Bagian yang paling kubenci saat purnama tiba
Niskala memberontak tak kuasa menahan sebagian luka
Luka itu membalut sekujur tubuh niskala
Tak nampak namun cukup basah.
Korek disebelah tangan kanan dan kretek disebelah tangan kiri.
Itu pelumas kata niskala, dari segala lebam katanya.Â
Lebam mana yang kau bakar?Â
Lebam mana yang tak kau tahan?
Suara niskala menggema se isi ruangan,
Mendesah? Desahan mana yang kau sesali?
Kupikir itu persembahan,Â
Diseberang sungai pohon menjulang tinggi, akar serabut.Â
Rambut tergerai, menatap pohon berakar serabut terbentang diseberang.Â
Sontak, telanjang.
Cemas, takut, tapi angkuhÂ
Dan pergi bersama kebodohan yang begitu nampak.Â
Namun diikat oleh cairan-cairan kental yang belum terbuang.
Jika ada yang lebih bodoh dari semut yang menjilat cairan kental itu, mungkin itu mencakup keseluruhan bejatnya sifatmu.Â
Sisahnya, ku rapalkan syair pada tuhan.
Ketika niskala duduk disamping pohon berakar serabut tak berguna itu.
Diseberang jalan, kala itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H