap, orang yang biasa dimanja akan gelisah, galau, mungkin juga kecewa. Sikap kita telah membuat dia candu dengan manja, akibatnya muncul kata bucin untuk konteks anak zaman sekarang. Sikap cuek yang berlebihan juga bisa meruntuhkan suatu hubungan. Orang menjadi tidak nyaman dan ujung-ujungnya hubungan kandas di tengah jalan. Karena itu, mencintailah sesuai dengan porsi mencintai. Saya berpikir kita paham dan bisa memilih jalan tengah dalam konteks ini.
Bertanya lebih jauh
Sampai di sini, kita harus berani melontarkan kritik. Satu yang mungkin dilupakan dalam mencintai yaitu rasio kadang dikendalikan oleh kehendak. Kita tidak lagi berpikir panjang. Kita tidak mempertimbangkan jalan tengah sebagaimana dijelaskan tadi  dalam mencintai. Rasa kita spontan dan sikap kita juga mengalir begitu saja. Orang kadang lupa mempertimbangkan begini harus bersikap dalam mencintai. Orang terbawa dalam perasaannya.
Logika dikendalikan oleh rasa. Sikap mencintai menutup mata seseorang bagaimana bersikap yang tepat. Lihat saja berapa kasus bunuh diri karena cinta seseorang kandas sebelum ke pelaminan. Beberapa orang menjadi stres karena cintanya pupus di tengah jalan. Di sini tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan rasional karena seperti orang katakan "cinta itu membutakan". Nah, Barangkali ini yang memunculkan kata "jatuh cinta". Cinta itu membuat kita terjatuh. Benarkah?
Cinta yang memiliki dua sisi
Jangan salah. Di satu sisi, cinta mungkin membuat kita terjatuh. Tetapi di sisi lain, cinta itulah yang membuat kita merasa ada setiap waktu. Cinta membuat kita bersemangat setiap hari. Untuk saya yang hidup di tanah perantauan, betapa semangatnya bila mendengar suara dari keluarga meskipun via telepon. Dalam hal ini, saya merasa dicintai.