Mohon tunggu...
Arsyi YP
Arsyi YP Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tourism Student, Pleasure Seeker and Dancer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sehari Menjadi Tamu Bang Ucin, Putra Peranakan Betawi-Arab di Pekojan, Jakarta

14 Oktober 2017   23:56 Diperbarui: 15 Oktober 2017   15:47 3899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang kamu pikirkan bila mendengar kata Kota Tua? Pasti yang pertama kali ada di pikiran kita adalah Museum Fatahillah. Padahal Kota Tua adalah kawasan yang luas. Kota Tua terbentang dari Jakarta Utara hingga Jakarta Barat, mulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa hingga kawasan Glodok. Salah satu bagian dari Kota Tua adalah Pekojan yang berbatasan langsung dengan Pecinan.

Tujuan utama dari perjalanan kali ini ialah mengenal Pekojan lebih jauh. Sebelum mengunjungi tujuan utama yaitu rumah Bang Ucin, kami berjalan-jalan mengelilingi Pekojan terlebih dahulu. Penulis meneluri tempat ini pada Sabtu, 29 September lalu. Kami berjalan mulai dari Stasiun Kota, Museum Bank Mandiri, Pecinan, hingga sampai di Kota Tua. Menurut informasi, Daerah ini diberi nama Pekojan berasal dari kata choja yang artinya orang muslim, namun ada juga yang mengatakan bahwa kata Pekojan berasal dari kata koja yang berarti pedagang. Dan sampai sekarang tempat ini masih sangat identik dengan kata Koja karena sebagian masyarakatnya masih mempertahankan pekerjaan sebagai pedagang.

Menelusuri jalan yang penuh dengan kemacetan menuju Pekojan, penulis melewati sebuah tempat yang dari dulu hingga sekarang terkenal dengan nama Pasar Kambing. Sesuai dengan namanya tempat ini memang merupakan tempat untuk menjual kambing. Di sampingnya ada jembatan yang juga diberi nama Jembatan Pasar Kambing. Dulunya jembatan ini selain dilewati oleh manusia juga dilewati oleh kambing.

Di depan Pasar Kambing ada masjid yang bernama Masjid An-Naweer. Masjid ini merupakan icon Pekojan, terutama menaranya. Masjid ini memiliki arsitektur yang merupakan gabungan dari Belanda, Betawi dan China. Di bagian depan dari masjid ini terdapat makam yang diketahui sebagai makam Baba Kecil atau Jida dalam bahasa Arab. Menurut Informasi tempat ini merupakan tempat di mana berdirinya organisasi Islam bernama Jamiatul Kheir yang salah satu keluarannya adalah KH Ahmad Dahlan.

Masjid An-Naweer (Dok. Tiwi)
Masjid An-Naweer (Dok. Tiwi)
Bagian Dalam Masjid An-Naweer (Dok. Tiwi)
Bagian Dalam Masjid An-Naweer (Dok. Tiwi)
Berjalan sedikit ke arah sebelah kiri dari depan masjid tepatnya di depan musholla, terdapat sebuah rumah layaknya rumah penduduk pada umumnya. Tapi tahukah kamu bahwa tempat tersebut adalah tempat dimana kamu bisa menikmati kopi yang enak? Tempat itu merupakan rumah yang ada sejak zaman Belanda. Ditinggali oleh sebuah keluarga dari keturunan Arab. Salah satu yang tinggal di rumah tersebut bernama Husain Al-Habsyie atau yang lebih dikenal dengan Bang Ucin. Beliau merupakan keturunan Arab Belanda yang berbicara dengan bahasa Indonesia dengan campuran logat Arab dan Betawi dalam bahasa sehari-harinya. Di Rumah Bang Ucin, kami menikmati kopi yang merupakan campuran dari 3 kopi. Salah satu campurannya adalah kopi instan yang brand-nya cukup terkenal di Indonesia dan dua lagi merupakan kopi hasil racikan sendiri yang biji kopinya merupakan biji kopi campuran.

Rumah Bang Ucin (Dok. Laras)
Rumah Bang Ucin (Dok. Laras)
Masuk ke rumah beliau, kami mendapati beberapa foto terutama silsilah keluarga Bang Ucin mulai dari abah, kakek, dan 2 generasi sebelumnya. Masuk ke ruangan ketiga, kami mencium wangi dari sumber yang tak kami ketahui. Ternyata itu adalah aroma dupa Arab yang masih dalam proses pembuatan.

Foto Keluarga Bang Ucin (Dok. Tiwi)
Foto Keluarga Bang Ucin (Dok. Tiwi)
Dupa Arab dikenal dengan nama setanggi. Setanggi ini berasal dari kayu gaharu yang telah dihilangkan getahnya lalu dicampurkan wewangian. Kami berkesempatan untuk merasakan wangi setanggi yang merupakan wangi "original" buatan Bang Ucin. Menurut Bang Ucin banyak dari customer-nya yang minta untuk dibuatkan setanggi dengan wangi lainnya seperti wangi melati dan setanggi berbentuk kerucut. Namun karena masih dalam tahap percobaan dan belum bisa terbakar dengan baik, setanggi dalam bentuk kerucut ini masih belum dijual oleh Bang Ucin. Selain setanggi mang ucin juga menunjukkan pada kami menyan arab atau yang lebih dikenal dengan nama mustaqi.

Bang Ucin dan Setanggi Buatannya (Dok. Laras)
Bang Ucin dan Setanggi Buatannya (Dok. Laras)
Setanggi Kerucut (Dok. Tiwi)
Setanggi Kerucut (Dok. Tiwi)
Selain setanggi juga ada bedak dingin. Bedak dingin ini juga merupakan produk buatan sendiri. Satu bungkusnya berisi sekitar 10 butir bedak dingin yang dijual dengan harga Rp 7.500 Untuk menggunakannya cukup mudah. Bedak ini cukup dilarutkan dengan air lalu dioleskan ke wajah. Setelah itu ditunggu hingga kering sebelum akhirnya dibilas dengan air bersih.

Bedak Dingin (Dok. Laras)
Bedak Dingin (Dok. Laras)
Di depan rumah Bang Ucin, ada sebuah musholla berwarna hijau yang bernama Azzawiyah. Cerita unik yang ada disini adalah musholla ini memiliki sumur yang tak pernah kering dan airnya memiliki ph yang setara dengan air zam-zam. Selain itu, ketika kawasan ini banjir, air di sumur tersebut juga tidak akan tercampur dan musholla tersebut tidak digenangi air. Padahal Masjid An-Naweer tergenang air. Air dari sumur musholla ini dipercaya oleh masyarakat sebagai obat. Sehingga banyak yang datang kesini selain untuk berdoa juga untuk melihat dan mengambil air di sumur ini.

Tampak Depan Azzawiyah (Dok. Laras)
Tampak Depan Azzawiyah (Dok. Laras)
Sumur (Dok. Laras)
Sumur (Dok. Laras)
Namun itu semua tak mengakhiri perjalanan kami. Sebelumnya mengunjungi rumah Bang Ucin, kami mengunjungi beberapa tempat lagi. Seperti salah satu contohnya ada sebuah tempat yang merupakan Cagar Budaya namun tak terlihat seperti apa yang seharusnya. Tempat ini bernama Langgar Tinggi yang merupakan langgar atau musholla yang terdiri dari dua lantai. Di belakangnya ada sungai yang dulunya berfungsi sebagai jalan bagi transportasi air. Dahulu, masyarakat datang dengan sampan lalu masuk lewat belakang Langgar. Lantai pertamanya berupa tempat tinggal dan lantai duanya adalah langgar.

Langgar Tinggi (Dok. Laras)
Langgar Tinggi (Dok. Laras)
Bagian depan dari langgar ini di samping tangga ada tempat wudhu yang berpintu rendah. Kira-kira bentuknya mirip dengan pintu penjara laki-laki di Museum Fatahillah. Sayangnya tempat ini seperti tidak terurus. Tulisan cagar budayanyapun tertutup oleh tanaman. Sehingga apabila kamu tidak jeli maka kamu hanya akan melihat tempat ini sebagai sebuah langgar.

Selain itu juga ada tempat berwarna hijau di samping Masjid An-Naweer. Tempat ini dulunya sudah setengah hancur dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Namun atas perhatian dari berbagai pihak, akhirnya tempat ini dibangun kembali dan kedepannya akan memiliki fungsi yang lebih bermanfaat.

Sekarang kamu tahu, Kota Tua tidak hanya sebatas Museum Fatahillah. Dari Pekojan, kita juga dapat mendapat pengetahuan mengenai jejak Arab di Batavia. Bukankah lebih menyenangkan mengenal apa yang ada di negara sendiri? Jadi, kapan kamu mau ke Pekojan dan menjadi tamu selanjutnya di Rumah Bang Ucin?

Fakultas Pariwisata
Universitas Pancasila
Sabtu, 29 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun